1
Summer
in Seoul
Ilana
Tan 2
For those who always
believe in me,
thank
you…. 3
Prolog
Dulu
kalau aku tak begitu, kini bagaimana aku?
Dulu
kalau aku tak di situ, kini di mana aku?
Kini
kalau aku begini, kelak bagaimana aku?
Kini
kalau aku di sini, kelak di mana aku?
Tak
tahu kelak ataupun dulu
Cuma
tahu kini aku begini
Cuma
tahu kini aku di sini
Dan
kini aku melihatmu
KONON ketika
seseorang dalam keadaan hidup dan mati, ia akan bisa melihat potongan-potongan
kejadian dalam hidupnya, seperti menonton film yang tidak jelas alur ceritanya.
Benarkah begitu?
Oh
ya, ia sedang mengalaminya. Ketika tubuhnya terlempar ke sana-sini,
pandangannya mendadak gelap, namun anehnya ia kemudian bisa melihat wajah
seseorang dengan jelas. Ia juga bisa mendengar suaranya.
Betapa
ia sangat merindukannya sekarang, ingin bertemu dengannya, ingin berbicara
dengannya. Ada yang harus ia katakan pada orang itu. Ia harus memberitahunya ia
rindu.
Hanya
sekali saja…
Kalau
boleh, ia ingin mengatakannya sekali saja…
Kalau
boleh, ia ingin melihatnya sekali saja… 4
Tapi tidak bisa…
Suaranya
tidak bisa keluar…
Ia
tidak punya tenaga untuk bicara… 5
Satu
“SEKARANG
aku masih di jalan… Mm, baru pulang kantor… Aku juga tahu sekarang sudah jam
sepuluh… Ya, jam sepuluh lewat delapan belas menit. Terserahlah.”
Sandy
melangkah perlahan. Sebelah tangannya memegang ponsel yang ditempelkan ke
telinga, dan tangan yang sebelah lagi mengayun-ayunkan tas tangan kecil merah.
Ia mengembuskan napas panjang dengan berlebihan dan mengerutkan kening. Saat
ini orang terakhir yang ingin diajaknya bicara adalah Lee Jeong-Su, tapi
laki-laki itu malah meneleponnya dan bersikap seperti kekasih yang protektif.
“Jeong-Su,
sudah dulu ya? Aku lelah sekali,” Sandy menyela ucapan Lee Jeong-Su dan
langsung menutup telepon. Sekali lagi ia mengembuskan napas panjang, lalu
menatap ponselnya dengan kesal.
Kenapa
hari ini muncul banyak masalah yang tidak menyenangkan? Tadi pagi ia sudah
bermasalah dengan salah satu klien perusahaan, kemudian diomeli atasannya dan
akhirnya harus lembur sampai selarut ini.
Sandy
semakin kesal begitu mengingat apa yang sudah dialaminya sepanjang hari. Tapi
ia terlalu lelah untuk marah-marah. Seluruh tulang di tubuhnya terasa sakit dan
otaknya sudah tidak bisa disuruh berpikir. Lagi-lagi ia mengembuskan napas
panjang.
Ini
bukan pertama kalinya Sandy harus bekerja sampai larut malam, tapi hari ini ia
sudah memutuskan akan berhenti bekerja untuk perancang busana itu. Pekerjaannya
sungguh-sungguh memakan waktu dan tenaga sehingga tidak ada lagi tenaga yang
tersisa untuk berkonsentrasi pada kuliahnya di pagi hari.
Ia
berhenti melangkah dan mendesah. “Bisa gila aku,” gumamnya pada diri sendiri. 6
Sandy memandang sekelilingnya.
Kota Seoul masih belum menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Bangunan-bangunan di
sepanjang jalan seakan sedang berlomba-lomba menerangi seluruh kota, membujuk
orang-orang untuk menikmati indahnya suasana malam musim panas di ibukota Korea
Selatan yang menakjubkan itu. Meskipun sudah bertahun-tahun menetap di Seoul,
Sandy masih terkagum-kagum pada suasana kota ini. Jam memang sudah menunjukkan
pukul sepuluh lewat, namun jalanan masih dipenuhi pejalan kaki dan mobil-mobil
yang berlalu-lalang. Aroma makanan tercium dari restoran Jepang di depan sana,
lagu disko terdengar samar-samar dari toko musik di sampingnya, suara
orang-orang yang berbicara, berteriak, dan tertawa.
Tiba-tiba
Sandy merasa kepalanya pusing. Lalu pandangannya berhenti pada toko makanan
kecil di seberang jalan. Setelah merenung sesaat, ia mengangguk dan bergumam,
“Baiklah,” seolah menyerah pada perdebatan yang dia lakukan seorang diri.
Sandy
menyeberangi jalan dengan langkah cepat, secepat yang mungkin dilakukan
sepasang kaki yang belum beristirahat selama delapan jam terakhir, dan masuk ke
toko itu. Setelah memberi salam kepada bibi pemilik toko yang sudah lama
dikenalnya, Sandy langsung berjalan ke rak keripik.
“Nah,
Soon-Hee, ada masalah apa lagi di kantor?” tanya bibi pemilik toko setelah
melihat lima bungkus besar keripik kentang yang diletakkan Sandy di meja kasir.
Sandy
tersenyum malu. “Ah, tidak ada. Saya hanya sedikit stres.” Ia membuka tas
tangannya dan mencari dompet. Ke mana dompet itu?
“Sebentar,
Bibi. Saya yakin sekali sudah memasukkan dompet tadi…” Sandy mengaduk-aduk isi
tas tangannya, lalu menumpahkan seluruh isinya ke meja kasir. Kini, selain lima
bungkus keripik kentang, di sana ada sisir kecil, buku kecil yang agak lusuh,
bolpoin yang tutupnya sudah hilang, bedak padat, lipgloss, kunci, payung
lipat, tiga keping uang logam, saputangan merah, ponsel, dua lembar struk
belanja yang sudah kusam, bungkus permen kosong, dan jepitan rambut.
“Kenapa
tidak ada?” Sandy bergumam sendiri sambil terus mencari. Ketinggalan di rumah?
Berarti seharian ini ia tidak menyadari ia tidak membawa dompet?
Tiba-tiba
ia mendengar dering ponsel. Sandy melirik ponselnya yang tergeletak di meja
kasir. Oh, bukan ponselnya yang berbunyi.
“Kau
sudah sampai di rumah? … Ya, sebentar lagi aku ke sana.”
Sandy
menoleh ke arah suara bernada rendah itu. Suara itu milik pria bersetelah putih
yang berdiri di belakangnya. Rupanya bunyi tadi adalah bunyi ponsel pria
tersebut. Sekarang Sandy melihat orang itu menutup ponsel dan memasukkannya ke
saku celana panjangnya. Sebelah tangannya memegang keranjang kecil berisi lima
botol 7
soju*. Pria
berkacamata itu masih muda, mungkin usianya sekitar akhir dua puluhan atau awal
tiga puluhan, wajahnya tampan dan penampilannya rapi sekali seperti seseorang
yang mempunyai kedudukan penting di perusahaan besar.
Pria
itu memandang Sandy, lalu tersenyum ramah. O-oh. Baru pertama kali Sandy
melihat senyum yang begitu menarik. Senyum itu membuat rasa lelahnya seakan
menguap tak berbekas. Senyum itu sangat menawan, sangat…
Sandy
menggeleng untuk menjernihkan pikiran dan kembali memusatkan perhatian pada
barang-barangnya yang berserakan di meja kasir.
Tiba-tiba
Sandy merasa tangannya ditepuk-tepuk. Ia mengangkat wajahnya dan melihat bibi
pemilik toko sedang tersenyum kepadanya dan berkata, “Soon-Hee, bagaimana kalau
tuan itu membayar belanjaannya duluan?”
Sandy
memandang bibi pemilik toko, lalu berpaling ke arah pria yang berdiri di
belakangnya. “Oh, ya. Maaf.” Sandy menyingkir ke samping dan pria itu melangkah
maju.
“Berapa?”
tanya pria itu sambil meletakkan keranjang yang dipegangnya di meja. Tiba-tiba
terdengar bunyi ponsel lagi.
Kepala
Sandy mulai terasa sakit seperti ditusuk-tusuk. Ia sudah sangat lelah dan
sekarang bunyi ponsel pria itu nyaris membuatnya lepas kendali.
Pria
itu mengeluarkan ponsel dari saku celana dan meliriknya sekilas. Lalu ia
meletakkan ponsel itu di meja dan merogoh saku yang sebelah lagi. Ia
mengeluarkan ponsel yang berbeda, ternyata ponsel yang kedua itulah yang sedang
berbunyi nyaring.
Astaga,
cepat jawab teleponnya! Satu ponsel saja sudah bikin pusing, kenapa harus punya
dua? pikir Sandy sambil memijat-mijat pelipisnya.
Pria
itu membayar belanjaan sambil tetap berbicara di ponsel, lalu berjalan ke
pintu. Tiba-tiba ia berbalik dan mengambil ponsel satu lagi yang tadi
diletakkan di meja kasir. “Maaf,” gumamnya sambil tersenyum kepada bibi pemilik
toko dan Sandy.
Lagi-lagi
senyum itu, senyum yang bisa menghangatkan hati yang beku sekalipun.
Tunggu,
kata-kata apa itu tadi? Sandy memejamkan matanya kuat-kuat dan ketika ia
membuka mata kembali, pria itu sudah berjalan ke luar dan masuk ke mobil sedan
putih yang diparkir di depan toko.
Karena
Sandy tetap tidak bisa menemukan dompetnya, bibi pemilik toko mengizinkannya
membayar besok. Sandy mengumpulkan kembali barang-barangnya yang berserakan di
meja kasir sambil berkali-kali membungkukkan badan dalam-dalam sebagai tanda
terima kasih sekaligus permintaan maaf.
*
Sejenis minuman keras khas Korea. 8
Begitu keluar dari toko, Sandy
langsung membuka sebungkus keripik dan mulai makan. “Sekarang pulang ke rumah,”
katanya pada dirinya sendiri.
Selesai
berkata begitu, ponselnya berbunyi. Saat itu juga ia mengutuk hari ponsel
diciptakan. Sebenarnya ia tidak ingin menjawab ponselnya karena merasa harus
menghemat tenaga untuk perjalanan pulang, tapi benda tidak tahu diri itu terus
menjerit minta diangkat. Akhirnya Sandy menyerah dan mengaduk-aduk tasnya
dengan ganas untuk mencari ponsel sialan itu sebelum ia sendiri yang bakal
menjerit histeris di tengah jalan.
“Haaloo!”
Sandy ingin marah, tapi suaranya malah terdengar putus asa.
Tidak
terdengar jawaban dari ujung sana. Orang itu bisu atau apa?
“Halo?
Siapa ini? Silakan bicara… Halo? HALOO?”
Sandy
baru akan memutuskan hubungan ketika terdengar suara seorang pria yang
ragu-ragu di seberang sana.
“Maaf…
bukankah ini ponsel Tae-Woo?”
Siapa
lagi orang ini?
“Anda
salah sambung. Ini ponsel Han Soon-Hee,” ujar Sandy ketus dan langsung menutup flap
ponselnya dengan keras.
Sandy
menatap ponselnya sambil menggigit bibir penuh rasa dongkol. “Tidak bisakah
kaubiarkan aku tenang sedikit?” Ia baru akan mencabut baterai ponsel itu ketika
ia merasa harus menelepon ibunya untuk memberitahu ia akan segera sampai di
rumah. Walaupun Sandy tinggal di Seoul dan orangtuanya di Jakarta, mereka
sering menelepon dan mengecek keberadaannya. Tadi ibunya malah sudah sempat menelepon
untuk menanyakan kenapa Sandy belum sampai di rumah.
Ia
membuka ponselnya kembali dan menekan angka satu yang akan langsung terhubung
ke rumah orangtuanya di Jakarta, tapi ia heran ketika melihat tulisan yang
tertera di layar ponselnya setelah ia menekan angka itu. Bukan tulisan “Rumah
Jakarta” yang tertera seperti biasa, tapi nama “Park Hyun-Shik”. Sandy
cepat-cepat memutuskan hubungan dan tertegun.
Sandy
memerhatikan ponsel yang dipegangnya. Memang itu ponsel miliknya, setidaknya
bentuk dan warnanya sama persis dengan ponsel miliknya. Ia membuka daftar
telepon di ponselnya dan melongo melihat nama-nama yang tidak dikenalnya.
Otaknya yang sudah lelah dipaksa berpikir.
Tadi
di toko bibi itu, semua barangnya berserakan di meja kasir, termasuk ponselnya.
Ketika ponsel milik pria yang berdiri di belakangnya tadi berbunyi untuk
pertama kali, ia mengira ponselnya sendiri yang berbunyi karena dering ponsel
mereka sama. 9
Kemudian ponsel kedua pria itu
berbunyi. Pria itu meletakkan ponselnya yang pertama di meja dan mengeluarkan
ponsel kedua. Jadi, di meja kasir ada ponsel pria itu dan ponsel Sandy.
Sandy
teringat bentuk ponsel pria itu yang diletakkan di meja memang sama dengan
bentuk ponselnya sendiri. Sebelum keluar dari toko, pria itu berbalik untuk
mengambil ponsel pertamanya yang tertinggal di meja. Sekarang Sandy memegang
ponsel dengan daftar nama yang tidak dikenalnya.
Otaknya
mulai bisa mencerna apa yang sedang terjadi. Artinya… artinya… orang itu telah
mengambil ponsel yang salah. Pria tadi mengambil ponsel Sandy.
Sandy
memukul-mukul dadanya dan mengerang putus asa. “Bagaimana ini? Aduh, bisa gila
aku. Gila.” Ia melihat ke kanan dan ke kiri. Mobil pria itu sudah tidak tampak.
Sandy merasa tubuhnya nyaris ambruk ke tanah. Rasanya ingin menangis saja. Ke
mana ia harus mencari orang itu?
Tiba-tiba
ide muncul di otaknya yang sudah hampir lumpuh. Ponselnya ada pada pria itu,
bukan? Berarti Sandy bisa menelepon ke ponselnya dan pria itu akan menjawab.
Sebersit tenaga muncul kembali. Ia menghubungi ponselnya dengan ponsel pria
tadi yang sedang dipegangnya.
Sandy
berjalan mondar-mandir di tepi jalan dengan gelisah sambil menunggu hubungannya
tersambung. “Cepat angkat… cepat… tolong… ce—Halo?”
“Oh,
Hyong*. Kenapa lama sekali?”
Park
Hyun-Shik tersenyum meminta maaf kepada laki-laki bertubuh tinggi yang membuka
pintu, lalu melangkah masuk ke rumah yang sudah sering didatanginya. “Maaf,
jalanan agak macet,” katanya sambil berjalan ke ruang duduk yang luas. “Hei,
Tae-Woo. Punya makanan ringan? Aku sudah beli minuman.”
Jung
Tae-Woo mengikuti Park Hyun-Shik ke ruang duduk. Ia tidak menghiraukan
pertanyaan temannya dan balik bertanya, “Hyong sudah dengar gosipnya?”
Park
Hyun-Shik memerhatikan temannya mengempaskan diri ke sofa. Tatapan Jung Tae-Woo
terlihat menerawang dan cemas. Sebagai manajer Jung Tae-Woo, Park Hyun-Shik
memahami alasan kekhawatirannya.
“Dari
mana asal gosip itu?” kata Tae-Woo, seakan-akan bertanya pada dirinya sendiri.
Park
Hyun Shik hanya tersenyum kecil dan mengulurkan sebotol soju kepadanya.
*
Kakak, panggilan pria kepada pria yang lebih tua. 10
Tae-Woo membuka tutup botol itu
dan meneguk isinya. “Aku dibilang gay.” Tae-Woo tertawa pahit. “Kenapa
mereka bisa berpikir seperti itu? Memangnya sikapku seperti wanita? Atau aku
pernah terlalu dekat dengan pria? Katakan padaku, Hyong. Jangan-jangan
selama ini Hyong juga berpikir seperti mereka?”
Park
Hyun-Shik duduk di kursi di hadapan Tae-Woo, ikut meneguk soju langsung
dari botolnya. “Kau tahu aku tidak pernah berpikir seperti itu,” ujarnya
tenang. “Masalahnya, tabloid dan majalah memang suka mencari berita. Kau juga
tahu mereka sering menulis artikel yang tidak-tidak. Kau tanya padaku kenapa
mereka bisa berpikir kau gay? Mungkin karena selama ini kau tidak pernah
terlihat dekat dengan wanita mana pun di depan publik.”
Jung
Tae-Woo mengangkat bahu. “Kalau begitu, terserah mereka mau berpikir apa. Kalau
kita tidak menanggapinya, gosip itu tentu akan mereda sendiri.”
Park
Hyun-Shik menggeleng. “Dua minggu lagi album barumu akan diluncurkan. Aku takut
rumor ini bisa memengaruhi penjualan albummu nantinya. Satu gosip bisa
menimbulkan gosip-gosip lain. Bahkan masalah lama juga bisa diungkit-ungkit.
Produsermu tidak akan senang. Ditambah lagi, bagaimana dengan para penggemarmu?
Apa yang akan mereka pikirkan? Kau bisa kehilangan pasar.”
Jung
Tae-Woo mendongak menatap langit-langit dan mengembuskan napas berat. “Lalu
bagaimana?”
Park
Hyun-Shik meneguk minumannya lagi dan berkata, “Untuk masalah gosip gay itu,
kurasa sudah saatnya bagimu untuk memperkenalkan seorang wanita kepada publik.”
Kepala
Tae-Woo berputar cepat ke arah Park Hyun-Shik. “Apa?”
“Sederhana
saja. Kenapa kau tidak mulai pacaran?” usul Park Hyun-Shik langsung.
“Apa?”
Park
Hyun-Shik tidak memandang Jung Tae-Woo dan melanjutkan dengan nada serius,
“Yang penting jangan berpacaran dengan artis. Bisa jadi skandal. Terlalu
berisiko. Kita juga tidak bisa segera membuat pengumuman resmi kepada wartawan
bahwa kau sedang menjalin hubungan dengan wanita karena mereka pasti curiga dan
akan menduga itu hanya sandiwara untuk mengelak dari gosip gay.”
Park
Hyun-Shik mengerutkan kening dan tenggelam dalam pikiran. Akhirnya ia menoleh
dan mendapati Tae-Woo sedang menunggu hasil renungannya.
“Baiklah,”
katanya sambil tersenyum. “Kita misalkan saja bahwa sebenarnya kau punya
kekasih tapi kekasihmu tidak bersedia diekspos, jadi kau terpaksa merahasiakan
hubungan kalian. Dengan begitu, tidak ada yang tahu siapa wanita itu dan tidak
ada yang pernah melihatnya.” 11
Tae-Woo mengerutkan kening
karena bingung. “Tidak ada yang pernah melihat dan tidak ada yang tahu. Apa
untungnya begitu? Orang-orang tidak akan percaya pada sekadar kata-kata
belaka.”
“Tapi
kita bisa memberikan bukti.”
“Bukti
apa?”
“Foto
dirimu bersama wanita itu.”
“Wanita
yang mana?”
“Wanita
yang menjadi kekasihmu.”
“Kekasih
yang mana?”
“Semua
bisa diatur kalau memang kau mau.”
“Maksudnya?”
Senyum
Park Hyun-Shik bertambah lebar. “Kita cari wanita yang tidak dikenal siapa pun
dan memintanya menjadi kekasihmu selama beberapa saat. Kau hanya perlu
memamerkannya di depan wartawan. Beres, bukan?”
Tae-Woo
merenung, lalu berkata, “Bagaimana kalau wartawan mulai menyelidiki asal-usul
wanita itu? Lagi pula di mana kita cari wanita yang bersedia dan bisa dipercaya
untuk diajak bekerja sama? Masa dipilih sembarangan?”
Park
Hyun-Shik meneguk soju-nya lagi dan menatap Tae-Woo. Temannya itu tampak
mempertimbangkan usulnya dengan ekspresi sangat cemas. Alisnya berkerut, sesekali
ia menggigit bibir bawahnya.
Setelah
beberapa saat, Tae-Woo mendesah dan melanjutkan, “Wanita yag seperti apa yang
akan kita pilih? Boleh aku pilih sendiri? Atau kita pilih saja wanita pertama
yang berjalan melewati pintu itu?” Ia menunjuk pintu depan rumahnya dengan
dagu.
Tawa
Park Hyun-Shik meledak. Tae-Woo menatapnya dengan pandangan bingung. “Hyong,
ada apa?”
Park
Hyun-Shik mendorong pelan bahu Tae-Woo. “Astaga, Tae-Woo. Aku hanya bercanda.
Kenapa kau serius begitu?”
“Apa?”
Park
Hyun-Shik menggeleng-geleng. “Aku hanya bercanda soal usul tadi. Sudahlah,
tidak usah dipikirkan. Pasti ada jalan keluarnya.”
Tae-Woo
mendengus, lalu tertawa kecil. “Ah, pusing! Aku mau keluar jalan-jalan
sebentar. Hyong mau ikut?” kata Tae-Woo sambil merebahkan kepala di
sandaran sofa dan memandang langit-langit ruang duduk.
Park
Hyun-Shik mengangkat bahu. “Oke.”
Tae-Woo
mengayun-ayunkan botol soju yang sedang dipegangnya, lalu bertanya, “Oh,
Hyong, ponselku sudah diperbaiki belum?” 12
Park Hyun-Shik mengeluarkan
ponsel dan mengulurkannya kepada Tae-Woo. Tiba-tiba ia teringat pada telepon
yang diterimanya dalam perjalanan ke rumah Tae-Woo tadi. Wanita yang mengaku
bernama Han Soon-Hee itu berkata ponsel mereka tertukar. Karena ia sendiri
tidak bisa kembali mengambilnya, Park Hyun-Shik meminta wanita itu datang ke
rumah Jung Tae-Woo. Mungkin permintaannya agak keterlaluan karena bagaimanapun
tertukarnya ponsel mereka bukan salah wanita itu, tapi apa boleh buat. Jung
Tae-Woo sedang uring-uringan dan kalau sedang uring-uringan, ia tidak suka
menunggu lama.
Ia
baru akan menceritakan hal ini kepada Tae-Woo ketika bel pintu berbunyi.
“Siapa
yang datang malam-malam begini?” gumam Tae-Woo heran.
Sandy
benar-benar tidak mengerti kenapa hari ini ia sial sekali. Mungkin begitu
sampai di rumah ia harus cepat-cepat mandi kembang tujuh warna seperti yang
pernah diajarkan ibunya, apa pun untuk mengguyur hingga tak bersisa segala
kesialan. Sekarang ia berdiri di depan pintu rumah besar berwarna putih. Pria
yang katanya bernama Park Hyun-Shik menyuruhnya kemari untuk mengambil
ponselnya yang tertukar. Sandy jengkel. Kenapa ia yang harus datang, bukankah
orang itu yang duluan mengambil ponsel yang salah? Ia bahkan sampai harus
meminjam uang dari bibi pemilik toko supaya bisa naik bus, ditambah harus
berjalan kaki untuk sampai di kawasan perumahan elite ini.
Sandy
kembali menghembuskan napas. Sudahlah, tidak apa-apa. Hal terpenting sekarang
adalah mendapatkan ponselnya kembali. Setelah ini ia bakal bisa bergegas
pulang. Hari sudah semakin larut dan ia sudah menguap empat kali dalam lima
belas menit terakhir.
Pintu
terbuka dan Sandy mengenali wajah pria yang membuka pintu itu. Ia pria yang ada
di toko tadi. Walaupun agak sulit, Sandy memaksakan seulas senyum sopan.
Pipinya terasa agak kaku, tapi ia berharap senyumnya terlihat normal.
“Apa
kabar? Saya Han Soon-Hee yang tadi menelepon. Saya ingin mengembalikan ponsel
Anda. Ini.” Sandy mengulurkan tangannya yang memegang ponsel.
“Oh,
terima kasih banyak,” kata pria itu ramah. “Saya benar-benar minta maaf karena
sudah merepotkan. Silakan masuk. Ponsel Anda ada di dalam.”
Sebenarnya
Sandy tahu ia tidak boleh masuk ke rumah pria yang tidak ia kenal, apalagi pada
jam selarut ini. Tapi otaknya sudah tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya
dan ia hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan masalah supaya bisa pulang ke
rumah dan tidur. Lagi pula pria itu kelihatannya sangat baik. 13
Sandy melangkah masuk dan
membiarkan dirinya dibawa ke ruang duduk luas dengan perabotan mewah. Di sofa
panjang yang mendominasi ruang tamu itu duduk laki-laki yang sedang berbicara
di telepon. Wajahnya tampan, potongan rambutnya bagus dan rapi, walaupun Sandy
pribadi tidak terlalu suka dengan warna rambut yang agak pirang. Ia merasa
pernah melihat laki-laki itu. Tapi di mana ya?
“Mungkin
Anda salah sambung,” Sandy mendengar pria itu berkata di ponselnya. “Tidak ada
yang namanya Han Soon-Hee atau Sandy di sini.”
Sandy
menatap Park Hyun-Shik dengan pandangan bertanya sambil menunjuk ke arah ponsel
yang sedang dipegang laki-laki tampan di sofa itu.
“Ya,
itu ponsel Anda,” kata Park Hyun-Shik sambil tersenyum kecil.
Laki-laki
yang duduk di sofa masih sibuk sendiri, tidak menyadari kedatangan Sandy.
Keningnya tampak berkerut sebal. Ia berkata dengan nada agak marah. “Maaf, Lee
Jeong-Su ssi*, saya benar-benar tidak mengenal Anda. Saya juga tidak
kenal Han Soon-Hee. Bagaimana saya bisa meminta dia menjawab telepon? Anda
salah sambung.”
Selesai
berkata seperti itu, laki-laki itu menutup flap ponselnya dengan keras.
“Orang aneh,” ia menggerutu sendiri.
“Hei…,”
Sandy mendengar Park Hyun-Shik memanggil laki-laki itu. “Ponsel itu milik nona
ini.”
Laki-laki
di sofa itu berpaling ke arah Park Hyun-Shik, lalu ke arah Sandy. Ketika mata
mereka bertemu, Sandy baru sadar siapa laki-laki itu.
Jung
Tae-Woo agak bingung mendengar penjelasan Park Hyun-Shik. Pandangannya
berpindah-pindah dari sang manajer ke gadis yang berdiri di hadapannya, lalu
kembali ke manajernya lagi. Secara sekilas, ia mengamati orang asing yang
sekarang ada di ruang tamunya itu: gadis bertubuh kecil dengan rambut dikucir
dan tangan menjinjing kantong plastik besar serta tas tangan. Raut wajahnya
terlihat kusam, lelah, dan pucat. Gadis itu diam tak bersuara sementara Park
Hyun-Shik menjelaskan apa yang sudah terjadi.
“Oh,
jadi ini ponsel Anda?” tanya Tae-Woo sambil bangkit dari sofa. Ia mengulurkan
ponsel yang sedang dipegangnya. “Itu… tadi—siapa namanya, maaf, saya
lupa—menelepon mencari Han Soon-Hee atau Sandy. Anda sendiri Han Soon-Hee atau
Sandy?”
Gadis
itu tersenyum samar dan menjawab, “Dua-duanya nama saya.”
*Partikel
dalam bahasa Korea untuk menyatakan rasa hormat. 14
Tiba-tiba ponsel itu berbunyi
dan membuat Tae-Woo tersentak kaget. “Silakan dijawab,” katanya cepat.
Han
Soon-Hee menerima ponsel itu dan langsung membuka flap-nya. “Halo?”
Kemudian
Tae-Woo dan Park Hyun-Shik tertegun ketika mendengar gadis itu berbicara dalam
bahasa asing. Tae-Woo yakin percakapan tersebut bukan dalam bahasa Inggris
ataupun Jepang karena ia menguasai kedua bahasa itu. Entah bahasa apa yang
sedang dipakai gadis itu, pokoknya ia berbicara lancar sekali. Tae-Woo menoleh
ke arah manajernya untuk bertanya dan sebagai jawaban Park Hyun-Shik
menggeleng.
Percakapan
itu tidak berlangsung lama. Setelah menutup telepon si gadis memandang Park
Hyun-Shik dan Tae-Woo bergantian dengan sikap serbasalah. Sambil tersenyum kaku
ia berkata, “Ehm, terima kasih banyak. Saya pulang dulu.”
“Tunggu,”
Park Hyun-Shik menyela. Gadis itu memandangnya tanpa ekspresi. “Kalau boleh
tahu, yang tadi itu bahasa apa?”
“Bahasa
Indonesia,” jawab gadis itu langsung.
“Oh,
begitu.” Park Hyun-Shik tersenyum dan mengangguk-angguk karena sepertinya gadis
itu tidak ingin menjelaskan lebih lanjut. “Anda bisa berbahasa Indonesia
rupanya.”
“Saya
permisi,” kata gadis itu lagi sambil beranjak ke pintu.
“Sebentar,”
Park Hyun-Shik kembali menahan gadis itu. Ia memandang Tae-Woo sekilas, lalu
kembali memandang gadis itu. “Anda tidak datang dengan mobil, bukan? Tadi saya
lihat tidak ada mobil di luar. Begini saja, kebetulan kami juga mau keluar.
Bagaimana kalau Anda kami antar? Saya merasa tidak enak karena Anda harus
mengantar ponsel itu kemari.”
Gadis
itu tersenyum kaku dan menggoyang-goyangkan sebelah tangannya. “Tidak usah.
Saya bisa naik bus.”
“Kami
bisa mengantar Anda ke halte bus,” timpal Tae-Woo. Ia tidak yakin gadis itu
bisa pulang sendiri karena bila dilihat dari keadaannya sekarang, gadis itu
sepertinya bisa jatuh pingsan kapan saja. “Anggap saja sebagai tanda terima
kasih sekaligus tanda maaf dari kami.”
Gadis
itu memandang mereka berdua bergantian dengan matanya yang besar. Raut wajahnya
tampak bimbang. Sepertinya otaknya sedang berputar, mencari cara untuk menolak
tawaran itu. Tae-Woo bisa memahaminya. Seorang gadis yang langsung bersedia
diantar dua pria tidak dikenal sudah pasti gadis yang tidak beres.
“Tidak
usah khawatir. Kami tidak akan macam-macam. Percayalah,” kata Tae-Woo sambil
tersenyum lebar, walaupun ia tahu pasti kalimat itu terdengar tidak terlalu
meyakinkan. 15
“Oh, bukan. Saya tidak
bermaksud begitu,” kata gadis itu sambil menggoyang-goyangkan tangannya lagi.
“Ayo,
biar kami antar sampai ke halte bus,” sela Tae-Woo sambil meraih kunci mobil
manajernya yang ada di meja. Ia menoleh ke arah Park Hyun-Shik. “Hyong,
kita pakai mobilmu saja, ya?”
Sepanjang
perjalanan gadis itu lebih banyak diam. Bila diajak bicara, ia hanya menjawab
seperlunya. Tae-Woo melirik manajernya yang sedang menyetir dan melirik ke kaca
spion untuk mencuri pandang ke kursi belakang. Gadis itu duduk bersandar dan
memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong. Tae-Woo ingin tahu apa yang
membuat gadis itu terlihat begitu lelah.
Tiba-tiba
gadis itu membuka suara, “Saya turun di depan sini saja.”
Jung
Tae-Woo membalikkan tubuhnya sedikit supaya bisa melihat gadis itu. “Di sini
saja? Yakin tidak mau kami antar sampai di rumah?”
“Benar,
kami tidak keberatan,” Park Hyun-Shik menambahkan.
Gadis
itu menyunggingkan seulas senyum yang terkesan dipaksakan. “Tidak usah.
Berhenti di sini saja.”
Park
Hyun-Shik menghentikan mobilnya di tepi jalan, di dekat halte bus.
“Terima
kasih,” kata gadis itu sambil keluar dari mobil. “Selamat malam.”
Ketika
gadis itu membungkuk untuk memberi salam kepada mereka berdua, Park Hyun-Shik
menurunkan kaca mobil dan bertanya, “Nona Han Soon-Hee, ada yang ingin saya
tanyakan. Apakah Anda mengenal teman saya ini?”
Tae-Woo
menyadari manajernya sedang menunjuk ke arahnya.
Han
Soon-Hee mengerjapkan matanya sekali, lalu mengangguk. “Orang ini? Jung
Tae-Woo, bukan? Jung Tae-Woo yang penyanyi itu?” Lalu seakan baru menyadari
sesuatu, ia memandang Tae-Woo dan berkata, “Lagu Anda… lagu Anda… bagus.” 16
Dua
“‟LAGU
Anda bagus‟?”
Sandy
yang duduk bersila di tempat tidur dengan selimut membungkus tubuh menatap
bingung Kang Young-Mi yang duduk di sampingnya. Temannya yang bermata sipit dan
berambut lurus panjang tergerai melewati bahu itu balas menatap Sandy dengan
kedua tangan terlipat di dada.
“Aku
tidak percaya kau hanya bisa berkata begitu. Kenapa tidak minta tanda
tangannya?” Young-Mi melanjutkan dengan nada menuduh.
Sandy
mengerang. “Mungkin karena kemarin aku sedang kesal dan lelah… dan lumpuh
otak.” Ia memegang pipinya yang agak pucat dan menggeleng-geleng. “Betul,
sepertinya otakku benar-benar sudah lumpuh semalam. Bagaimana bisa aku masuk ke
mobil bersama dua laki-laki yang tidak kukenal? Dan saat itu sudah hampir
tengah malam. Astaga, apa yang sudah kulakukan? Aku bukan orang seperti itu.
Tidak, tidak. Aku sudah gila. Syukurlah aku masih beruntung. Bagaimana kalau
sampai terjadi apa-apa kemarin?”
Kayng
Young-Mi mendecakkan lidah. “Hei, kau bukannya bersama orang asing. Kau bersama
Jung Tae-Woo. Kenapa kau tidak minta tanda tangannya?” tanyanya sekali lagi,
nada penyesalan kental terdengar.
“Jung
Tae-Woo orang asing bagiku,” cetus Sandy tegas. “Lagi pula kau tahu sendiri aku
bukan penggemarnya, kenapa aku harus minta tanda tangannya?”
“Walaupun
bukan penggemarnya, kau kan tahu temanmu yang satu ini penggemar beratnya,”
tegur Young-Mi lagi sambil menekankan telapak tangan di dada. “Aku sudah begitu
setia menunggu kemunculannya lagi selama empat tahun ini. Setidaknya kau bisa
minta tanda tangannya untukku… Tidak semua orang bisa bertemu langsung 17
dengan Jung Tae-Woo, kau tahu?
Dan kemarin, entah dengan keajaiban apa, kau bertemu dengannya, kau bicara
dengannya, dan dia bahkan mengantarmu dengan mobilnya.”
“Mobil
temannya,” sela Sandy. “Temannya juga ada di sana.”
Young-Mi
tidak mengacuhkan Sandy. “Kau naik mobil bersamanya. Haah, kalau aku jadi kau,
aku akan—“
“Hei,
Kang Young-Mi!”
Sikap
Young-Mi melunak. “Aku tahu, aku tahu. Tapi kalau lain kali kau bertemu
dengannya, jangan lupa minta tanda tangan untukku.”
Sandy
membaringkan diri ke tempat tidur. “Kalau aku bertemu dengannya lagi,”
gumamnya lirih. Pandangannya menerawang. “Kalau aku bertemu dengannya
lagi.”
Young-Mi
bermain-main dengan salah satu ujung selimut Sandy lalu tiba-tiba menyeletuk,”
Oh ya, kudengar Jung Tae-Woo itu sebenarnya gay. Aku tidak tahu gosip
itu benar atau tidak, meski aku bisa mati karena kecewa kalau dia benar-benar gay.
Kemarin kau bertemu langsung dengannya. Menurutmu bagaimana? Sikapnya seperti
apa? Apakah dia kelihatan normal-normal saja? Terlihat berbeda? Apakah
penampilannya berubah setelah bertahun-tahun menghilang?”
Sandy
mengerutkan kening dan berpikir. “Entahlah, aku tidak merasa ada yang aneh pada
dirinya. Biasa saja. Aduh, aku kan sudah bilang bahwa kemarin aku lumpuh otak.
Aku bahkan tidak ingat lagi baju apa yang dipakainya.”
Young-Mi
menatap prihatin temannya. “Kau benar-benar tidak berguna. Hanya kau yang bisa
demam di musim panas seperti ini. Kepalamu masih sakit? Sudah baikan, belum?”
Sandy
tidak menjawab pertanyaan itu. Ia sedang memikirkan hal lain. Kemudian ia
menggigit bibir dan bertanya, “Young-Mi, sebenarnya apa yang kau suka dari Jung
Tae-Woo? Kenapa kau begitu tergila-gila padanya?”
Senyum
Kang Young-Mi mengembang. “Karena dia tampan, lucu, pandai menyanyi—aduh,
suaranya bagus sekali—dan karena dia menulis lagu-lagu yang begitu romantis dan
menyentuh. Oh ya, album barunya akan diluncurkan sebentar lagi. Ah, aku sudah
tidak sabar.”
“Begitu?”
Tiba-tiba
Young-Mi memekik dan membuat Sandy terperanjat.
“Kenapa?
Ada apa?” tanya Sandy begitu melihat Young-Mi meraih tasnya yang tergeletak di
lantai dengan kasar dan mulai mencari-cari sesuatu di dalamnya.
“Bodohnya
aku, bodohnya aku,” gumam Young-Mi berulang-ulang. “Seharusnya aku langsung
tahu begitu kau menceritakannya padaku.”
“Apa?”
tanya Sandy heran. 18
Young-Mi mengeluarkan tabloid
dan membuka-buka halamannya. “Nah, coba kau lihat ini.”
sandy
melihat artikel berjudul “Pertemuan Tengah Malam” yang ditunjukkan Young-Mi dan
mendadak ia merinding. Artikel itu dilengkapi dua foto Jung Tae-Woo bersama
seorang wanita. Wajah wanita itu tidak terlihat jelas, tapi Sandy sudah tentu
bisa mengenali dirinya sendiri. Wanita yang bersama Jung Tae-Woo di dalam foto
itu adalah dirinya. Astaga! Apa-apaan ini?
Foto
pertama memperlihatkan Sandy dan Jung Tae-Woo yang sedang keluar dari rumah
artis itu. Kepala Sandy tertunduk ketika difoto sehingga wajahnya tidak
terlihat. Sandy ingat saat itu teman Jung Tae-Woo masih berada di dalam rumah
sehingga orang itu tidak ikut terfoto.
Foto
yang kedua diambil ketika Jung Tae-Woo sedang membuka pintu mobil untuknya.
Sosoknya tidak jelas karena terhalang tubuh Jung Tae-Woo. Sandy merasa
bersyukur karena wajahnya tidak terlihat.
“Aku
sempat melupakan tabloid ini ketika aku mendengar kau sakit,” kata Young-Mi
menjelaskan. “Seharusnya aku sudah bisa menduga ketika kau menceritakan apa
yang kaualami semalam tadi, tapi anehnya hari ini kerja otakku lambat sekali.
Wanita yang di foto itu kau, bukan?”
“Astaga,”
gumam Sandy tidak percaya. “Siapa yang mengambil foto-foto ini?”
“Jung
Tae-Woo itu artis terkenal,” kata Young-Mi dengan nada aku-tahu-semua-jadi-percaya-saja-padaku.
“Tentu saja banyak wartawan yang sibuk mencari berita tentang dirinya. Dan yang
satu ini benar-benar berita hebat. Di sini malah ditulis kau kekasih Jung
Tae-Woo.”
Sandy
menggeleng-geleng dan mengembalikan tabloid itu kepada Young-Mi. Ia masih
merinding, “Aku tidak berdua saja dengan Jung Tae-Woo. Paman berkacamata itu,
teman Jung Tae-Woo, juga ada bersama kami, seharusnya siapa pun yang mengambil
foto ini juga tahu, tapi kenapa jadi begini?”
Kang
Young-mi menarik napas panjang. “Sudah kubilang, Jung Tae-Woo itu artis
terkenal. Tabloid-tabloid harus mencari berita yang bisa menarik perhatian
orang. Kalau kalian bertiga yang ada dalam foto itu, tidak akan ada berita.”
Sandy
merasa tubuhnya menggigil. “Untunglah wajahku tidak terlihat. Young-Mi, kuharap
kau tidak akan memberitahu siapa pun tentang pertemuanku dengan Jung Tae-Woo.”
Alis
Young-Mi terangkat. “Kenapa?”
Sandy
mengerutkan kening dan menggaruk kepala. “Enak saja mereka membuat gosip
sembarangan. Kekasihnya? Aku? Aku tidak mau terlibat dengan urusan seperti
gosip artis…” 19
“Kepalamu masih sakit?” tanya
Young-Mi ketika melihat Sandy terdiam sambil memegang dahi.
Sandy
menggeleng dan tersenyum. “Tidak, aku sudah baikan. Sepertinya gara-gara
kecapekan ditambah stres, akhirnya demam. Tapi sekarang aku sudah tidak apa-apa
Young-Mi, kau pulang saja dan bantu ibumu. Sekarang kan jam makan siang. Rumah
makan ibumu pasti sedang ramai.”
“Ibuku
juga mencemaskanmu, jadi aku diizinkan tinggal lebih lama. Oh ya, ibuku sudah
memasak bubur untukmu. Tadi aku taruh di dapur. Kau harus makan, mengerti?”
kata Young-Mi sambil mengambil tasnya yang ada di lantai. Ia meletakkan tangannya
di kening Sandy dan bergumam, “Sudah tidak panas, tapi tetap harus minum obat.
Nanti sore aku akan menjengukmu lagi. Kalau ada apa-apa, telepon aku.”
“Kau
baik sekali, Young-Mi,” kata Sandy sambil tersenyum. “Sampaikan terima kasihku
pada ibumu karena sudah memasak bubur untukku. Ah, tidak usah. Sebaiknya aku
sendiri yang meneleponnya dan berterima kasih. Oh ya, kau harus ingat, soal
pertemuanku dengan Jung Tae-Woo kemarin malam, jangan kaukatakan pada siapa
pun.”
“Ya,
ya, aku tahu. Kau tenang saja. Istirahat yang banyak ya. Sampai jumpa,” kata
Young-Mi sebelum keluar dari kamar Sandy.
Jung
Tae-Woo berdiri tegak di dekat jendela besar ruangan kantor manajernya yang
berada di lantai 20 gedung pencakar langit. Ia memandang ke luar jendela dengan
kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Ia tidak sedang menikmati pemandangan
kota Seoul seperti yang sering dilakukannya pada hari-hari biasa. Pagi ini
sebuah tabloid lagi-lagi memuat artikel yang mengomentari gosip gay-nya.
Gosip itu merambat dengan kecepatan tinggi. Tidak lama lagi ia pasti akan
dimintai penjelasan. Wartawan-wartawan akan mengejarnya… menanyainya… menuntut
tanggapannya. Itulah risiko menjadi artis. Kenangan buruk masa lalu itu muncul
lagi. Ketika para wartawan mengajukan ribuan pertanyaan tanpa henti, ketika ia
merasa begitu frustrasi dan harus bersembunyi untuk menenangkan diri. Kini,
dengan adanya gosip baru itu, hari-hari penuh perjuangan akan kembali dimulai…
atau apakah sebenarnya sudah dimulai?
“Oh,
Tae-Woo, sudah datang rupanya.”
Tae-Woo
begitu sibuk dengan pikirannya sendiri sampai-sampai ia tidak menyadari
manajernya sudah masuk ke kantor itu.
Park
Hyun-Shik berjalan ke meja kerjanya dan meletakkan map biru di meja. “Sudah
lama?” 20
Tae-Woo menggeleng dan
menghampiri kursi di depan meja. “Baru saja sampai. Ada apa menyuruhku kemari
pagi-pagi?”
Park
Hyun-Shik menyampirkan jasnya di sandaran kursi lalu membuka map yang tadi
diletakkannya di meja. Ia mengeluarkan tabloid dari dalamnya dan menyodorkannya
kepada Tae-Woo.
Tae-Woo
menerima tabloid yang disodorkan dengan bingung, namun begitu melihat artikel
yang ada di sana, raut wajahnya berubah. “Apa-apaan ini? Bagaimana mereka bisa…
Ini—“
Tae-Woo
memandang manajernya dan yang ditatap mengangguk. “Benar. Ini foto yang diambil
kemarin malam ketika kita mengantar gadis itu.”
Dengan
kesal Tae-Woo melemparkan tabloid itu ke meja. “Bagus, satu gosip masih tidak
cukup rupanya.” Ia duduk dan bersandar di kursi. “Bagaimana mereka bisa
mendapatkan foto-foto ini? Apakah menurut Hyong, gadis yang kemarin itu
ada hubungannya dengan masalah ini?”
Manajernya
menggeleng pelan. “Tidak, kurasa tidak. Meski kemungkinan seperti itu tetap
ada, sekecil apa pun, tapi menurutku tidak begitu.”
Tae-Woo
mengusap-usap dagu sambil merenung. Ia harus mengakui gadis yang kemarin itu
tidak mungkin ada hubungannya dengan gosip ini, tapi…
“Gadis
yang kemarin itu, Han Soon-Hee… aku sudah menyelidikinya,” kata Park Hyun-Shik
sambil mengulurkan sehelai kertas kepada Tae-Woo. Ia lalu melanjutkan, “Sedang
kuliah tahun ketiga dan bekerja sambilan di butik seorang perancang busana.
Ibunya orang Indonesia dan ayahnya orang Korea. Ayahnya kepala cabang
perusahaan mobil dan ibunya ibu rumah tangga. Dia anak tunggal, lahir di
Jakarta dan tinggal di sana sampai usianya sepuluh tahun, lalu karena kontrak
kerja ayahnya sudah selesai, mereka sekeluarga pindah ke Seoul. Lima tahun yang
lalu orangtuanya pindah kembali ke Jakarta karena ayahnya ditugaskan lagi di
sana, sedangkan dia tetap tinggal di Seoul. Latar belakangnya bersih dan sederhana.”
Tae-Woo
membaca tulisan pada kertas yang dipegangnya dan tertawa kecil. “Dari mana Hyong
mendapatkan semua informasi ini? Sampai tinggi dan berat badannya ada.”
Park
Hyun-Shik hanya tersenyum dan mengeluarkan sehelai kertas lain dari dalam
mapnya lalu mulai membaca, “Menurut orang-orang yang kenal baik dengannya, Han
Soon-Hee wanita baik-baik dan bisa dipercaya. Tidak merokok, tidak pernah
mabuk-mabukan, tidak memakai obat-obat terlarang, dan tidak punya catatan
kriminal apa pun. Jadi aku berani menyimpulkan dia tidak ada sangkut pautnya
dengan foto-foto di tabloid itu.” Lalu ia menyodorkan kertas itu.
Tae-Woo
menerima kertas yang disodorkan manajernya. 21
Park Hyun-Shik menghela napas.
“Meski harus diakui… secara tidak langsung, gosip yang satu ini sudah membantu
kita,” katanya.
Tae-Woo
mengangkat wajah dari kertas di tangannya dan memandang Park Hyun-Shik,
menunggu si manajer menjelaskan maksud kata-katanya.
“Bukankah
gosip ini dengan sendirinya mematahkan gosip gay-mu? Foto-foto itu
memperlihatkan kau bersama seorang wanita di depan rumah pribadimu pada waktu
yang sangat mencurigakan,” kata Park Hyun-Shik sambil tersenyum lebar.
“Aku
tahu kau sudah meminta izin untuk tidak datang bekerja hari ini karena tidak
enak badan, tapi aku sangat membutuhkanmu sekarang, Miss Han. Saat ini juga.
Kami di sini sibuk sekali, apalagi aku, sampai hampir tidak punya waktu untuk
menarik napas. Aku terpaksa memintamu datang, Miss Han. Tolong datanglah
sekarang. Please… Kau pasti tidak sedang sakit berat. Kalau tidak, saat
ini kau pasti sudah diopname di rumah sakit dan bukannya istirahat di rumah. Okay,
Miss Han?”
Sandy
berbaring di ranjang dengan ponsel menempel di telinga. Ia mendengarkan
kata-kata bosnya yang mengalir seperti air bah di ujung sana dengan mata
terpejam. Seharusnya ia tidak mengaktifkan ponselnya hari ini. Seharusnya
bosnya tidak menghubunginya. Seharusnya bosnya tidak bersikap begini. Orang
sakit masa disuruh kerja? Lagi pula ini kan hari Sabtu. Diktator!
“Miss
Han? Miss Han? Halooo? Kau mendengarkanku, Miss Han? Aku tidak bisa berbicara
lama-lama, Miss Han. Very very busy. Kau akan datang, kan?”
“Ya,
ya, Mister Kim. Saya mengerti. Saya akan sampai di sana dalam satu jam,” sahut
Sandy malas.
“Kau
punya waktu setengah jam untuk sampai di studioku, Miss Han,” kata bosnya
sebelum menutup telepon.
Sandy
menatap ponselnya dengan hati dongkol. “Lihat saja, kau akan menerima surat
pengunduran diriku hari Senin nanti. Drakula! Pengisap darah! Hhh, bisa gila
aku!”
Sambil
mengumpat, Sandy memaksa dirinya bangkit dan berjalan terseok-seok ke lemari
pakaian.
Empat
puluh tiga menit kemudian, Sandy sudah berdiri di studio Mister Kim, salah satu
perancang busana paling populer di Korea. Yang disebut studio oleh bosnya
adalah ruang kerja berantakan yang penuh kain berbagai corak, baik kain perca
tak berguna maupun kain yang masih baru. Studio itu terletak di lantai teratas
gedung 22
berlantai tiga. Butik Mister
Kim sendiri terdiri atas dua lantai: lantai pertama diperuntukkan tamu umum
sedangkan lantai duanya untuk tamu VIP.
Sandy
masuk dan melihat pria setengah baya berpenampilan perlente, berambut dicat
merah, dan berkaca-mata itu sedang memandangi model kurus dengan tatapan tidak
puas. Lalu dengan sekali sentakan tangan, ia menyuruh model itu pergi dan
menyuruh anak buahnya memanggil model lain.
Tepat
pada saat model lain masuk ke ruangan, Mister Kim menyadari keberadaan Sandy
dan langsung memekik, “Miss Han! Kau terlambat. Kenapa—sebentar…” Ia berpaling
ke arah si model yang baru masuk dan berkata ketus, “No, no! Bukan kau.
Apa yang harus kulakukan supaya mereka mengerti model seperti apa yang
kubutuhkan? Astaga! Panggilkan Mister Cha ke sini.”
Sandy
merasa kasihan melihat ekspresi kaget si model wanita. Harus diakui Mister Kim
ini bukan orang yang mudah. Kadang-kadang orang jenius memang sulit dibuat
senang.
Mister
Kim kembali memusatkan perhatian kepada Sandy. “Kau lihat sendiri, Miss Han,
kami sedang sibuk sekali untuk fashion show. Tolong kauantarkan
pakaian-pakaian untuk dicoba.”
Apa?
Untuk dicoba siapa? Pakaian mana? Mister Kim selalu mengharapkan orang lain
langsung bisa memahami kata-katanya yang tidak selalu jelas.
“Diantarkan
kepada siapa dan dicoba untuk apa, Mister Kim?” tanya Sandy.
Mister
Kim menatapnya dengan mata dibelalakkan selebar-lebarnya, setidaknya selebar
yang mungkin di lakukan mata yang pada dasarnya sipit. “Astaga, Miss Han. Kau
tentu ingat aku pernah bercerita tentang Jung Tae-Woo, bukan? Dia sudah setuju
akan memakai pakaian rancanganku dalam setiap penampilannya. Makanya kau
cepat-cepatlah pergi ke sana dan pastikan pakaian-pakaian itu sudah cocok
dengan ukuran dan seleranya.”
Lalu,
sebelum Sandy bertanya lagi dia sudah menunjuk rak pakaian beroda yang ada di
dekat pintu, “Itu! Pakaian yang di rak itu!”
Tidak,
Anda belum pernah menyebut-nyebut tentang masalah ini kepadaku, gerutu Sandy
dalam hati, tapi yang keluar dari mulutnya adalah, “Siapa yang Anda sebut
tadi?”
“Jung
Tae-Woo. Penyanyi itu. Kau tidak kenal? Sudahlah, kenal atau tidak bukan
masalah penting. Sana cepat pergi! Dia sudah menunggu di butik. Ayo sana. Go!
Cepat!” katanya sambil mendorong punggung Sandy ke arah pintu keluar
studionya.
*
* * 23
Sandy mendorong rak beroda yang
nyaris terisi penuh pakaian di sepanjang koridor. Masih dengan perasaan sebal,
ia berjalan menuju lift. Di tengah jalan Sandy berpapasan dengan penjaga butik
yang sudah kenal baik dengannya dan diberitahu Jung Tae-Woo sudah menunggu di
lantai dua.
Sesampainya
di depan pintu ruang peragaan lantai dua yang memancarkan kesan elite itu, ia
berhenti beberapa saat. Ia ragu. Kenapa ia harus bertemu Jung Tae-Woo lagi? Apa
yang harus ia katakan kepadanya? Apa yang harus ia lakukan? Apakah laki-laki
itu sudah tahu tentang foto-foto yang dimuat di tabloid itu?
Sandy
mendesah dan menggigit bibir. Mungkin saja Jung Tae-Woo malah tidak ingat
padanya lagi. Sandy mengangguk. Benar, Jung Tae-Woo pasti sudah lupa padanya.
Artis-artis pasti sulit mengingat wajah karena setiap hari mereka harus bertemu
begitu banyak orang baru. Pasti begitu. Mana mungkin mereka ingat setiap orang
yang mereka temui dalam waktu singkat, kan?
Dengan
keyakinan itu, Sandy mendorong pintu kaca besar di hadapannya dan melangkah
masuk. Ia menarik napas dalam-dalam dan memaksa kakinya terus berjalan.
Sandy
berdiri di depan pintu putih salah satu kamar peragaan dan kembali menarik
napas. Baiklah, ini saatnya. Lakukan dan selesaikan secepatnya! Tidak usah
cemas. Orang itu tidak akan ingat padamu. Kerjakan saja tugasmu.
Ia
meraih pegangan pintu dan membukanya.
“Salah
seorang anak buahnya akan mengantarkan pakaian-pakaian itu ke sini,” kata Park
Hyun-Shik sambil menutup flap ponsel.
Tae-Woo
mengembuskan napas keras-keras dan mengempaskan diri ke sofa empuk yang
diletakkan di tengah-tengah kamar peragaan. “Sudah kubilang, seharusnya kita
tidak usah datang secepat ini.” Ia melirik jam tangannya. “Ah, aku salah,
ternyata bukan kita yang datang terlalu cepat. Mereka yang terlambat. Hhh…
harus menunggu berapa lama?”
Park
Hyun-Shik baru akan menjawab ketika ponselnya berdering untuk kesekian kalinya
dalam dua jam terakhir.
Tae-Woo
menatap manajernya yang sedang berbicara dengan bahasa formal di ponsel.
Sepertinya telepon dari produser atau semacamnya. Park Hyun-Shik memberi
isyarat akan keluar sebentar. Tae-Woo mengangguk tak acuh dan Park Hyun-Shik
keluar dari ruangan itu. 24
Tae-Woo merebahkan kepala ke
sandaran sofa, mencoba mendapatkan kenyamanan. Baru saja ia merasa damai dan
hampir terlelap ketika ia mendengar bunyi pintu dibuka dan suara seorang
wanita.
“Selamat
siang. Maaf membuat Anda menunggu lama.”
Tae-Woo
membuka mata. Gadis berambut sebahu dan bertopi merah memasuki ruangan sambil
mendorong rak pakaian beroda. Gadis itu membungkuk hormat. Tae-Woo berdiri dan
membungkuk sedikit untuk membalas sapaannya.
“Mister
Kim meminta saya membawakan pakaian-pakaian ini untuk Anda. Silakan dicoba.”
Gadis itu mendorong rak hingga ke ujung ruangan, ke dekat bilik ganti. Ia
mengeluarkan salah satu pakaian dari gantungan dan mengulurkannya kepada
Tae-Woo. “Silakan dicoba di sana,” katanya sambil menunjuk ke arah bilik yang
tertutup tirai tebal.
Ada
perasaan janggal yang mengusik Tae-Woo, tapi ia tidak tahu apa yang membuatnya
merasa seperti itu. Ia menerima pakaian yang disodorkan dan beranjak ke bilik
ganti.
Selesai
mengenakan pakaian, Tae-Woo menyibakkan tirai. Tepat pada saat itu ia melihat gadis
yang membawakan pakaian tadi sedang duduk di kursi bulat di samping sofa. Topi
merahnya dilepas dan gadis itu sedang menyisir rambutnya yang agak ikal dengan
jari-jari tangan. Tae-Woo tertegun dan menatap gadis itu. Itulah kali pertama
ia melihat jelas wajah si gadis sejak ia masuk bersama rak pakaian.
Tiba-tiba
gadis itu menoleh dengan wajah terkejut, sepertinya ia menyadari sedang
diperhatikan. Ia cepat-cepat mengenakan kembali topinya dan berdiri.
“Bagaimana? Apakah pakaiannya cocok? Anda suka?”
Bukankah
ia gadis yang kemarin ditemuinya? Tidak salah lagi. Tae-Woo masih ingat wajah
gadis itu. Wajah yang lelah dan pucat. Gadis yang berdiri di hadapannya ini
memang gadis yang kemarin. Wajahnya masih terlihat lelah dan pucat. Tapi kenapa
gadis ini tidak mengatakan apa-apa? Apakah ia tidak mengenalinya?
“Kita
pernah bertemu,” kata Tae-Woo. Ia tidak sedang bertanya. Ia benar-benar yakin,
karena itu ia ingin melihat reaksi si gadis.
Gadis
itu tertegun, lalu perlahan-lahan mengangkat kepala dan memandang Tae-Woo
dengan ragu-ragu.
Tatapan
yang ragu-ragu itu tidak salah lagi sama dengan tatapan gadis yang kemarin
datang ke rumahnya. Tae-Woo menunggu si gadis mengatakan sesuatu.
Setelah
hening beberapa detik, gadis itu hanya bergumam, “Oh?”
Tae-Woo
kecewa karena gadis itu tidak menunjukkan reaksi apa pun. Ia hanya menatapnya
dengan matanya yang besar. Gadis itu bodoh atau benar-benar tidak ingat lagi
kejadian kemarin malam? Bukannya sombong, tapi Tae-Woo tidak habis pikir 25
bagaimana seseorang bisa melupakan
artis yang baru ia temui kemarin malam? Tae-Woo kesal karena justru dirinyalah
yang ingat pada si gadis, sementara si gadis tampaknya sama sekali tidak ingat
padanya. Bagaimana bisa? Atau sebenarnya ia tidak sepopuler yang ia kira?
Apakah dunia sudah berubah tanpa sepengetahuannya?
“Kau
datang ke rumahku kemarin malam karena ponselku tertukar dengan ponselmu,” kata
Tae-Woo datar dan cepat, berusaha membantu ingatan gadis itu. Demi Tuhan,
memangnya gadis ini menderita amnesia?
Sandy
memerhatikan Jung Tae-Woo masuk ke bilik ganti dan menarik tirai. Ia
mengembuskan napas lega dan duduk di kursi bulat yang empuk. Laki-laki itu
teryata memang tidak mengenalinya. Sandy melepaskan topi dan memegang pipinya
dengan sebelah tangan. Lelah sekali. Semoga saja sampai pekerjaannya selesai
Jung Tae-Woo tidak akan mengenalinya. Ia menyisir rambut dengan jari-jari
tangan sambil melamun. Tiba-tiba ia melihat Jung Tae-Woo sudah berdiri di sana
sambil memerhatikannya. Sandy tersentak dan segera memakai topinya kembali.
“Bagaimana?
Apakah pakaiannya cocok? Anda suka?” tanyanya dengan nada yang dibuat riang dan
sopan.
“Kita
pernah bertemu.”
Sandy
bergeming. Ia menggigit bibir. Ternyata Jung Tae-Woo mengenalinya. Bagaimana
sekarang? Mengaku saja? Tapi kalau baru mengaku sekarang akan terasa aneh.
Akhirnya ia hanya bisa bergumam tidak jelas.
“Kau
datang ke rumahku kemarin malam karena ponselku tertukar dengan ponselmu,” kata
Jung Tae-Woo lagi. Nada suaranya datar.
Baiklah,
ia tidak bisa mengelak lagi. Sandy memaksakan seulas senyum. “Oh, ya, benar.
Apa kabar?”
Hanya
itu yang bisa dipikirkannya. Sandy memarahi dirinya sendiri dalam hati.
Jung
Tae-Woo memandangnya dengan tatapan aneh, lalu memalingkan wajah dan mendengus
pelan. “Ternyata ingat juga,” gumamnya.
Sandy
mengangkat alis. “Ya?”
Jung
Tae-Woo kembali menatapnya dan berkata, “Jadi kau bekerja di sini?”
“Ya…
bisa dibilang begitu,” jawab Sandy. Ia lega sekarang. Setidaknya ia tidak perlu
menundukkan kepala lagi. Tidak perlu menyembunyikan wajah lagi.
“Foto
di tabloid itu… Kau sudah melihatnya?” tanya Jung Tae-Woo.
Sandy
menelan ludah. Ini dia. Apakah Jung Tae-Woo menyangka ia berada di balik semua
ini? 26
“Sudah…,” sahutnya ragu, lalu
cepat-cepat menambahkan sambil menggoyang-goyangkan tangan, “tapi bukan aku…
Maksudku, aku tidak ada hubungannya dengan itu. Sungguh.”
Jung
Tae-Woo tertawa kecil. “Kami juga berpikir begitu. Lagi pula sebenarnya
foto-foto itu malah membantuku.”
Sandy
tidak mengerti.
“Kau
sering membaca tabloid?” tanya Tae-Woo.
Sandy
menggeleng. Ia tidak punya waktu untuk itu. Lagi pula ia sama sekali tidak
perlu membaca tabloid untuk tahu gosip seputar artis. Temannya, Kang Young-Mi,
adalah tabloid berjalan. Kang Young-Mi tahu semua yang terjadi dalam dunia
artis. Apa pun yang ia ketahui pasti akan diceritakannya kepada Sandy, tidak
peduli Sandy sebenarnya mau tahu atau tidak.
Jung
Tae-Woo mengangguk-angguk. “Hm, berarti kau tidak tahu-menahu soal gosip
tentang diriku.”
“Gosip
gay itu?” kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Sandy tanpa
diproses di otaknya terlebih dahulu.
Jung
Tae-Woo menatapnya. “Bukannya kau tadi bilang kau tidak membaca tabloid?”
Sandy
memiringkan kepala dengan salah tingkah. “Temanku yang menceritakannya padaku.”
“Ternyata
banyak orang yang sudah tahu.” Jung Tae-Woo mendesah. “Bagaimanapun, foto-foto
itu sudah membantuku mengatasi gosip.”
Sandy
hanya mengangguk-angguk tidak acuh, namun ia terkejut ketika laki-laki di
hadapannya itu mendadak berpaling ke arahnya dengan wajah berseri-seri.
“Han
Soon-Hee ssi—namamu Han Soon-Hee, bukan?” tanyanya cepat. Tanpa menunggu
jawaban Sandy, ia meneruskan, “Karena kau sudah membantuku satu kali, bagaimana
kalau kau membantuku lagi?”
Sandy
mundur selangkah. “Bantu… apa?”
“Jadi
pacarku.”
“A-apa?!”
Tae-Woo
agak kaget mendengar pekikan gadis itu, tapi ia bisa memakluminya.
“Begini,
biar kuganti kalimat permintaanku,” katanya sambil berkacak pinggang dan
berpikir-pikir. Kemudian ia mengangkat wajah dan menatap Sandy. “Aku hanya
ingin memintamu berfoto denganku sebagai pacarku.” 27
Sandy mengerjap-ngerjapkan mata
dengan bingung. Tae-Woo cepat-cepat menjelaskan. Ia sangat menyadari alis gadis
itu terangkat ketika mendengarkan ceritanya.
“Hanya
berfoto. Bagaimana?” tanya Tae-Woo di akhir penjelasannya. Ia menatap Sandy
yang masih tercengang. Kenapa tiba-tiba ia merasa seolah sedang disidang di
pengadilan? Ia sangat penasaran apa yang akan dikatakan gadis itu, apa
jawabannya.
Kalimat
pertama yang keluar dari mulut Sandy adalah, “Kenapa aku?”
Pertanyaan
yang bagus. “Tidak ada alasan khusus,” sahut Tae-Woo santai. “Kupikir kau
mungkin mau membantuku. Bagaimanapun kita sudah pernah difoto bersama walaupun
tanpa sengaja.”
Sandy
masih terlihat bingung, tapi Tae-Woo melihat kening gadis itu berkerut, tanda
sedang mempertimbangkan usul yang ia ajukan. Setidaknya Sandy tidak langsung
menolak mentah-mentah.
Tae-Woo
cepat-cepat mengambil kesempatan itu untuk menambahkan, “Kalau kau mau, anggap
saja aku menawarkan pekerjaan kepadamu. Tidak akan mengganggu pekerjaanmu yang
sekarang. Kau masih kuliah? Kuliahmu juga tidak akan terganggu.”
“Memangnya
aku terlihat seperti sedang butuh pekerjaan?” tanya Sandy datar. “Atau butuh
uang?”
Tae-Woo
terdiam. Ia memandang Sandy dari kepala sampai ke ujung kaki. Tidak, gadis ini
memang sudah punya pekerjaan dan dilihat dari cara berpakaiannya, ia tidak
tampak seperti gadis yang kekurangan uang.
“Memang
tidak,” Tae-Woo mengakui. “Begini saja, aku akan memberimu apa pun yang
kauinginkan kalau kau bersedia membantuku.”
“Hanya
untuk berfoto bersama?” tanya Sandy memastikan.
“Begitulah
rencananya,” jawab Tae-Woo pasti. Ia mulai merasa tidak percaya diri melihat
tanggapan gadis itu. Apa yang sedang dipertimbangkannya? Yah, mungkin memang
karena pada dasarnya Han Soon-Hee bukanlah salah satu penggemarnya. Jadi, tidak
aneh kalau gadis itu tidka antusias dengan gagasan ini.
Tiba-tiba
terdengar dering ponsel. Otomatis Tae-Woo merogoh saku bagian dalam jasnya.
Pada saat yang sama Sandy juga merogoh tas tangannya yang terletak di meja.
Ternyata yang berdering ponsel milik gadis itu. Tae-Woo baru ingat ponsel Sandy
sama dengan ponsel miliknya. Bahkan nada deringnya juga persis sama. Mungkin
salah satu dari mereka harus segera mengganti nada dering.
Sandy
menatap ponselnya, membuka flap-nya, tapi langsung menutupnya lagi tanpa
dijawab terlebih dulu. Rasa ingin tahu Tae-Woo bertambah ketika ia melihat
gadis itu melepaskan baterai ponselnya kemudian kembali menyimpan tas beserta
baterainya itu ke tas. Siapa yang meneleponnya tadi? Tidak tampak ekspresi apa
pun di 28
wajahnya. Tapi sepertinya Sandy
tidak berniat memberikan penjelasan atas tidakannya barusan.
“Mau
membantu, kan?” Tae-Woo akhirnya membuka suara setelah mereka berdua terdiam
beberapa saat.
Gadis
itu mengangkat wajahnya dan menatap Tae-Woo. “Baiklah, asalkan wajahku tidak
terlihat.”
Udara
di sekeliling Tae-Woo jadi terasa lebih ringan. Ia mengembuskan napas pelan dan
tersenyum lega. Meminta bantuan Sandy ternyata tidak sesulit dugaannya. Tidak
ada syarat yang aneh-aneh. Kalau sekadar merahasiakan identitas, ia bisa
memaklumi itu. Gadis ini tentu saja tidak ingin berurusan dengan wartawan.
“Terima
kasih. Kuharap kau tidak akan memberitahu orang lain tentang kesepakan kita
ini, bahkan orangtuamu sekalipun. Aku tidak ingin menciptakan skandal yang
lebih parah. Aku bisa memercayaimu, kan?”
“Mm,
aku mengerti,” kata Sandy menyanggupi. Tapi begitu melihat matanya yang agak
menerawang, Tae-Woo jadi kurang yakin apakah gadis itu benar-benar memahami kata-katanya.
Pada
saat itu pintu terbuka dan mereka berdua menoleh. Ternyata yang masuk Park
Hyun-Shik. Sang manajer memandang mereka berdua dengan tatapan bertanya-tanya,
lalu setelah beberapa saat wajahnya menjadi cerah.
“Oh,
kau yang kemarin itu?” tanya Park Hyun-Shik sambil menghampiri Sandy.
Tae-Woo
tersenyum lebar. “Hyong, dia bersedia menjadi pacarku.”
Senyum
manajernya langsung lenyap. “Maksudmu?”
“Yang
Hyong katakan kemarin… soal foto… aku sudah memikirkannya,” kata
Tae-Woo, masih tetap tersenyum. “Kita lakukan saja. Dia juga sudah bersedia
membantu. Memang tidak persis seperti rencana yang Hyong usulkan
kemarin.”
Park
Hyun-Shik terlihat bingung. “Soal yang kemarin…?” Ia terdiam sebentar, lalu,
“Astaga, kau serius?”
“Akan
kujelaskan lebih lanjut pada Hyong nanti,” kata Tae-Woo sambil
menepuk-nepuk pundak manajernya. “Kita lanjutkan pekerjaan kita dulu. Bukankah
kita ke sini karena aku harus mencoba semua pakaian ini?”
Sandy
keluar dari tempatnya bekerja dengan langkah gamang seolah setengah sadar.
Tugasnya mencocokkan pakaian Jung Tae-Woo sudah selesai, tapi otaknya seakan
masih tertinggal sebagian di butik itu. Ia berjalan dengan langkah lambat,
membelok di ujung jalan, lalu langkah kakinya terhenti. 29
“Apa yang sudah kulakukan?” ia
bertanya pada dirinya sendiri sambil memegang pipi dengan sebelah tangan.
Sandy
harus berusaha keras menenangkan diri karena jantungnya berdebar kencang
sekali. Sejak tadi ia berjuang supaya rasa gugupnya tidak terlihat oleh kedua
pria itu. Perasaan canggung saat Jung Tae-Woo menjelaskan rencananya kepada si
manajer sementara pria itu mencoba pakaian tadi bahkan masih bisa ia rasakan
hingga kini.
Si
manajer agak bimbang. Ia banyak bertanya pada Sandy, selain itu juga berulang
kali menekankan bahwa masalah ini tidak boleh sampai diketahui orang lain.
Tentu saja Sandy mengerti. Diam-diam, sambil mendengarkan pesan Park Hyun-Shik,
Sandy mengamatinya. Pria yang satu itu benar-benar memiliki daya tarik. Cara
bicaranya menyenangkan, senyumnya menawan, dan matanya ramah. Sandy tahu
Hyun-Shik bertanya-tanya kenapa ia mau begitu saja membantu Jung Tae-Woo, tapi
ia pura-pura bodoh. Pada awalnya Sandy memang agak ragu dengan tawaran Tae-Woo,
tapi akhirnya rasa penasarannyalah yang menang. Ia meyakinkan dirinya ini jalan
yang tepat. Ini mungkin kesempatan yang telah lama dinantinya untuk mendapat
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sudah lama menghantui….
Lagi
pula menurutnya pekerjaan yang ditawarkan kepadanya tidak susah. Ia hanya perlu
difoto bersama Jung Tae-Woo. Bukan masalah. Ia pasti bisamelakukannya. Ia sadar
kesepakatan ini akan membuatnya sering bertemu Jung Tae-Woo, tapi ini bukan
masalah, toh ia tidak merasakan apa-apa terhadap artis itu. Nilai tambah lain,
kalau ia sering bersama Jung Tae-Woo, ia akan tahu dan mengerti kenapa teman
dekatnya juga banyak wanita lain bisa tergila-gila pada pria itu.
“Baiklah,”
katanya pada dirinya sendiri. “Aku pasti bisa melakukannya. Ah, astaga! Aku
lupa minta tanda tangan Jung Tae-Woo untuk Young-Mi.”
Sandy
merogoh tasnya untuk mencari ponsel, tapi kemudian berhenti. Apakah sebaiknya
aku tidak memberitahu Young-Mi aku bertemu Tae-Woo tadi? Dia pasti kesal karena
aku lupa meminta tanda tangan lagi. Tapi ia pasti bakal jadi lebih kesal kalau
tahu aku menyembunyikan soal pertemuan ini…
Sandy
melanjutkan mencari ponselnya di tas tangannya dan menemukan baterai ponsel
yang tadi ia lepas. Mendadak ia jadi teringat Lee Jeong-Su tadi meneleponnya.
Mudah-mudahan Jeong-Su bisa mengerti kenapa ia tidak bisa menerima telepon
tadi. Eh… tunggu dulu, kalau dipikir-pikir lagi, kenapa ia harus merasa
bersalah? Mana ada orang yang bisa menjawab telepon kalau sedang berada dalam
situasi seperti tadi? Lagi pula sepanjang pengalamannya, kalau Lee Jeong-Su
yang menelepon, pasti bukan karena ada hal penting.
Kenapa
Lee Jeong-Su masih terus menghubunginya? Bukankah pria itu sendiri yang meminta
putus hubungan? Orang aneh! 30
Sandy memasang baterai
ponselnya kembali dan baru akan menghubungi Young-Mi ketika ia teringat
janjinya. Aah… benar juga, aku sudah berjanji pada Park Hyun-Shik ssi tidak
akan menceritakan masalah ini pada orang lain. Ah, bagaimana ini? Yah… apa
boleh buat…
Ia
kembali memasukkan ponsel itu ke tas tangannya, lalu ia mendongak menatap
langit yang biru dan bergumam, “Baiklah, Sandy. Semoga keputusanmu ini ada
gunanya. Aja aja, fighting*!”
Sekarang
ia harus pulang dan tidur dulu untuk mengumpulkan tenaga. Ia sudah berjanji
akan menemui kedua pria itu nanti malam.
*
Ayo, semangat! 31
Tiga
“SOON-HEE
SSI, sebaiknya pinggiran topimu diturunkan sedikit lagi. Wajahmu harus
tertutup,” perintah Park Hyun-Shik.
Sandy
bergumam tidak jelas, menyerahkan ponsel yang dipegangnya kepada Jung Tae-Woo,
lalu menarik turun topi merahnya. “Kalau begini aku sendiri tidak bisa melihat
apa-apa,” desahnya. “Paman sebenarnya ada di mana? Dia sedang meneropong kita
atau semacamnya?”
Ia
dan Jung Tae-Woo sedang berada di dalam mobil Jung Tae-Woo yang diparkir di
lapangan parkir depan gedung tempat Park Hyun-Shik bekerja. Saat itu pukul
sepuluh malam dan suasana di tempat parkir sepi sekali. Jung Tae-Woo yang
mengenakan topi hitam dan kacamata hitam duduk di balik kemudi, Sandy duduk di
sampingnya, sementara Park Hyun-Shik mengawasi mereka entah dari mana. Semua
komunikasi dilakukan lewat ponsel. Mereka sudah siap menjalankan tahap pertama
rencana.
Jung
Tae-Woo menempelkan ponsel ke telinga dan berkata, “Sudah bisa dimulai.”
Ia
menutup ponsel dan memandang Sandy yang sedang merapikan kepang rambutnya.
“Sekitar semenit lagi kita keluar,” katanya pendek.
“Jadi
kita hanya perlu keluar dari mobil, bergaya sebentar, lalu masuk kembali ke
mobil?” tanya Sandy memastikan.
Jung
Tae-Woo mengangguk. Ia diam, lalu, “Nah, sepertinya Hyong sudah siap
dengan kameranya. Kita keluar sekarang.”
Mereka
berdua keluar dari mobil dan mulai berjalan berdampingan.
“Kenapa
jauh begitu?” tanya Jung Tae-Woo.
Sandy
menoleh dan menyadari Jung Tae-Woo sedang mengomentari jarak antara mereka
berdua yang terlalu jauh. “Kenapa? Kurasa ini sudah cukup dekat.” 32
“Orang-orang tidak akan percaya
aku punya hubungan khusus denganmu kalau kau berdiri sejauh itu.”
Sandy
berhenti berjalan dan memutar tubuh menghadap Jung Tae-Woo. “Menurutku seperti
ini juga sudah lumayan. Kita tidak perlu sampai berpelukan supaya orang percaya
kita punya hubungan khusus, kan?”
Jung
Tae-Woo tertawa pendek. “Apanya yang lumayan? Tubuhmu kaku begitu dan jalanmu
seperti robot.”
Sandy
tetap diam.
Jung
Tae-Woo balas menatapnya, lalu berkata, “Kita harus melakukan sesuatu.”
Sandy
terkejut ketika Jung Tae-Woo melangkah mendekati dirinya. “Mau apa kau?”
tanyanya, tapi saking gugupnya ia tidak bisa bergerak dari tempatnya berdiri.
Jung
Tae-Woo berdiri tepat di depannya. Sandy baru menyadari betapa dirinya begitu
pendek dibandingkan pria itu. Kepalanya sampai harus mendongak kalau ia mau
melihat wajah Jung Tae-Woo.
“Hei,
Jung Tae-Woo ssi, kau sebenarnya mau apa?” tanya Sandy sekali lagi
ketika setelah beberapa saat Jung Tae-Woo hanya berdiri diam tanpa melakukan
apa-apa. Ia tidak bisa melihat ekspresi Jung Tae-Woo dengan jelas karena
laki-laki itu memakai kacamata hitam, tapi Sandy bisa melihat bibir pria itu
membentuk seulas senyum.
“Aku?
Hanya memberikan pose yang bagus untuk foto kita,” katanya santai, lalu ia
mundur kembali.
Sandy
mendengus pelan. “Lucu sekali.”
“Misi
selesai,” kata Sandy ketika mereka sudah duduk kembali di dalam mobil. “Hhhh…
lelahnya. Benar-benar pekerjaan yang berat.”
Tae-Woo
tersenyum kecil mendengar gurauan Sandy. Ternyata gadis ini bisa bercanda juga.
Tae-Woo yakin sebenarnya Sandy orang yang ramah, meski saat ini gadis itu lebih
sering bersikap kaku dan menjaga jarak, bahkan terkadang cenderung dingin.
Bagaimanapun hal itu wajar saja mengingat mereka tidak terlalu saling mengenal.
“Aku
merasa seperti sedang main film,” Sandy menambahkan. “Mungkin seharusnya aku
jadi aktris saja. Bagaimana menurutmu?”
“Teruslah
bermimpi,” sahut Tae-Woo sambil menghidupkan mesin mobil.
Saat
itu terdengar dering ponsel. Mereka berdua serentak mencari ponsel mereka. Yang
berdering ternyata ponsel Tae-Woo.
“Sebaiknya
kauganti nada dering ponselmu,” gerutu Sandy sambil memasukkan ponselnya
kembali ke saku celana. 33
“Kenapa harus aku? Kau saja
yang ganti,” kata Tae-Woo sebelum menjawab teleponnya. “Ya, Hyong…
Sudah?”
Tiba-tiba
ponsel Sandy berdering juga. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Sandy langsung
menjawab teleponnya. “Halo?”
Tae-Woo
melihat gadis itu mendesah dan melepaskan topi merahnya. Siapa yang
meneleponnya? Lamunan dalam benaknya buyar ketika ia sadar Park Hyun-Shik
berulang kali menyebut namanya di telepon.
“Eh,
apa, Hyong?... Oh, oke. Sampai jumpa besok,” kata Tae-Woo sebelum
menutup ponsel.
“Aku?
Sekarang? Sedang di luar,” kata Sandy dengan nada santai.
Tae-Woo
memerhatikan alis Sandy terangkat ketika gadis itu mendengarkan jawaban orang
di seberang sana.
“Sebentar
lagi juga akan pulang. Kalau ada yang perlu dibicarakan, bicarakan nanti saja.
Aku sekarang sedang sibuk. Tutup dulu ya.” Sandy langsung menutup teleponnya.
“Telepon
dari siapa?” tanya Tae-Woo sambil lalu.
Sandy
menoleh ke arahnya. “Teman,” sahut gadis itu pendek, lalu mengalihkan
pembicaraan. “Kita sudah selesai sekarang? Paman bilang apa tadi?”
Tae-Woo
memandang Sandy dengan kening berkerut. “Paman?” tanyanya heran. “Kenapa kau
memanggil Hyong „paman‟?
Dia kan belum setua itu. Kalau aku sih tidak akan sudi dipanggil „paman‟.”
Sandy
baru akan membuka mulut untuk menjawab ketika Tae-Woo menambahkan, “Tapi
terserah kau sajalah. Panggil saja dia „paman‟ atau apa pun sesukamu. Hyong
tidak akan keberatan. Dia bukan orang yang suka ambil pusing untuk masalah
seperti ini. Asal kau tidak memanggilnya „onni*‟ saja.”
Sandy
menarik napas dan berdeham “Jadi Paman bilang apa tadi?” tanyanya sekali lagi.
“Katanya
mungkin lusa foto-foto itu akan muncul di tabloid,” jawab Tae-Woo. Namun
kemudian perkataannya selanjutnya seakan ditujukan kepada dirinya sendiri,
“Harus lagi-lagi siap menghadapi wartawan. Tapi setidaknya reputasiku akan
kembali seperti dulu…”
Tae-Woo
menoleh dan mendapati Sandy sedang menatapnya dengan pandangan aneh. “Apa? Ada
apa?”
“Boleh
aku bertanya sesuatu?” tanya Sandy agak ragu.
“Apa?”
*
Kakak, panggilan wanita kepada wanita yang lebih tua. 34
“Sebenarnya… kau gay atau
bukan?”
Tae-Woo
melepas kacamatanya dan menatap Sandy dengan kesal.
Tanpa
menunggu jawaban, Sandy mengibaskan tangan. “Oh, baiklah, aku tidak akan
bertanya lagi. Kau gay atau bukan juga bukan urusanku.”
Seperti
rencana Park Hyun-Shik, hari Senin pagi foto-foto mereka sudah mucul di
tabloid. Sandy baru memasuki ruang kuliah ketika Kang Young-Mi berlari ke
arahnya.
“Hei,
Han Soon-Hee!” seru Young-Mi dengan suara menggelegar.
Sandy
mengerjapkan matanya dengan bingung, lalu setelah pulih dari kekagetannya, ia
menggerutu, “Sudah kubilang berkali-kali jangan panggil nama lengkapku seperti
itu. Memangnya „Sandy‟
terlalu susah diucapkan?”
“Dan
sudah kubilang berkali-kali kalau aku tidak suka nama yang kebarat-baratan,”
balas Young-Mi lalu melanjutkan, “Sekarang itu bukan masalah penting. Lihat
ini!” Ia melambai-lambaikan tabloid tepat di depan wajah Sandy.
“Apa
ini?” tanya Sandy. Ia harus mundur selangkah supaya bisa melihat jelas apa yang
ingin diperlihatkan temannya itu.
“Jung
Tae-Woo ternyata punya pacar!” kali ini seruan Young-Mi begitu keras
sampai-sampai Sandy terlompat kaget.
Sandy
melihat halaman depat tabloid itu dan menahan napas. Ia membaca judul utamanya
“JUNG TAE-WOO DAN KEKASIH WANITA?” dicetak dengan ukuran besar. Di bawah judul
itu ada tiga fotonya bersama Jung Tae-Woo. Foto-foto itu agak buram, tapi
kenapa Sandy merasa dirinya terlihat begitu jelas?
Foto
pertama memperlihatkan mereka berdua di dalam mobil. Jung Tae-Woo sedang
memegang kemudi dan menoleh ke arahnya sambil tersenyum. Sandy sendiri juga sedang
memandang pria itu dengan kepala dimiringkan sehingga wajahnya tertutup topi
merahnya. Kapan mereka berpose seperti itu? Sandy sendiri tidak ingat.
Foto
yang kedua diambil ketika mereka berjalan bersama. Foto itu diambil sedikit
menyamping sehingga Sandy agak tertutup tubuh Jung Tae-Woo. Sandy memerhatikan
foto itu dan mengerutkan kening. Seingatnya mereka tidak berdiri sedekat itu,
tapi mungkin arah pengambilan fotonya yang menyebabkan mereka terlihat dekat.
Foto
ketiga adalah saat Jung Tae-Woo berdiri tepat di depannya dan begitu dekat,
Sandy sendiri berdiri tegak dengan kepala mendongak memandangnya. Lagi-lagi
sudut pengambilan foto membuat foto itu terlihat bagus sekali dan wajah Sandy
agak tertutup. Ditambah lagi Jung Tae-Woo sedang tersenyum dalam foto itu. Mau
tidak mau Sandy kagum pada Park Hyun-Shik. Ternyata Paman pintar memotret. 35
“Kau lihat? Sudah lihat?”
Young-Mi jelas-jelas terlihat kesal dan sedikit histeris. “Ternyata selama ini
Jung Tae-Woo sudah punya kekasih. Siapa wanita itu? Artis? Kau tahu tidak,
semua penggemarnya sedang shock saat ini.”
Sandy
agak lega karena Kang Young-Mi tidak menyadari bahwa dirinyalah yang ada di
dalam foto bersama Jung Tae-Woo. Ia melipat kembali tabloid itu,
mengembalikannya kepada Young-Mi, lalu berkata, “Kenapa kesal? Bukankah ini
malah membuktikan Jung Tae-Woo bukan gay?”
Young-Mi
terdiam dan menimbang-nimbang. “Tapi kalau melihat dia dengan wanita lain,
rasanya hatiku… aduh,” katanya dengan wajah memelas.
Sandy
tertawa geli.
“Tapi…
mungkin juga gadis ini bukan kekasihnya,” kata Young-Mi tiba-tiba.
“Memangnya
apa yang membuatmu berpikir begitu?”
“Bisa
saja kasusnya sama dengna kasusmu waktu itu. Jung Tae-Woo hanya mengantarmu dan
tidak ada hubungan apa-apa di antara kalian. Lagi pula semua orang tahu
wartawan suka membesar-besarkan masalah.”
Sandy
cepat-cepat menoleh dan mendapati sahabatnya sedang memandangnya yakin. “Tapi
menurutku yang ini memang benar. Di artikel ini bahkan juga tertulis ada sumber
tepercaya yang menyatakan Jung Tae-Woo memang sudah punya pacar, kan? Lagi pula
kalau dipikir-pikir, bukankah ini hal yang baik? Maksudku, bagi penggemar
sepertimu, yang paling penting kan Jung Tae-Woo bukan gay alias suka
wanita….”
Karena
ekspresi kecewa Young-Mi belum berubah, Sandy menambahkan, “Kau juga tidak
perlu histeris begitu. Kalaupun wanita di foto ini memang pacarnya, masih ada
kemungkinan mereka berpisah. Kau berdoa saja supaya mereka cepat berpisah.”
“Kau
bisa berkata seperti itu karena kau bukan penggemarnya! Aku penasaran sekali
siapa wanita itu. Di sini juga tidak diceritakan siapa dia….” Young-Mi
mengembuskan napas panjang. Mendadak dia menepuk tangan dan berkata penuh
semangat, “Tapikau benar. Tidak apa-apa, sebentar lagi pasti ketahuan. Dia
harus putus dengan Tae-Woo oppa*-ku!”
Sandy
geleng-geleng menahan geli. Tapi sebelum senyumnya mereda, Young-Mi sudah
berkata lagi, “Tapi ada yang aneh. Coba lihat foto-foto ini, Soon-Hee. Kenapa
mereka berdua tidak bersentuhan? Mungkin memang bukan hal penting, tapi maksudku,
orang pacaran bukannya suka berpegangan tangan kalau berjalan bersama?”
*
* *
*Kakak,
panggilan wanita kepada pria yang lebih tua. 36
Jung Tae-Woo sedang berada di
kantor Park Hyun-Shik. Ia memegang tabloid yang memuat foto-fotonya bersama
Sandy.
“Hyong
ternyata pandai memotret,” kata Tae-Woo sambil tersenyum.
Park
Hyun-Shik hanya mengangkat bahu menerima pujian itu. “Menurutku rencana kita
cukup sukses karena sejak pagi kantor kita sudah dibanjiri telepon yang meminta
kepastian dan wawancara denganmu.”
“Dia
sudah melihat ini atau belum ya?” tanya Tae-Woo sambil meletakkan tabloid itu
di atas meja.
“Soon-Hee
ssi? Seharusnya sudah karena orang-orang juga akan membicarakan-nya,”
sahut Park Hyun-Shik. Ia meraih tabloid itu dan mengamati foto-foto Tae-Woo dan
Sandy. “Dia melakukannya dengan baik sekali, kan? Gadis yang tenang, mudah
diajak kerja sama. Bagus juga dia bukan salah satu penggemarmu, jadi dia tidak
histeris atau semacamnya.”
Tae-Woo
hanya mengangkat bahu.
Park
Hyun-Shik berkata pelan seperti merenung. “Ya, gadis yang tenang. Bahkan
mungkin terlalu tenang… Tidakkah menurutmu dia terlalu mudah menyetujui
permintaanmu?”
Tae-Woo
mengangkat bahu lagi. “Tidak juga,” jawabnya.
“Dia
tidak minta imbalan apa pun?” tanya Park Hyun-Shik lagi.
Tae-Woo
mengingat-ingat. “Tidak.”
“Aneh,”
gumam Park Hyun-Shik. Setelah berkata seperti itu, telepon di meja kerjanya
berdering.
Sementara
manajernya menjawab telepon, Jung Tae-Woo menimbang-nimbang apakah sebaiknya ia
menelepon Sandy. Tak berapa lama akhirnya ia mengeluarkan ponselnya dan menekan
angka sembilan.
Sandy
dan Young-Mi sedang berjalan di halaman kampus sambil membicarakan Jung Tae-Woo
dan pacar misteriusnya ketika Sandy mendengar namanya dipanggil.
Mereka
berdua menoleh ke belakang dan melihat laki-laki tinggi besar sedang
berlari-lari kecil menghampiri mereka.
Young-Mi
menyikut lengan Sandy dan berbisik, “Mau apa lagi dia?”
Sandy
mengerutkan kening dan menggeleng tanda tidak tahu.
Laki-laki
itu berhenti di depan mereka berdua sambil tersenyum lebar. “Halo, kebetulan
sekali bertemu kalian di sini. Mau makan siang? Ayo, kutraktir.”
Young-Mi
meringis. “Kebetulan apanya?”
“Lee
Jeong-Su ssi, sedang apa kau di sini?” tanya Sandy. 37
“Tidak ada alasan khusus,”
jawab Lee Jeong-Su riang, seakan tidak menyadari nada ketus kedua gadis itu.
“Kupikir karena sudah lama tidak bertemu, tidak ada salahnya kita makan siang
bersama sambil mengobrol.”
“Pacarmu
mana?” tanya Young-Mi tiba-tiba. “Dia tidak marah kalau kau makan siang bersama
dua wanita? Ngomong-ngomong, kau masih bersama gadis yang waktu itu, kan? Atau
sudah ada yang baru?”
Wajah
Lee Jeong-Su memerah dan dia agak salah tingkah ketika menjawab, “Oh, dia
sedang ada urusan di tempat lain. Ayolah, mumpung pekerjaanku sedang tidak
banyak. Lagi pula aku ingin mengobrol dengan kalian. Oke?”
Sandy
dan Young-Mi berpandangan. Mereka tahu mereka tidak bisa menghindar tanpa
bersikap kasar kepada laki-laki seperti Lee Jeong-Su.
Mereka
masuk ke restoran kecil yang sudah sering mereka datangi. Mereka baru saja
duduk di meja kosong ketika Sandy mendengar ponselnya berbunyi. Ia menatap
layar ponselnya. Ia tidak mengenal nomor telepon yang tertera di sana.
“Halo?”
“Sudah
lihat?”
“Apa?”
Dalam kebingungan Sandy menatap ponselnya, lalu menempelkannya kembali di
telinga. “Siapa ini?”
Laki-laki
di ujung sana mendengus kesal. “Kau tidak tahu?”
“Tidak.”
Sepi
sebentar, lalu suara itu berkata dengan nada datar, “Ini Jung Tae-Woo.”
Sandy
tersentak dan sontak menatap Young-Mi dan Jeong-Su bergantian. Kedua orang itu
jadi ikut menatapnya dengan pandangan bertanya. Tepat pada saat itu pelayan
datang dan menanyakan pesanan.
Sandy
memalingkan wajah dan berkata dengan suara pelan di telepon, “Oh, kau rupanya.
Ada apa?”
Sandy
mendengar Jung Tae-Woo menarik napas di seberang sana. “Kau sudah lihat
fotonya?” Nada suaranya sudah kembali seperti biasa.
“Sudah,”
sahut Sandy. “Lalu bagaimana? Kau sudah ditanya-tanya?”
“Sore
ini aku ada jadwal wawancara.”
“Soon-Hee,
kau mau makan apa?” tanya Jeong-Su tiba-tiba.
Sandy
menoleh dan menjawab, “Terserah. Pesankan saja untukku.”
“Kau
tidak sedang sendirian?” tanya Tae-Woo.
“Aku
sedang makan bersama teman.”
“Hei,
kenapa tidak bilang dari tadi? Kau bisa membongkar rencana kita.”
“Lho,
kenapa marah-marah? Kau sendiri tidak bertanya dulu, lagi pula aku kan tidak
bilang apa-apa ke siapa pun.” 38
Jung Tae-Woo terdiam sebentar,
lalu berkata, “Malam ini jam tujuh kau harus ke rumah Hyun-Shik Hyong.
Ada yang ingin dibicarakan. Mengerti?”
Wajah
Sandy berubah kesal, tapi ia berkata, “Ya, ya, mengerti. Tapi rumahnya di
mana?”
Sandy
mengeluarkan secarik kertas dan bolpoin dari dalam tasnya. Setelah mencatat
alamat Park Hyun-Shik seperti yang disebutkan Jung Tae-Woo, ia menutup ponsel
dan mendapati Young-Mi dan Jeong-Su sedang memerhatikannya.
“Dari
siapa?” tanya Jeong-Su.
“Teman,”
sahut Sandy ringan sambil tersenyum kecil. “Makanannya sudah dipesan?”
Tae-Woo
menutup ponselnya sambil melamun.
“Kau
sudah memintanya datang ke tempatku nanti malam?” tanya Park Hyun-Shik
membuyarkan lamunannya.
“Sudah,”
jawabnya pelan.
“Kau
juga nanti malam jangan datang terlambat,” kata manajernya sambil mengenakan
jas. “Ayo, kita pergi makan siang. Mau makan apa?”
“Hyong,”
panggil Tae-Woo tiba-tiba.
“Apa?”
“Hyong
pernah mencari informasi tentang Han Soon-Hee. Apakah Hyong sudah
mengecek dia punya pacar atau tidak?”
“Memangnya
kenapa?”
“Tadi
ketika aku meneleponnya, dia sedang bersama laki-laki. Kalau memang dia punya
pacar, pacarnya bisa tahu soal kita.”
Park
Hyun-Shik berpikir. “Nanti malam kita bisa menanyakannya langsung pada Soon-Hee
ssi. Ayolah, kita pergi makan dan setelah itu kau harus bersiap-siap
untuk wawancara.”
“Jadi
kau sudah mengatakannya pada wartawan?” tanya Sandy sambil menjepit sepotong
daging panggang dengan sumpit dan memasukkannya ke mulut.
Mereka
bertiga—Jung Tae-Woo, Park Hyun-Shik, dan dia sendiri—sudah berkumpul di
apartemen Park Hyun-Shik yang besar dan mewah. Ketika Sandy datang, kedua
laki-laki itu baru akan mulai memanggang daging. Hyun-Shik berkata makan malam
ini adalah ucapan terima kasihnya atas bantuan Sandy. 39
“Kau bisa baca sendiri
beritanya di koran,” sahut Jung Tae-Woo sambil membolak-balikkan potongan
daging di atas panggangan.
Sandy
meringis, lalu menoleh ke arah Park Hyun-Shik yang sedang meneguk soju.
“Paman tidak makan?” tanyanya ketika melihat pria itu tidak memegang sumpit.
Park
Hyun-Shik meraih sumpit dan berkata, “Soon-Hee ssi…”
“Kalian
boleh memanggilku Sandy saja,” Sandy menyela dengan cepat dan memandang Park
Hyun-Shik dan Jung Tae-Woo bergantian.
Jung
Tae-Woo mendengus pelan, tapi tidak menjawab.
Pakr
Hyun-Shik berdeham dan melanjutkan, “Oke, kalau memang kau tidak keberatan.
Sandy, sepertinya aku belum pernah bertanya, tapi apa kau punya pacar sekarang
ini?”
Sandy
tersedak mendengar pertanyaan Park Hyun-Shik. “Pacar?”
Park
Hyun-Shik cepat-cepat berkata, “Aku tidak bermaksud mencampuri urusan
pribadimu, tapi kalau kau memang punya pacar, itu bisa agak menyulitkan. Kau
tidak mungkin bisa menyembunyikan hal ini darinya.”
Sandy
mengangguk-angguk pelan. “Oh,” gumamnya. “Tenang saja, aku tidak punya pacar.”
“Siang
tadi ketika aku meneleponmu, bukankah kau sedang bersama pacarmu?” Jung Tae-Woo
menimpali.
Sandy
menoleh ke arahnya. “Siang tadi? Aah… dia bukan pacarku.”
“Kedengarannya
seperti pacar,” Jung Tae-Woo bersikeras.
Sandy
menatap kedua laki-laki itu dengan mata disipitkan. “Baiklah,” akhirnya ia
berkata. Ia meletakkan sumpitnya di meja. “Karena kalian curiga begitu, aku
akan mengatakan yang sebenarnya.”
“Dia
pacarmu?” tanya Jung Tae-Woo langsung.
“Bukan,”
Sandy menegaskan. “Aku dan dia memang pernah berhubungan, tapi hubungan itu
sudah berakhir delapan bulan yang lalu.”
“Lalu
hubungan kalian sekarang masih baik?” Kali ini Park Hyun-Shik yang bertanya.
“Susah
mengatakannya,” sahut Sandy agak bingung. Ia bertopang dagu dan mengerutkan
kening. “Sebenarnya setelah berpisah, kami tidak bertemu lagi. Kemudian
kira-kira sebulan lalu dia mulai menghubungiku. Aku juga tidak tahu apa
maunya.”
“Itu
artinya dia ingin kembali kepadamu,” kata Jung Tae-Woo. “Kenapa kau memutuskan
dia waktu itu? Itu juga kalau kami boleh tahu.”
Alis
Sandy terangkat. “Siapa bilang aku yang memutuskannya? Dia sendiri yang minta
putus dariku karena dia tertarik pada wanita lain.” 40
Kedua laki-laki itu menatapnya
dengan pandangan aneh. Apakah pandangan itu disebabkan rasa kasihan? Sandy
memang merasa dirinya dulu sangat menyedihkan. Pacar yang ia percayai
meninggalkannya demi wanita lain.
“Tidak
usah melihatku seperti itu. Aku tidak apa-apa. Waktu itu aku memang sedih, tapi
aku bukan tipe wanita yang histeris. Ada banyak hal yang bisa membuatku
bahagia. Banyak sekali…”
Merasa
canggung telah membicarakan masalah pribadinya pada kedua pria itu, sebelum
Sandy bisa menghentikan dirinya sendiri, bibirnya terus mengoceh, “Mmm, aku
suka mendengarkan musik, suka keripik kentang, bunga, kembang api, hujan, dan
bintang. Jadi waktu itu untuk menenangkan diri, aku makan banyak sekali keripik
kentang dan aku sering membeli bunga untuk diriku sendiri. Kedengarannya
mungkin aneh, tapi perasaanku langsung jadi lebih baik.”
“Lalu
kenapa sekarang dia mendekatimu lagi?” desak Jung Tae-Woo.
Sandy
mengangkat bahu. “Mana aku tahu.”
“Mungkinkah
dia sudah berpisah dengan wanita yang dulu itu?” tanya Park Hyun-Shik.
Sandy
memiringkan kepala. “Sepertinya belum.”
“Bagaimana
denganmu?” tanya Jung Tae-Woo sambil menatap Sandy ingin tahu.
Sandy
membalas tatapannya. “Bagaimana apanya?”
“Kau
masih mengharapkannya?”
Sandy
terdiam sejenak, lalu ia mengetukkan sumpitnya ke piring dan berkata,
“Sudahlah, jangan dibicarakan lagi. Yang penting sekarang aku tidak punya pacar
dan tidak akan menyulitkan kalian berdua. Ayo, makan lagi.”
Jung
Tae-Woo masih terlihat tidak puas, tapi kali ini Sandy berhasil mengendalikan
mulutnya. Bagaimanapun, ia kan baru mengenal kedua laki-laki itu, rasanya tidak
nyaman membicarakan masalah pribadinya dengan mereka.
Sandy
berdeham untuk mengalihkan topik, lalu bertanya, “Lalu rencana selanjutnya apa?
Paman akan memotret kami lagi?”
Park
Hyun-Shik menggeleng. “Tidak. Untuk saat ini kau boleh bersantai dulu. Meski
kau harus tetap siap seandainya kami tiba-tiba butuh bantuanmu.”
“Aku
mengerti,” ujar Sandy. “Yang jadi bosnya kan kalian berdua.”
“Oh
ya, hari Sabtu nanti Tae-Woo akan mengadakan jumpa penggemar untuk
mempromosikan album barunya,” kata Park Hyun-Shik tiba-tiba. “Kau mau datang?”
Sandy
tersedak dan terbatuk-batuk. Sumpitnya terlepas dari tangannya dan jatuh ke
lantai. 41
Sandy memungut sumpit yang
jatuh dan mengulurkannya kepada Park Hyun-Shik. “Maaf, sepertinya aku makan
terlalu buru-buru,” katanya sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya yang
basah karena keringat dingin ke celana jins.
“Tidak
perlu rakus seperti itu,” kata Jung Tae-Woo. Sama sekali tidak membantu.
Sandy
tidak mengacuhkannya dan bertanya pada Park Hyun-Shik, “Jumpa penggemar?
Seperti yang dulu?”
Jung
Tae-Woo tertegun menatap daging panggangnya. Ia kaget Sandy tahu soal jumpa
penggemar terakhir yang dilakukannya sebelum mengambil jeda dari dunia
selebriti.
“Tidak,
tidak seperti dulu,” Park Hyun-Shik cepat-cepat menyela sebelum suasana hati
Tae-Woo berubah menjadi buruk. “Kali ini tidak seramai dulu. Kami akan
membatasi jumlah penonton. Bagaimana? Kau mau datang?”
“Oh,
begitu? Hmmm…” Sandy menerima sumpit baru yang diulurkan Park Hyun-Shik. “Aku
boleh datang?”
Jung
Tae-Woo mendengus dan meneguk soju-nya, rupanya Park Hyun-Shik terlambat
menyelamatkan situasi. “Untuk apa kau datang? Memangnya kau termasuk
penggemarku?”
“Memang
bukan,” jawab Sandy terus terang, lalu menjepit daging panggang dan
memasukkannya ke mulut. Ia melihat Jung Tae-Woo menatapnya dengan pandangan
bertanya-tanya, seolah menantinya memberi alasan.
Entah
kenapa sandy merasa tidak nyaman dengan cara Tae-Woo memandangnya itu, ia pun
berdecak. “Ya sudah, aku tidak akan datang. Lagi pula aku juga sudah bosan
melihatmu. Aneh juga, kenapa teman-temanku begitu menyukaimu ya?”
Tae-Woo
sudah membuka mulut untuk membalas komentar Sandy, tapi Park Hyun-Shik
buru-buru menengahi, “Jangan begitu. Aku akan memberikan dua lembar tiket
untukmu. Datanglah bersama temanmu hari Sabtu nanti. Kau belum pernah mendengar
Tae-Woo menyanyi, kan?”
Sandy
meringis dan menatap Jung Tae-Woo yang melahap daging panggang dengan kesal.
“Sebenarnya pernah. Di televisi…,” katanya.
Setelah
beberapa saat Sandy memutuskan untuk melunak, “Bagaimana? Aku boleh datang,
tidak? Siapa tahu setelah pergi ke acara itu, aku jadi bisa melihat apa yang
tidak kulihat selama ini. Siapa tahu nantinya aku jadi bisa mengerti kenapa
banyak orang menyukaimu.”
Jung
Tae-Woo menatapnya dan mendesah. “Datang saja kalau kau mau. Tapi jangan
macam-macam.”
Sandy
tersenyum jail, tiba-tiba saja ia merasa menggoda Tae-Woo adalah kegiatan yang
menyenangkan, dan berkata, “Baiklah, kau mau aku berpura-pura menjadi 42
penggemarmu yang paling
fanatik? Aku bisa berlari ke arahmu dan memelukmu kuat-kuat. Lalu
menjerit-jerit memanggil namamu. Tae-Woo Oppa! Aku cinta padamu! Itu
yang biasanya dilakukan para penggemarmu, kan?”
“Mungkin
sebaiknya kau tidak usah datang,” kata Tae-Woo sambil meletakkan sumpitnya
dengan keras. “Benar. Jangan datang!”
Sandy
menggoyang-goyangkan jari telunjuknya. “Kau tadi sudah setuju. Tidak boleh
ditarik kembali. Lagi pula temanku Kang Young-Mi penggemar beratmu. Aku sudah
merasa tidak enak karena harus menyembunyikan masalah ini darinya. Dia sangat
ingin mendapatkan tanda tanganmu. Jadi, aku pasti akan mengajaknya ke acara
jumpa penggemarmu Sabtu nanti.”
Jung Tae-Woo hanya bisa
menarik napas panjang. “Ya, ya,
0 komentar:
Posting Komentar