Minggu, 05 Juni 2016

Spring in London Ilana Tan

Spring in London
Ilana Tan
“To the one who showed me Moonlight...
thank you...”
Prolog
ADA sesuatu yang ingin kukatakan padamu sejak dulu. Sampai sekarang aku
belum mengatakannya karena... yah, karena berbagai alasan. Dan alasan utamanya
adalah karena aku takut.
Kalau aku mengatakannya, reaksi apa yang akan kauberikan?
Apakah kau akan menerima pengakuanku?
Apakah kau akan percaya padaku?
Apakah kau masih akan menatapku seperti ini?
Tersenyum padaku seperti ini?
Atau apakah justru kau akan menjauh dariku?
Meninggalkanku?
Tapi aku tahu aku harus mengatakannya padamu. Aku tidak mungkin
menyimpannya selamanya. Entah bagaimana reaksimu nanti setelah
mendengarnya, aku hanya berharap satu hal padamu.
Jangan pergi dariku.
Tetaplah di sisiku.
Bab Satu
Seoul, Korea Selatan
“AKHIRNYA kaujawab juga teleponmu. Aku sudah mencoba menghubungimu
berkali-kali selama tiga hari terakhir.”
Kata-kata itu menerjang gendang telinga Danny Jo bahkan sebelum ia sempat
berkata “Halo”. Ia bahkan juga belum sempat benar-benar menempelkan ponselnya
ke telinga. Mengenali suara sahabatnya di ujung sana, Danny tertawa dan berkata,
“Jung Tae-Woo, aku tahu kau rindu padaku, tapi tolong kecilkan sedikit suaramu.
Aku tidak mau orang-orang yang ada di dekatmu berpikir kita pacaran atau
semacamnya. Kau mungkin sudah terbiasa dengan gosip gay1, tapi aku tidak.”
Jung Tae-Woo tertawa hambar. “Lucu sekali,” katanya datar.
Danny berdiri menghadap kaca jendela besar di kantor itu, menatap jalanan
Apgujeong-dong di bawah sana. Jalanan cukup ramai, orang-orang dalam balutan
jaket tebal beraneka warna berjalan di sepanjang trotoar dan mobil-mobil
berseliweran di jalan raya. Pemandangan yang sangat biasa. Pemandangan seharihari
yang sering kali diabaikan kebanyakan orang. Namun Danny menyukainya. Ia
suka mengamati keadaan di sekitarnya, setiap pejalan kaki dan setiap mobil yang
lewat.
“Sebenarnya aku tahu kau meneleponku,” kata danny ringan, “dan aku minta
maaf karena tidak sempat membalas teleponmu. Kau sendiri penyanyi terkenal, jadi
kau tentu tahu bagaimana rasanya saat jadwal kerjamu begitu padat sampai kau
bahkan tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain. Aku harus berangkat ke
London minggu depan, jadi semua pekerjaanku di sini harus selesai sebelum itu.”
“Aku tahu kau mau pergi ke London,” sela Tae-Woo. “Karena itulah aku
meneleponmu. Aku butuh bantuan.”
“Tentu,” sahut Danny tanpa ragu, “katakan saja.”
“Aku ingin kau tampil dalam video musikku.”
“Video musikmu?”
1 Baca Summer In Seoul
“Syutingnya akan dilakukan di London. Kau tahu siapa yang sudah setuju
menjadi sutradaranya?” Tanpa menunggu jawaban, Tae-Woo melanjutkan, “Bobby
Shin. Dan karena aku tahu kau akan pergi ke London untuk bekerja dengannya,
kupikir kami tidak perlu mencari model pria lagi. Kau model pria yang sempurna.
Bagaimana menurutmu?”
Danny mendesah, pura-pura pasrah. “Apakah aku punya pilihan lain?”
“Tidak,” kata Tae-Woo sambil tertawa. “Oke. Berarti kita sudah sepakat. Oh ya,
Danny, asal kau tahu, wajahmu tidak akan terlihat sepanjang video musik itu.
Hanya model wanitanya yang akan disorot.”
Alis Danny terangkat. “Apa? Kenapa?”
“Secara pribadi, menurutku kau terlalu tampan untuk video musikku,” gurau
Jung Tae-Woo. “Tapi tenanglah, walaupun hanya punggungmu atau bagian
belakang kepalamu yang terlihat, seluruh Korea akan tahu bahwa Danny Jo yang
membintangi video musik Jung Tae-Woo. Kalau kau keberatan, silakan bicarakan
dengan Sutradara Shin. Dia yan gmembuat konsep video musiknya.”
Danny kembali mendesah berlebihan, namun mulutnya tersenyum. “Jung Tae-
Woo, aku ini orang sibuk, baik di sini maupun di London nanti. Jadi katakan
padaku, kenapa aku harus meluangkan waktuku yang berharga untuk tampil dalam
video musikmu kalau wajahku tidak akan terlihat?”
Mengabaikan pertanyaan Danny, Jung Tae-Woo malah balas bertanya, “Sibuk?
Maksudmu sibuk pacaran?” Lalu ia terkekeh. “Kapan kau akan mengenalkan
pacarmu kepadaku?”
Alis Danny terangkat heran. “Apa maksudmu? Pacar apa?”
“Gadis yang kulihat keluar dari restoran di Gangnam bersamamu kemarin
malam. Apakah gaids itu yang membuatmu sibuk akhir-akhir ini?”
Mata Danny menyipit begitu teringat kejadian kemarin malam. Dan beberapa
kejadian sebelum kejadian kemarin malam. “Dia bukan pacarku.”
“Oh, yang benar saja.”
“Dia... bukan... pacarku,” ulang Danny, menekankan seitap kata. “Lagi pula
apa-apaan ini? Kau sudah beralih profesi menjadi wartawan atau apa?”
Jung Tae-Woo tertawa. “Hei, aku hanya bertanya.”
Saat itu pintu kantor terbuka dan Danny berbalik. Matanya terarah pada wanita
bertubuh langsing dan berambut pendek yang berdiri di ambang pintu dan yang
menatap Danny dengan alis terangkat. Danny yakin kakak perempuannya heran ia
muncul di sini tanpa pemberitahuan. Ia mengangkat sebelah tangan, tanpa suara
menyapa kakaknya, dan tersenyum singkat, senyum yang sudah membuat banyak
gadis penggemarnya luluh lantak.
“Aku harus pergi sekarang. Nanti kita bicara lagi,” kata Danny di ponsel. Tanpa
menunggu jawaban Tae-Woo ia menutup ponsel, menjejalkan benda itu ke saku
celana jinsnya, lalu berpaling ke arah kakaknya. “Nuna2 harus bicara dengan Ibu,”
katanya langsung tanpa basa-basi.
Anna Jo, yang sedang melepaskan topi, menghentikan gerakannya dan menatap
adiknya dengan heran, lalu tersenyum. “Selamat pagi juga, adikku sayang,” katanya
sambil menyisir rambutnya yang berpotongan modis dengan jari. “Dan apa yang
harus kubicarakan dengan Ibu?”
Anna tiga tahun lebih tua daripada Danny. Wajah kedua kakak beradik itu tidak
mirip, tetapi mereka sama-sama memiliki wajah menarik yang disukai para
fotografer, sama-sama memiliki bentuk tubuh jangkung dan ramping yang disukai
para perancang busana, sama-sama memiliki kepandaian berbicara yang membuat
mereka disenangi orang-orang yang bekerja sama dengan mereka. Semua itulah
yang menjadikan mereka model terkenal.
Dulu Anna Jo adalah model fashion yang menghabiskan waktunya berjalan di
atas catwalk di seluruh penjuru dunia. Namun sejak lima tahun lalu ia mulai dikenal
sebagai perancang busana dan butik-butiknya kini tersebar di Seoul dan Tokyo.
Danny mengerang dan menjatuhkan dirinya di kursi berlengan di depan meja
kerja kakaknya. “Nuna, aku benar-benar harus bicara dengan Ibu,” katanya lagi, kali
ini dengan suara yang terdengar tertekan. “Ibu tidak bisa terus berusaha
menjodohkan aku dengan anak perempuan sahabatnya, atau saudara perempuan
kenalannya, atau—seperti yang terjadi kemarin malam—keponakan perempuan
orang yang baru dikenalnya di salon! Ini sudah kelewatan. Kenapa tiba-tiba saja Ibu
begitu bersemangat ingin menjodohkan aku? Dan asal Nuna tahu, akhir-akhir aku
sangat sibuk dan tidak punya waktu untuk main-main.”
Kalau kakaknya lebih dikenal sebagai model catwalk, maka Danny lebih dikenal
sebagai model iklan. Wajahnya sering terpampang di majalah-majalah dan iklan
televisi. Menurut survei salah satu majalah remaja populer, Danny Jo adalah salah
satu bintang iklan paling diminati di Korea Selatan, walaupun akhir-akhir ini ia
mulai memfokuskan diri pada impiannya yang lain, yaitu menjadi sutradara video
musik.
Anna tersenyum lebar dan memeriksa surat-surat yang diletakkan sekretarisnya
dengan rapi di atas meja kerja. “Kurasa kencan buta yang diatur Ibu untukmu
kemarin malam tidak berjalan mulus? Kau tidak suka gadis itu?”
Danny mencondongkan badan ke depan, wajahnya serius. “Apakah Nuna
percaya kalau kubilang gadis itu baru lulus SMA?”
Mata Anna melebar menatap adiknya, lalu tertawa terbahak-bahak. “Astaga,
Ibu benar-benar sudah kelewatan kali ini.”
Danny mendesah berat dan bersandar ke kursinya kembali. “Apa yang Ibu
rencanakan? Kenapa Ibu ingin aku segera menikah? Aku tidak mengerti. Nuna harus
membantuku menyadarkan Ibu. Kalau tidak, aku bisa gila.”
“Kenapa bukan kau sendiri yang bicara dengan Ibu?”
“Aku sudah mencobanya, tapi Ibu tidak mau mendengarkanku,” sahut Danny.
“Ibu beralasan bahwa dia hanya ingin membantu, karena aku terlalu sibuk bekerja
sampai tidak sempat bersosialisasi. Katanya siapa tahu di antara gadis-gadis yang
dikenalkannya kepadaku itu ada yang cocok untukku. Katanya dia hanya
bermaksud baik dan aku seharusnya menghargai usahanya.” Danny terdiam, lalu
menatap kakaknya dengan mata disipitkan. “Jangan-jangan Nuna dulu menikah
juga karena dijodohkan Ibu?”
“Jo In-Ho, jangan sampai kakak iparmu mendengar itu,” Anna Jo
memperingatkan sambil tertawa. “Dia sangat gencar mengejarku dulu.”
Danny tersenyum masam. “Aku tahu.”
Anna Jo memandang adiknya yang sedang tertekan itu dengan perasaan geli
bercampur kasihan. “Setelah tiga kali mencoba dan gagal, kurasa Ibu akan
menyerah.”
Danny menggeleng cepat. “Oh, kurasa tidak. Kemarin Ibu bertanya padaku
wanita seperti apa yang kusuka. Untuk memudahkannya mencari wanita yang tepat
untukku, begitu katanya. Aku yakin dia masih belum menyerah.”
“Lalu apa yang kaukatakan padanya?”
Kali ini Danny tersenyum kecil. “Kukatakan padanya kami akan melanjutkan
pembicaraan itu setelah aku kembali dari London.”
Anna mengangkat alis. “Oh, kau jadi pergi ke London?”
Danny memang pernah bercerita pada kakaknya bahwa ia akan pergi ke
London untuk bekerja dengan Bobby Shin, salah seorang sutradara video musik
terkenal di Korea. Walaupun Sutradara Shin sudah menetap di London bersama
keluarganya, kadang-kadang ia masih aktif bekerja di Korea. Danny sudah beberapa
kali bekerja sama dengan Sutradara Shin dalam pembuatan video musik dan ia
snagat mengagumi pria yang lebih tua itu. Sekarang Danny kembali ditawari oleh
Sutradara Shin sendiri untuk bekerja sama dengannya di London. Bukan sebagai
model, tetapi sebagai asisten sutradara. Danny tidak mungkin melepaskan
kesempatan sebesar itu.
“Aku akan berangkat minggu depan,” kata Danny.
“Ibu pasti uring-uringan,” kata Anna smabil tersenyum kecil dan menyandarkan
tubuh ke sandaran kursi. “Dia tidak pernah merasa tenang kalau kau pergi ke
luar negeri. Apalagi kali ini kau akan bekerja dengan Sutradara Shin. Kau pasti akan
cukup lama tinggal di sana. Kau sudah memberitahu Ibu tentang ini?”
Danny tersenyum lebar. “Oh, ya. Ibu mengeluh panjang-lebar dan terdengar
sangat kecewa. Tapi tidak apa-apa. Yang penting aku bisa melarikan diri darinya
untuk sementara.”
* * *
London, Inggris
Satu minggu kemudian
Naomi Ishida membuka matanya yang terasa berat, lalu ia mengangkat tangan
menutupi mata dan mengerang pelan. Sinar matahari yang menembus jendela
kamar tidur menyilaukan matanya. Ia menguap lebar sambil merenggangkan
lengan dan kaki dengan posisi yang masih terbaring di tempat tidur. Lalu ia
memaksa diri berguling turun dari tempat tidur, berjalan dengan langkah diseretseret
ke meja tulis di depan jendela untuk mematikan lampu meja yang masih
menyala dan memandang ke luar jendela.
Tidak biasanya langit kota London terlihat cerah. Sepertinya musim semi yang
ditunggu-tunggu sudah tiba. Naomi membuka jendela dan menarik napas dalamdalam,
mengisi paru-paru dan seluruh tubuhnya yang masih lemas dengan
semangat musim semi. Tetapi karena udara masih terasa dingin, Naomi cepat-cepat
menutup jendela dan menggosok-gosok kedua tangannya. Tiba-tiba matanya
terarah ke jam kecil di atas meja dan ia pun terkesiap. “Oh, dear,” erangnya.
Ia berlari ke pintu kamar tidur dan membukanya dengan satu sentakan cepat,
mengagetkan kedua teman satu flatnya yang sedang duduk mengobrol di dapur,
tepat di luar kamar tidurnya.
“Apa? Apa yang terjadi?” Gadis bertubuh jangkung, berkacamata, dan
berambut merah panjang, yang sedang mengenggam cangkir kopi dengan kedua
tangan, menatap Naomi dengan alis terangkat heran.
Walaupun penampilannya pagi ini lebih mirip penghuni panti rehabilitasi—
piama bergaris-garis, jubah kebesaran, rambut acak-acakan, dan wajah
mengantuk—Julie Humphrey yang lebih muda daripada Naomi sebenarnya adalah
putri seorang pengusaha kaya yang lebih memilih mengejar mimpinya menjadi
aktris panggung daripada masuk universitas. Dan selama beberapa tahun ini ia
memang sering tampil di atas panggung pertunjukan di West End, meskipun hanya
mendapat peran-peran kecil.
“Aku terlambat...,” kata Naomi panik sambil berlari ke kamar mandi di samping
dapur. “Aku punya jadwal syuting video musik hari ini dan aku terlambat.”
Julie mengibaskan sebelah tangannya dan berkata, “Kau terlalu berlebihan,
Naomi. Kau tidak pernah terlambat. Paling-paling kau hanya terlambat bangun
sepuluh menit. Dan aku tahu kau pulang ke rumah larut malam kemarin. Kau
berhak bangun lebih siang.” Ia kembali menyesap kopinya dan mendesah muram.
“Aku kasihan pada orang-orang seperti kita bertiga yang tetap harus bekerja di hari
Sabtu yang indah ini.”
Naomi menyerukan sesuatu yang tidak bisa dipahami dari kamar mandi karena
ia sedang sibuk menggosok gigi.
“Hei, Sayang, kau mau wafel ala Chris dengan selai apel buatan sendiri?” tanya
laki-laki bertubuh tinggi, ramping, dan berambut hitam yang duduk di hadapan
Julie. “Kau tahu benar selai apel buatanku bisa membuatmu merasa seperti di
melayang di angkasa.”
Christopher Scott, yang aslinya berasal dari Edinburg, Skotlandia, berprofesi
sebagai koki di salah satu restoran terkenal di Soho, walaupun ketika pertama kali
bertemu dengannya, Naomi merasa Chris lebih mirip preman karena tato naga dan
ular yang ada di sepanjang lengan kanannya. Meskipun begitu Naomi harus
mengakui bahwa ia belum pernah bertemu preman yang memiliki mata seperti
Chris. Mata biru yang benar-benar biru, mata yang bisa membuat wanita mana pun
yang ditatapnya mendadak tidak bisa berpikir apa-apa. Tetapi sayangnya, Chris
tidak tertarik pada wanita.
Naomi kembali menyerukan serentet kata-kata yang tidak jelas artinya.
Chris menoleh ke arah Julie. “Apa katanya?”
Julie mengangkat bahu. “Mungkin dia tidak mau melayang di angkasa?”
Tepat pada saat itu pintu kamar mandi terbuka dengan suara keras dan Naomi
melesat kembali ke kamar tidurnya, disusul dengan suara pintu lemari dibuka
dengan gaduh dan gantungan-gantungan baju berjatuhan ke lantai.
“Tolong jangan panik, Sayang,” seru Chris tempat duduknya di dapur. “Kau
bisa melukai dirimu sendiri di dalam sana kalau kau membabi-buta seperti itu.”
Kemudian terdengar bunyi gedebuk keras, disusul suara Naomi yang berseru,
“Aku tidak jatuh! Tenang. Aku tidak jatuh. Aku baik-baik saja.”
Kedua temannya berpandangan dan mengangkat bahu.
Beberapa menit kemudian Naomi muncul kembali dari balik pintu kamar
tidurnya. Ia sudah berpakaian lengkap sampai ke sepatu bot dan topinya.
“Ngomong-ngomong,” kata Julie, “kau akan tampil di video musik siapa?”
Naomi mengangkat bahu. “Penyanyi dari Korea. Aku tidak kenal,” katanya
sambil mengibaskan tangan tidak peduli. “Yang membuatku tertarik adalah konsep
video musiknya. Mereka membuatnya seperti film pendek.”
Julie menoleh menatap Naomi, mata hijaunya bersinar cerah. “Apakah ceritanya
romantis?” tanyanya, lalu mendesah senang. “Aku suka cerita romantis.”
Naomi mendesah tidak sabar. “Kurasa ceritanya tentang seorang pria yang
diam-diam jatuh cinta pada seorang wanita. Selalu mengawasinya dari jauh. Diamdiam
selalu membantu wanita itu tanpa pernah menunjukkan siapa dirinya. Kirakira
seperti itu,” sahutnya.
“Hmm... Bukankah itu romantis sekali?” desah Julie dan menatap Chris. Yang
ditatap mengangguk setuju.
“Kurasa agak menakutkan,” gerutu Naomi. “Coba pikir, diam-diam mengawasi
si wanita dari jauh, diam-diam membantunya tanpa menunjukkan wajah.
Memangnya itu tidak terdengar seperti orang sakit jiwa?”
“Astaga,” gumam Chris sambil menggeleng-geleng. “Kuharap sutradara video
musik ini tidak menyesal sudah memilihmu. Seharusnya kau menjadi bintang film
horor.”
Naomi tersenyum dan mendorong bahu Chris dengan main-main. “Baiklah,
Teman-teman, aku pergi dulu.”
“Kau yakin kau tidak mau makan sepotong wafel ala Chris dengan selai apel
ini?” tanya Chris sambil menyodorkan piring penuh wafel. “Kau tahu sarapan
adalah makanan paling penting dalam sehari. Kau sudah cukup kurus sekarang.
Jangan sampai kau berubah menjadi tulang berjalan seperti orang yang duduk di
depanku ini.”
“Ya Tuhan, lihat siapa yang bicara,” kata Julie sambil memutar bola matanya.
“Koki paling kerempeng sedunia.”
Chris tersenyum lebar. “Tubuhku memang tidak bisa gemuk walaupun aku
makan banyak. Sedangkan kalian berdua kurus kering karena tidak makan.”
“Model memang seharusnya kurus,” gumam Naomi sambil merogoh-rogoh
tasnya yang besar, memastikan semua barang pentingnya sudah ada di dalam.
Dompet. Kunci. Ponsel.
“Apa?” tanya Chris, tidak mendengar apa yang digumamkan Naomi tadi.
“Tidak apa-apa.” Naomi menatap temannya dan tersenyum lebar. Ia tidak
mungkin mengulangi ucapannya. Ia tidak berani. Chris pasti akan mulai
menceramahinya dan ia tidak punya waktu mendengar omelan itu saat ini.
“Aku ingin sekali mencoba wafelmu, tapi ini keadaan darurat,” kata Naomi
cepat. “Aku benar-benar tidak sempat sarapan. Sekarang sudah jam...,” ia melirik
jam tangannya dan terkesiap, “...oh, dear. Sepertinya aku harus berlari sepanjang
jalan sampai ke stasiun. Dah, Teman-teman!”
Tanpa menunggu balasan teman-temannya, Naomi berlari menuruni tangga
dari flat mereka di lantai dua dan keluar ke jalan. Ia melirik jam tangannya sekali
lagi. O-oh. Ya, ia sudah pasti harus berlari ke stasiun kereta. Ia tidak mungkin
sempat mendongak menatap langit biru dan menikmati udara musim semi. Semua
itu harus menunggu.
Sudah hampir tiga tahun berlalu sejak ia pertama kali tiba di London dan sejak
ia pindah ke sini ia sudah tinggal bersama Julie dan Chris di Hampstead yang
terletak di pinggiran kota London. Flat yang ditempatinya bersama Jlie dan Chris
berada tepat di atas Robins Nest, sebuah pub tradisional Irlandia yang sudah berdiri
sejak zaman dulu. Walaupun kadang-kadang suara-suara dari pub bisa terdengar
sampai ke kamar tidur kalau jendelanya dibuka, Naomi tidak keberatan. Berbeda
dengan kebanyakan orang, ia tidak terlalu nyaman dengan suasana sepi.
Flat yang mereka tempati tidak terlalu besar, namun cukup untuk mereka
bertiga. Tempat itu memiliki tiga kamar tidur—satu kamar tidur utama yang
berukuran lebih besar dan dua kamar tidur yang lebih kecil—satu kamar mandi,
dapur sempit dengan jendela yang menghadap ke perkarangan samping gedung
sebelah, dan ruang duduk kecil dengan jendela menghadap ke bagian depan
gedung. Julie menempati kamar tidur utama karena dialah yang pertama kali
menempati flat ini sebelum ia mengajak Chris berbagi flat dengannya. Lalu pada
musim panas lebih dua tahun lalu Naomi ikut bergabung.
Naomi tidak pernah suka tinggal sendiri. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah
sendiri. Saudara kembarnya, Keiko, selalu ada bersamanya sampai ketika Naomi
memutuskan untuk pindah dari Tokyo. Kadang-kadang ia mengkhawatirkan Keiko
karena saudara kembarnya itu juga tidak terbiasa sendirian. Tetapi mengingat
mereka memiliki tetangga-tetangga yang sangat baik di Tokyo dan setelah membaca
e-mail dari Keiko yang melibatkan seorang tetangga baru di gedung apartemen
mereka3, Naomi merasa ia tidak perlu mengkhawatirkan Keiko lagi.
Empat puluh lima menit kemudian, Naomi sudah tiba di lokasi syuting untuk
hari itu dan sudah duduk di dalam tenda sementara yang didirikan di salah satu
sudut Hyde Park, salah satu taman paling terkenal di London, di dekat Serpentine
Lake. Naomi memandang berkeliling dan merasa seolah-olah dalam semalam
bagian kecil taman itu sudah diserbu oleh sekumpulan orang Korea. Di sekitarnya
terlihat para staf produksi yang sibuk dengan tugas mereka masing-masing, berjalan
cepat dari satu tempat ke tempat lain, mengangkut sesuatu, memasang sesuatu, dan
saling berseru dalam bahasa asing yang sama sekali tidak bisa dipahami Naomi.
Naomi juga baru menyadari bahwa selain Bobby Shin, alias si sutradara video
musik, yang sudah pernah ditemuinya pada saat wawancara awal dan penata rias
yang bertanggung jawab atas penampilan Naomi dari ujung kepala sampai ujung
kaki, tidak ada staf produksi lain di sana yang bisa berbahasa Inggris. Tetapi
pekerjaan Naomi sering menuntutnya bepergian ke luar negeri dan bekerja sama
dengan orang-orang asing yang tidak bisa berbahasa Inggris dengan fasih, jadi ia
merasa ia bisa mengatasi sedikit hambatan komunikasi ini.
“Ini tehmu.”
Naomi menoleh dan melihat penata riasnya—yang memperkenalkan diri
sebagai Yoon—mengulurkan secangkir teh harum yang mengepul. Senyum Naomi
mengembang. Saat itu ia baru teringat ia belum sarapan dan perutnya tiba-tiba
berbunyi pelan. Ia menerima teh itu, menyesapnya, lalu mendesah senang ketika
kehangatan teh itu menjalari tenggorokan, dada, dan tangannya.
“Kau juga lapar?” tanya Yoon dengan bahasa Inggris yang masih dihiasi logat
Korea. “Mau makan ini?”
Naomi menatap sekotak donat yang disodorkan ke depan wajahnya. Gemuruh
di perutnya semakin keras. “Terima kasih banyak. Kau benar-benar penyelamatku,”
katanya sambil mengambil sepotong donat berselimut cokelat. Seorang model
memang seharusnya kurus, tetapi seorang model tidak seharusnya mati kelaparan.
3 Baca Winter in Tokyo
Penata riasnya yang sangat ramah itu meletakkan kotak donat di meja di depan
Naomi, membuat Naomi bertanya-tanya apakah ia boleh mengambil sepotong lagi
kalau ternyata ia masih belum kenyang.
“Ngomong-ngomong, kau sudah pernah bertemu dengan lawan mainmu di
video musik ini?” tanya Yoon ketika ia mulai menggulung rambut Naomi dengan
rol-rol besar.
Naomi mengalihkan pandangan dari kotak donat dan menatap wajah Yoon
yang bulat di cermin. “Belum. Aku belum pernah bertemu dengannya. Aku bahkan
belum tahu namanya,” sahutnya dan kembali menyesap tehnya yang enak sekali.
Mata Yoon yang sipit langsung berbinar-binar. “Jo In-Ho,” katanya singkat.
Ketika melihat Naomi yang menatapnya dengan pandangan bertanya, ia
melanjutkan, “Lawan mainmu. Namanya Jo In-Ho. Tapi dia lebih dikenal dengan
nama Danny Jo.”
Naomi berhenti mengunyah donatnya.
Yoon memandang berkeliling. “Di mana dia ya? Tadi aku sempat bertemu
dengannya.” Ia mendesah dan kebmali menggulung rambut Naomi. “Mungkin kau
tidak tahu, tapi dia sangat terkenal di Korea. Sering membintangi iklan dan video
musik.”
Karena Naomi tidak berkata apa-apa, Yoon menambahkan, “Tidak perlu
khawatir. Dia sangat baik. Oh, dan dia juga tampan. Benar-benar tampan. Kalau kau
melihatnya nanti, aku yakin kau akan jatuh pingsan.”
Naomi masih diam. Hanya menunduk menatap teh kental yang mengepul di
dalam cangkir gelasnya. Mendadak saja kehangatan yang dirasakannya tadi
menguap begitu saja.
Tiba-tiba Yoon menepuk-nepuk pundaknya. “Hei, lihat. Itu dia!” bisik Yoon
dengan nada mendesak.
Kepala Naomi berputar pelan dan matanya langsung menangkap sosok laki-laki
berjaket abu-abu dan bertopi putih yang berdiri di luar tenda. Laki-laki itu
melepaskan topi dan menyapa orang-orang yang mengelilinginya dengan senyum
lebar, berjabat tangan dan membungkuk kepada beberapa orang.
“Ups! Hati-hati. Tehmu bisa tumpah.”
Naomi mengerjap kaget dan menyadari bahwa cangkir kertas yang
dipegangnya sudah hampir terlepas dari pegangan. “Oh, dear. Maaf,” gumamnya
pelan.
“Nah, kubilang juga apa?” kata Yoon sambil menepuk pundak Naomi lagi dan
tersenyum penuh kemenangan. “Kau memang terliaht hampir jatuh pingsan.”
Naomi memalingkah wajah dan menatap cermin. Namun ia masih bisa melihat
bayangan Danny Jo di sana. Tepat pada saat ia melihat Yoon berbalik dan
mengangkat sebelah tangannya yang memegang sisir, lalu berseru, “Hei, Danny!”
Naomi membeku. Oh, tidak...
Danny menoleh ke arah mereka. Ke arah Naomi. Sedetik mata mereka bertemu
di cermin. Mata laki-laki itu seolah-olah menatap lurus ke mata Naomi. Hanya
sedetik, sebelum Naomi buru-buru mengalihkan pandangan, menatap Yoon yang
tersenyum lebar padanya di cermin.
“Dia ke sini,” kata Yoon. “Akan kuperkenalkan kau padanya.”
Naomi tidak bisa bernapas. Ia mencengkeram lengan kursinya erat-erat.
Ya Tuhan...
Bab Dua
DANNY melangkah keluar dari flatnya di Mayfair dan menarik napas dalam-dalam.
Ia mengeluarkan iPod dan memasang earphone ke telinga, lalu berjalan ke stasiun
kereta bawah tanah.
Suasana hatinya saat itu sangat bertolak belakang dengan langit yang cerah.
Wajar saja. Ia baru saja berbicara dengan ayahnya di telepon. Setiap kali ia selesai
berbicara dengan ayahnya, dadanya selalu terasa berat.
Tadi ia menelepon orangtuanya hanya untuk mengabarkan bahwa ia sudah tiba
di London dengan selamat. Orangtuanya selalu mencemaskannya, selalu khawatir
apabila pekerjaan Danny menuntutnya pergi ke luar negeri. Sering kali Danny
merasa tertekan dengan kekhawatiran yang berlebihan terhadap dirinya itu. Karena
itulah ia juga harus terus-menerus mengingatkan diri sendiri untuk memaklumi
perasaan orangtuanya.
“Kau tahu benar kenapa mereka mengkhawatirkanmu, In-Ho,” kata Anna dulu
ketika Danny pertama kali mengungkapkan perasaan tertekannya kepada kakak
perempuannya.
“Aku tahu, Nuna,” gerutu Danny, lalu mendesah. “Aku tahu.”
Danny tahu benar bahwa semua kekhawatiran itu bermula dari kecelakaan lalu
lintas yang menewaskan kakak lakii-laki mereka, putra sulung keluarga Jo, ketika
sedang berada di luar negeri.
“Ayah dan Ibu sudah tua,” kata Anna sambil menatap Danny yang saat itu
memandang kosong ke luar jendela. Ia mengerti apa yang dirasakan Danny dan ia
juga bisa merasakan perasaan tertekan adiknya itu, tetapi bagaimanapun juga
Danny sendiri harus mengerti perasaan orangtua mereka. “Karena Oppa1 sudah
tidak ada, yang tersisa hanya kau. Hanya kau anak laki-laki yang bisa mereka
andalkan untuk menjaga keluarga.”
1 Panggilan wanita kepada pria yang lebih tua / kakak
Saat itu Danny hanya diam, tidak tahu harus berkata apa, dan kembali
memandang ke luar jendela.
Kereta berhenti di stasiun Hyde Park Corner, menyentakkan Danny kembali ke
alam sadar. Ia menarik napas panjang. Waktunya meninggalkan masalah pribadi
dan mulai bersikap profesional.
Ketika Danny tiba di lokasi syuting, ia melihat para staf produksi sibuk bersiapsiap
memulai proses syuting. Ia enyapa beberapa staf yang dikenalnya dan pergi
mencari Bobby Shin.
Hyong2,” panggilnya ketika ia melihat si sutradara sedang mengobrol dengan
salah seorang kamerawan.
Bobby Shin yang berusia empat puluhan terlihat seperti penampilan sutradara
pada umumnya. Ia bertubuh kurus, agak bungkuk karena terbiasa duduk
membungkuk menatap monitor, berkacamata, bertopi, dan tidak ada ciri khusus di
wajahnya yang ramah. Mendengar panggilan Danny, ia menoleh dan tersenyum
lebar. “Danny boy, senang bertemu denganmu lagi,” sahutnya ramah dan
mengulurkan tangan. “Kau baru tiba kemarin, bukan? Kuharap kau tidak jet-lag.
Kita hanya punya waktu tiga hari untuk syuting. Seharusnya itu bukan masalah
besar, tapi jadwal kita akan sangat padat.”
Danny menjabat tangan Bobby Shin yang terulur. “Aku baik-baik saja,” kata
Danny. “Hyong tidak perlu khawatir.”
“Bagus.” Bobby Shin mengangguk-angguk. “Ngomong-ngomong, lawan
mainmu sudah datang. Kurasa dia sedang dirias. Kau bisa memperkenalkan diri
nanti. Dia orang Jepang, jadi kau jangan berceloteh kepadanya dalam bahasa
Korea,” katanya. “Sebaiknya kau juga bersiap-siap. Kita akan mulai setengah jam
lagi.”
Danny pergi menyapa beberapa staf produksi yang sudah dikenalnya. Tiba-tiba
ia mendengar seseorang berseru memanggilnya. Ia menoleh ke arah salah satu tenda
dan melihat Yoon, penata rias selebriti yang sudah dikenalnya, bersama seorang
gadis berambut hitam panjang yang belum pernah dilihatnya. Nah, gadis itu pasti
lawan mainnya.
“Apa kabar, Nuna?” sapa Danny sambil menghampiri Yoon. Ia berhenti di
depan Yoon dan menatap wanita bertubuh agak gempal itu dari ujung kepala
sampai ke ujung kaki, lalu menyipitkan mata. “Ada sesuatu yang berubah di sini.
Hmm... Nuna lebih kurus ya?”
Yoon meringis, lalu tertawa. “Omong kosong. Aku tahu berat badanku tidak
turun-turun walaupun aku sudah mencoga segala macam diet.”
“Tapi Nuna tetap cantik,” kata Danny dan menyunggingkan senyumnya yang
terkenal. Kemudian ia mengalihkan perhatian kepada gadis yang satu lagi, yang
2 Panggilan pria kepada pria yang lebih tua / kakak
duduk diam sambil menggenggam cangkir kertas dengan kedua tangan. Danny
mengulurkan tangan dan berkata dalam bahasa Inggris, “Dan kau pasti gadis yang
membuatku jatuh cinta.”
Gadis itu tersentak, mendongak dan menatap langsung ke arah Danny. Hal
pertama yang terlintas dalam pikiran Danny ketika ia melihat wajah gadis itu
dengan jelas adalah bahwa gadis itu mirip boneka. Bukankah Sutradara Shin berkata
gadis ini orang Jepang? Tetapi gadis ini tidak benar-benar mirip orang Jepang.
Mungkin matanya yang besar itulah yang membuatnya tidak mirip orang Jepang.
Dan mata itu menatap Danny dengan kaget dan gugup. Dan... takut?
* * *
Naomi mendongak dan menatap laki-laki berambut hitam dan bertubuh jangkung
yang berdiri di dekatnya itu tanpa berkedip. Danny Jo memang tepat seperti yang
digambarkan Yoon tadi. Dan Naomi memang merasa hampir pingsan, walaupun
alasannya jauh berbeda dengan perkiraan Yoon.
Sebelum Naomi sempat membuka mulut, Danny Jo cepat-cepat berkata, “Dalam
video musik ini, maksudku. Kau akan berperan menjadi gadis yang membuatku
jatuh cinta dalam video musik ini.” Ia berhenti sejenak, lalu bertanya ragu, “Kau
yang akan menjadi lawan mainku, bukan?”
Naomi mengerjap satu kali, seolah-olah baru tersadar dari lamunan. Perlahanlahan
ia mengembuskan napas yang ternyata ditahannya sejak tadi dan bergumam,
“Ya.”
Danny tersenyum. “Namaku Danny. Danny Jo,” katanya sambil menggerakkan
tangannya yang masih terulur, mengundang Naomi menjabatnya.
Naomi menunduk menatap tanagn Danny, kemudian ia meletakkan cangkir
kertasnya di atas meja dan berdiri dari kursi. Ia membungkuk sedikit sebelum
menjabat tangan Danny—itu salah satu kebiasannya sebagai orang Jepang yang
tidak bisa dihilangkannya—dan bergumam, “Naomi Ishida.”
“Naomi,” kata Danny, senyumnya melebar, “senang berkenalan denganmu.”
Tepat pada saat itu terdengar seseorang berseru memanggil Danny dan
mengatakan sesuatu dalam bahasa Korea. Danny menoleh ke belakang dan balas
menyerukan sesuatu. Kemudian ia kembali menatap Naomi. Matanya bersinar geli.
“Itu penata riasku,” jealsnya dalam bahasa Inggris karena tahu Naomi tidak bisa
berbahasa Korea. “Dia menyuruhku segera bersiap-siap karena kita akan segera
mulai syuting. Aku tidak mengerti kenapa aku harus dirias kalau wajahku tidak
akan disorot sepanjang video musik ini.” Ia mengangkat bahu. “Tapi sebaiknya aku
menurutinya. Percayalah padaku, kau tidak mau melihat penata riasku mengamuk.
Aku pernah melihatnya dan itu bukan pemandangan yang bagus.”
Setelah melambai singkat kepada Naomi, Danny membalikkan tubuh dan
bergegas menghampiri penata rias yang sudah menunggunya.
“Dia baik sekali, bukan?” kata Yoon ketika Naomi kembali duduk dan menatap
cermin.
Naomi menarik napas dalam-dalam dan memaksa dirinya tersenyum kepada
bayangan Yoon di cermin. “Ya,” gumamnya, menunduk menatap jari-jari tangannya
yang saling meremas.
Entah berapa lama Naomi duduk di sana dan tenggelam dalam pikirannya
sendiri. Ia baru tersadar dari lamunannya ketika seseorang berseu menyuruh para
model berkumpul karena syuting akan segera dimulai. Naomi mendongak dan
menarik napas.
Saatnya meninggalkan masalah pribadi dan mulai bersikap profesional, pikir
Naomi dalam hati. Ini adalah pekerjaannya dan ia tahu ia bisa melakukannya.
Lakukan dan selesaikan. Hanya tiga hari. Ia hanya perlu bertahan tiga hari. Lalu
semua ini akan segera berakhir.
Bab Tiga
HARI pertama syuting sangat melelahkan karena seharian itu Sutradara Shin
memutuskan untuk mengambil adegan di luar ruangan. Lokasi syuting hari itu
berkisar di Hyde Park dan West End, terutama di Piccadilly Circus. Tentu saja
syuting di tempat umum bukan hal yang gampang karena sisa-sisa musim dingin
masih terasa dan banyak orang berlalu-lalang. Namun Sutradara shin adalah
sutradara yang perfeksionis. Ia sangat memperhatikan gerak-gerik Naomi di depan
kamera, dari ekspresi wajah, posisi tubuh, langkah kaki, gerakan tangan, bahkan
sampai tatapan mata.
Cut!” seru Sutradara Shin untuk yang kesekian kalinya.
Naomi menegakkan tubuh dan menoleh ke arah si sutradara. Langit sudah
berubah gelap sejak berjam-jam yang lalu. Mereka pun sudah mengulangi adegan di
depna toko barang antik bercat merah cerah ini sedikitnya enam kali dan tidak ada
satu adegan pun yang memuaskan bagi Sutradara Shin.
“Kali ini coba kau menyeberang jalan dari sana ke sini,” kata Sutradara Shin
ketika ia sudah berada di samping Naomi, “lalu berhenti sebentar di depan toko ini,
melongok ke dalam, seolah-olah kau ragu, lalu kau masuk. Oke? Kita coba yang
ini.”
Naomi tersenyum dan mengangguk walaupun rasa lelah mulai menjalari
tulangnya dan tubuhnya menggigil. Ditambah lagi kakinya terasa sakit dalam
sepatu bot yang kekecilan. Tentu saja ini bukan pertama kalinya ia merasakan
semua itu. Sebagai model pekerjaannya sangat menuntut waktu dan tenaganya. Ia
pernah pulang ke rumah pada pukul dua pagi setelah tampil di London Fashion
Week sepanjang hari dan harus keluar lagi dari rumah pada pukul empat pagi
untuk acara pemotretan di Cornwall. Jadi rasa lelah sama sekali tak asing baginya,
malah kadang-kadang ia merasa ia membutuhkan perasaan lelah itu.
Sutradara Shin mengangguk. “Kita akan mulai lima menit lagi,” katanya, lalu
berjalan ke salah seorang kamerawan di sana.
Yoon bergegas membawakan jaket untuk Naomi. “Terima kasih,” gumam
Naomi sambil mengenakan jaketnya dan menjejalkan tangan ke saku.
“Duduk di sini,” kata Yoon sambil mendorong Naomi ke salah satu bangku di
dekat cahaya lampu dan mulai memperbaiki riasannya.
Ketika Yoon pergi mengambil peralatannya yang lain, Naomi memejamkan
mata sejenak. Waktu istirahat yang didapatkannya hanyalah sedikit waktu di selasela
pekerjaan seperti ini. Naomi tidak tahu apakah ada orang yang pernah menghargai
lima menit waktu luang seperti dirinya. Tiba-tiba ia mencium aroma yang
enak. Matanya terbuka dan langsung dihadapkan pada secangkir teh yang
mengepul.
“Capek?”
Mendengar suara rendah dan asing itu, Naomi mengangkat wajah dan langsung
bertatapan dengan mata gelap Danny Jo yang ramah. Sejak pertemuan pertama
mereka pagi tadi, sepanjang hari itu mereka sama sekali belum sempat saling bicara.
Mereka sama sekali belum melakukan adegan bersama dan adegan mereka masingmasing
diambil secara terpisah. Dan setiap kali tidak berada di depan kamera,
Danny langsung kembali pada perannya sebagai asisten Sutradara Shin, sibuk di
belakang kamera. Naomi tahu dari Yoon bahwa tujuan utama Danny datang ke
London sebenarnya memang untuk bekerja dengan Bobby Shin dan laki-laki itu
hanya setuju menjadi model di video musik ini tanpa dibayar adalah karena si
penyanyi adalah teman baiknya.
Karena Naomi tetap bergeming, Danny meraih tangan Naomi, ingin membuatnya
menerima cangkir kertas yang disodorkan. Tetapi Naomi langsung tersentak
dan secepat kilat menarik kembali tangannya. Danny mengerjap dan menatap
Naomi dengan alis terangkat heran. Walaupun udara terasa dingin, Naomi merasa
pipinya memanas. Selama beberapa detik tidak ada yang bergerak. Lalu Danny
menghela napas dan menempelkan cangkir kertas yang hangat itu ke tangan Naomi.
“Ini. Minumlah. Kau akan merasa lebih baik,” katanya ringan.
Naomi menggenggam cangkir kertas yang disodorkan itu dengan kedua
tangan. Ia mendesah pelan ketika merasakan kehangatan menjalari ujung jari dan
tangannya. Sedikit ketegangan pun menguap dari pundaknya.
“Sutradara Shin memang agak keras, tapi dia selalu berhasil mendapat gambar
yang bagus,” kata Danny sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. “Kau
akan lihat nanti.”
Naomi menatapnya sejenak, lalu mengangguk singkat.
Tepat pada saat itu terdengar suara Sutradara Shin yang menyatakan syuting
akan dimulai lagi.
Danny menoleh ke arah si sutradara, lalu kembali menatap Naomi.
“Bertahanlah sebentar lagi,” katanya sambil tersenyum menghibur sebelum berbalik
dan meninggalkan Naomi.
Naomi menatap punggung Danny yang menjauh sejenak, lalu menunduk
menatap cangkir teh yang masih penuh dan bergetar dalam genggamannya. Ia
menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya, dan meletakkan cangkir itu ke
tanah.
* * *
Akhirnya syuting hari itu selesai juga.
Naomi mengusap-usap bagian belakang lehernya sambil mengumpulkan
barang-barangnya. Ia menatap jam yang tertera di layar ponsel. Kalau ia bergegas, ia
bisa naik kereta bawah tanah yang terakhir. Besok ia harus bangun pagi-pagi karena
ia diminta tiba di lokasi syuting jam delapan pagi. Sekarang ini ia hanya ingin tidur.
“Naomi.”
Naomi berbalik ketika mendengar Sutradara Shin memanggilnya. “Ya?”
“Kau akan pulang sendirian?” tanya Sutradara Shin.
“Ya,” sahut Naomi dan tersenyum. “Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa. Aku
masih sempat naik kereta terakhir.”
Sutradara Shin mengerutkan kening sejenak. “Sekarang sudah terlalu larut.
Tidak baik membiarkan seorang gadis berjalan sendirian,” katanya. Kemudian ia
memandang berkeliling, ke arah para staf produksi yang sedang sibuk
mengumpulkan dan merapikan perlengkapan. Matanya berhenti pada Danny Jo
yang sedang membantu mengangkat perlengkapan ke mobil van. “Oi, Danny,” seru
Sutradara Shin.
Danny Jo menoleh. “Ya?”
“Kau bisa mengantar Naomi pulang?” tanya Sutradara Shin dalam bahasa
Inggris kepada Danny. “Aku tidak mau dia pulang sendirian malam-malam begini.”
Mata Naomi melebar. “Tidak,” katanya cepat. Terlalu cepat dan terlalu keras
sampai kedua pria itu menoleh memandangnya. Naomi menggoyang-goyangkan
tangan dan tersenyum gugup. “Tidak perlu repot-repot,” katanya dengan suara
yang diusahakan tidak terdengar panik. “Aku bisa sendiri. Sungguh.”
Danny berjalan menghampiri mereka. “Aku tidak keberatan,” katanya. “Lagi
pula, aku setuju dengan Hyong. Sekarang sudah malam dan sebaiknya ada yang
mengantarmu pulang. Kau tinggal di mana?”
Naomi menggoyangkan tangannya lagi. Kali ini lebih cepat. “Sungguh, aku
tidak perlu diantar. Aku bisa pulang sendiri. Aku sudah terbiasa pulang sendiri,”
katanya sambil meraih tas dan topinya. Ketika ia melihat Danny membuka mulut
seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, Naomi cepat-cepat membungkuk. “Selamat
malam,” katanya cepat, lalu berbalik tanpa menunggu jawaban dan berjalan pergi.
Mengamati punggung Naomi yang menjauh, Bobby Shin bergumam, “Rasanya
tidak benar membiarkannya pulang sendirian malam-malam begini.”
Danny menoleh. “Tapi dia sendiri tidak mau ditemani,” balasnya. Lalu ia
mengangkat bahu. “Hyong tidak perlu cemas. Tidak akan terjadi apa-apa.”
Bobby Shin mendecakkan lidah dengan pelan. “Tapi tetap saja...,” gumamnya
enggan. Ia menghela napas dan berbalik. “Ya sudahlah. Ayo, Danny. Kita bereskan
tempat ini dan pulang.”
“Ya. Tentu saja,” gumam Danny. Namun ia tidak beranjak dari tempatnya
berdiri sampai sosok Naomi menghilang di belokan di seberang jalan sepi itu.
* * *
Sementara itu Naomi meragukan keputusannya sendiri. Jalanan sudah sepi. Stasiun
kereta bawah tanah juga tiba-tiba terlihat remang-remang dan menakutkan. Hanya
ada segelintir orang yang berdiri menunggu kereta. Naomi tidak suka tempat sepi.
Kepanikan mulai meresapi otaknya dan membuat tubuhnya menggigil.
Apakah tadi sebaiknya ia menerima tawaran Danny Jo untuk mengantarnya
pulang? Tapi ditemani laki-laki yang baru ditemuinya hari ini juga sama sekali
bukan pilihan yang pantas dipertimbangkan.
Sepanjang perjalanan pulang Naomi menyibukkan pikirannya dengan
mengingat jadwal kerjanya selama sebulan ke depan, berusaha mengabaikan
keadaan kereta yang hampir kosong dan dua pria berpenampilan kusam yang
berdiri di dekat pintu sambil mengobrol dan menenggak bir. Ketika ia akhirnya tiba
di Hampstead, Naomi baru bernapas sedikit lebih lega. Hanya sedikit. Karena
sekarang ia harus berjalan kaki ke flatnya. Memang tidak jauh dari stasiun, tapi ia
tetap merasa paranoid kalau harus berjalan sendirian malam-malam.
Sambil terus menyibukkan pikirannya sehingga tidak berpikiran macammacam,
Naomi berjalan cepat menyusuri jalan dari bebatuan yang mengarah ke
flatnya. Ia baru bisa benar-benar bernapas lega ketika sudah mendekati gedung flat.
Robins Nest di lantai satu gedung itu masih buka dan masih ramai. Cahaya lampu
yang terang, suara orang tertawa, bercakap-cakap dan bunyi denting gelas membuat
Naomi merasa santai.
Baru saja ia merasa lega, tiba-tiba bunyi keras di belakangnya membuatnya
terperanjat, disusul disusul suara yang mengumpat. Naomi terkesiap, berputar
cepat, dan membelalak.
“Oh, sialan,” gerutu sesosok bayangan gelap di bawah salah satu pohon yang
berjejer di tepi jalan. Bayangan itu sepertinya sedang membungkuk dan mengangkat
sesuatu dari tanah.
Naomi seakan terpaku di tempat. Tidak bisa bergerak, tidak bisa bersuara, tidak
bisa bernapas. Dengan mata terbelalak ia menatap bayangan itu membetulkan
letak... tong sampah?
“Jangan panik. Ini aku. Aku menabrak tong sampah. Tapi tidak perlu khawatir.
Tong sampahnya baik-baik saja.”
Naomi mengerjap mengenali suara itu sementara bayangan gelap tadi
melangkah ke bawah sinar lampu jalan sambil mengangkat kedua tangan. Mata
Naomi melebar setelah wajah laki-laki itu terlihat jelas. “Kau...?”
Danny Jo menurunkan tangan dan tersenyum lebar.
“Sedang apa kau di sini?” tanya Naomi heran bercampur curiga. Ia memandang
berkeliling, lalu kembali menatap Danny. Matanya disipitkan. “Kau mengikutiku?”
Danny tidak langsung menjawab. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Lalu ia
berkata dengan nada merenung, “Kau tahu, ini pertama kalinya kau mengucapkan
lebih dari dua kata padaku. Dan aku baru tahu kau punya logat London yang jelas.
Sebenarnya sudah berapa lama kau tinggal di sini?”
Naomi terdiam sejenak dan tetap menatap laki-laki di hadapannya. Lalu, tanpa
menjawab pertanyaan Danny, ia bertanya sekali lagi, “Sedang apa kau di sini?”
Danny Jo menjejalkan kedua tangan ke saku jaket abu-abunya dan mengangkat
bahu. “Karena kau tidak mau diantar pulang, aku memutuskan untuk
mengikutimu.”
Kening Naomi berkerut tidak mengerti. “Kenapa?”
“Hanya untuk memastikan kau baik-baik saja. Memastikan kau tiba di rumah
dengan selamat,” sahut Danny ringan. “Hyong—maksudku sutradara kita itu—takut
sesuatu terjadi padamu.”
Naomi mengerjap bingung. “Oh.”
“Jadi,” kata Danny sambil mendongak memandang gedung di depannya, “kau
tinggal di sini?”
Naomi menoleh, mengikuti arah pandang Danny, lalu kembali menatap lakilaki
itu. “Ya.”
Mendengar nada suara Naomi, mata Danny beralih kembali kepada Naomi dan
ia tertawa pendek. “Tidak perlu curiga begitu. Aku tidak minta diajak masuk,”
katanya. Ia menatap Naomi dari kepala sampai ke kaki, lalu kembali ke wajahnya
dan berkata, “Lagi pula kau bukan tipeku.”
Naomi mengerjap kaget, membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Otaknya
berkutat mencari balasan yang cocok, tetapi tidak ada satu pun yang terpikirkan
olehnya. Otaknya mendadak kosong. Ia hanya bisa menatap laki-laki yang
tersenyum lebar itu dengan sebal.
“Baiklah. Karena kau sudah sampai di rumah dengan selamat, aku pergi dulu,”
kata Danny sambil mengangkat sebelah tangan. “Sampai jumpa besok.”
Ketika laki-laki itu berbalik dan mulai melangkah pergi, Naomi baru berhasil
memikirkan selusin cara membalas kata-kata Danny tadi. Tapi tentu saja sudah
terlambat. Dengan jengkel Naomi membalikkan tubuh sambil menggali tasnya,
mencari kunci pintu tangga depan.
“Siapa laki-laki itu?”
Jantung Naomi hampir jatuh ke tanah ketika Julie tiba-tiba sudah ada tepat di
depan wajahnya. “Ya Tuhan, Julie!” Naomi menempelkan tangan ke dada. “Sedang
apa kau di sini?”
Julie memberi isyarat dengan ibu jarinya ke arah Robins Nest yang ramai. “Aku
sedang bersama teman-temanku,” katanya. “Kebetulan aku melihatmu dengan lakilaki
itu. Siapa dia?”
“Rekan kerja,” sahut Naomi, masih merasa sebal pada diri sendiri karena
membiarkan dirinya terlihat seperti orang bodoh di depan Danny Jo.
Alis Julie terangkat. “Dan dia mengantarmu pulang? Naomi, aku tidak pernah
meliahtmu diantar pulang oleh laki-laki.”
“Tidak, dia tidak mengantarku,” sela Naomi cepat, “dia mengikutiku.”
Kali ini alis Julie berkerut. “Dia mengikutimu sampai ke sini? Untuk apa?”
Naomi tidak langsung menjawab. Ia menoleh ke belakang. Danny Jo sudah
tidak terlihat. Ia menggeleng dan mendesah. “Entahlah. Aku lelah sekali dan aku
mau tidur,” katanya sambil mengeluarkan kunci dari tas dan berjalan melewati
Julie. “Sana, kembalilah kepada teman-temanmu.”
“Oh ya, Naomi,” panggil Julie. “Miho menelepon mencarimu berkali-kali hari
ini. Katanya ponselmu tidak bisa dihubungi.”
Naomi baru teringat ia mematikan ponselnya selama proses syuting agar tidak
mengganggu. Ia mendesah berat. “Miho. Oh, dear, aku hampir lupa. Aku berjanji
akan menyerahkan artikelnya besok.” Ia mengembuskan napas panjang. Bahunya
melesak. “Kurasa aku harus membatalkan rencanaku untuk tidur.”
Selain bekerja sebagai model, Naomi juga bekerja sebagai editor freelance di
salah satu majalah fashion populer di Inggris. Ia sangat suka dan tahu banyak soal
dunia fashion, jadi ketika Nakajima Miho, mantan teman seprofesi dan putri pemilik
majalah itu, meminta bantuannya menulis artikel fashion untuk majalahnya, Naomi
dengan senang hati menerima pekerjaan itu. Namun sekarang ia mulai
mempertanyakan keputusannya sendiri untuk membantu Miho karena sepertinya ia
sekarang hanya bukan hanya bertugas menulis artikel fashion, tetapi juga sering
diminta mengerjakan tugas yang seharusnya dikerjakan Miho sendiri sebagai editorin-
chief karena temannya itu bukan tipe orang yang bisa mengambil keputusan
sendiri.
Julie menatapnya dengan tatapan prihatin. “Kurasa sudah waktunya kau
memilih salah satu, Naomi. Model atau editor majalah. Kau tidak bisa melakukan
dua-duanya dengan jadwalnya yang sekarang. Memangnya kau tidak capek?”
Naomi memutar kunci dan membuka pintu, lalu ia berbalik menatap temannya.
“Jangan khawatir. Aku bisa mengatasinya,” katanya sambil tersenyum.
Ia tidak pernah memberitahu siapa-siapa, tetapi kesibukan adalah perlindungannya.
Kesibukan bisa mengalihkan perhatiannya. Kesibukan bisa membuatnya
tidak memikirkan hal-hal yang tidak ingin dipikirkannya.

Misalnya hal-hal yang berhubungan dengan Danny Jo.
Bab Empat
NAOMI tiba-tiba menyadari dirinya sangat lelah dan lapar ketika ia berjalan
melewati pintu restoran kecil berdesain modern itu keesokan harinya. Aroma steik
yang enak menerjang hidungnya, membuat kepalanya pusing sejenak. Ia praktis
tidak tidur semalaman karena harus menyelesaikan artikel yang dijanjikannya
kepada Miho. Ketika akhirnya ia berhasil menyelesaikan artikel itu dan
mengirimnya lewat e-mail kepada Miho, ia hanya punya sisa waktu satu jam
sebelum bersia-siap berangkat ke lokasi syuting lagi. Dihadapkan pada pilihan
apakah ia harus tidur atau sarapan, Naomi memilih tidur, walaupun tentu saja satu
jam itu sama sekali tidak cukup.
Dan tadi pagi ketika Naomi hendak keluar dari flat, Miho meneleponnya dan
meminta bertemu di saat makan siang. Ketika Naomi berkata bahwa ia sudah
mengirimkan artikelnya lewat e-mail, temannya itu tetap ingin bertemu. Katanya ada
yang ingin dibicarakannya dengan Naomi. Sesuatu yang berhubungan dengan
perancang busana baru yang akan ditampilkan di edisi mendatang. Karena Miho
tidak suka ditolak, dan karena Naomi juga tidak tega menolak, akhirnya ia
menyerah.
Naomi melirik jam tangan dan mengerang dalam hati. Perutnya yang
menyedihkan terpaksa harus bertahan tanpa makanan siang ini. Ia harus cepat-cepat
kembali ke lokasi syuting. Tadi Naomi hanya sempat memberitahu Yoon bahwa ia
akan pergi sebentar sementara para kru makan siang. Ia tidak memberitahu
Sutradara Shin karena tadi pria itu terlihat sedang sibuk bicara dengan asisten
sutradara.
Si asisten sutradara...
Naomi menarik napas dan mengusap pelipisnya sejenak. Ia tidak tahu apa yang
harus dipikirkannya tentang Danny Jo. Mereka belum sempat berbicara hari itu
karena keadaan di lokasi syuting sangat sibuk dan karena hari ini tidak ada adegan
yang melibatkan dirinya, Danny Jo selalu berada di belakang kamera bersama
Sutradara Shin.
Tapi besok adalah hari terakhir syuting. Setelah itu Naomi tidak akan melihat
Danny Jo lagi. Lalu semuanya akan kembali seperti semula. Semuanya akan baikbaik
saja. Harus baik-baik saja.
Lamunannya buyar ketika mendengar seseorang memanggil namanya. Naomi
menoleh dan menatap salah satu meja kecil di tengah ruangan. Miho Nakajima
melambai ke arahnya sambil tersenyum lebar.
Selain nama dan wajahnya, tidak ada kesan Asia lain dalam diri Miho. Karena
dilahirkan dan dibesarkan di London, cara berpikir, cara bicara, dan gayanya sangat
mirip orang Eropa. Walaupun masih keturunan Jepang, ia praktis tidak bisa
berbahasa Jepang. Kemampuan berbahasa Jepang-nya benar-benar payah sampai
Naomi selalu berbicara dengannya dalam bahasa Inggris.
“Maaf, aku agak terlambat. Sudah lama menunggu?” tanya Naomi begitu ia
duuk dan melirik piring salad yang sudah hampir habis di depan Miho. Perutnya
kembali berbunyi.
Miho mengibaskan rambut panjangnya yang dicat pirang ke belakang. “Aku
bersedia menunggu lama asal kau datang ke sini. Aku benar-benar butuh
bantuanmu,” katanya sambil tersenyum lebar. Walaupun ia kini adalah editor-inchief
jabatan yang dulunya dipegang oleh ibunya sebagai pemilik perusahaan—ia
masih sering bergantung pada pendapat Naomi tentang berbagai hal.
“Baiklah. Apa yang bisa kubantu?” tanya Naomi langsung.
Miho tersenyum dan mengeluarkan sebuah folder dari tasnya yang besar. “Ini
adalah perancang-perancang baru dan berbakat yang menurutku cocok
diperkenalkan di edisi mendatang. Tentu saja kita tidak bisa menampilkan
semuanya, jadi aku ingin mendengar pendapatmu. Menurutmu siapa yang paling
oke?” Ia membuka folder itu dan mendorongnya ke arah Naomi. “Kita harus
memutuskannya sekarang juga karena aku harus pergi selama seminggu atau
bahkan lebih.”
“Memangnya kau mau pergi ke mana?” tanya Naomi sambil terus membaca
data yang disodorkan Miho.
Miho tersenyum masam. “Aku harus terbang ke Korea malam ini untuk
menghadiri perayaan ulang tahun kakekku yang kedelapan puluh. Semua keluarga
besar berkumpul untuk acara itu.” Ia mendesah panjang. “Asal kau tahu, aku tidak
pernah suka acara keluarga seperti itu. Aku tidak dekat dengan kerabat-kerabatku,
baik yang di Korea maupun yang di Jepang. Sama sekali tidak dekat. Bagaimana
bisa dekat kalau akut idak mengerti apa yang mereka katakan dan mereka sama
sekali tidak mengerti bahasa Inggris? Membosankan. Tapi, tentu saja orangtuaku
memaksaku hadir. Mereka tidak mau aku dianggap kurang ajar.”
Kali ini Naomi menatap Miho dengan alis terangkat heran. “Kau punya
keluarga di Korea?” Kenapa akhir-akhir ini ia merasa seolah-olah melihat orang
Korea di mana-mana?
“Tentu saja,” sahut Miho sambil mendorong piring salad-nya yang isinya masih
bersisa. “Ibuku keturunan Korea. Kau tidak tahu?”
Naomi menggeleng. “Ternyata ibumu orang Korea?”
Sepertinya Miho tidak mendengar. Keningnya berkerut samar, memikirkan
waktu-waktu panjang dan membosankan yang akan dihabiskannya di Korea. Ia
sudah mengajukan seribu satu alasan kepada ibunya untuk tidak ikut, tetapi ibunya
bersikeras dan Miho tidak punya pilihan lain yang tersisa selain menurut. Ia
mendesah panjang dan menatap ke sekeliling restoran, lalu berkata, “Sepertinya aku
butuh sedikit puding cokelat untuk mempersiapkan diriku menghadapi hari-hari
suram yang menantiku. Kau mau memesan sesuatu?”
Naomi melirik jam tangan dan mengembuskan napas panjang. “Aku kelaparan
setengah mati, tapi tidak ada waktu untuk makan.” Naomi menunjuk salah satu
kertas di hadapannya. “Menurutku yang ini saja. Desain pakaiannya sangat unik,
bukan? Aku suka warna-warna yang dipakainya. Bagaimana menurutmu?”
“Aku setuju saja denganmu,” sahut Miho dan mengangguk-angguk. “Kau
memang punya selera yang bagus, Naomi. Apa jadinya aku tanpa dirimu?”
Naomi tertawa singkat. “Aku yakin kau akan baik-baik saja,” katanya, lalu
melirik jam tangan. “Kalau tidak ada lagi yang lain, aku harus pergi sekarang.”
Miho menggeleng. “Tapi setelah aku kembali ke sini nanti aku ingin kau
menemaniku pergi menemui perancang ini.”
“Baiklah,” kata Naomi cepat sambil bangkit dari kursi dan meraih tasnya.
“Selamat bersenang-senang di Korea. Telepon aku kalau kau sudah kembali. Aku
ingin tahu bagaimana kau berhasil melewati hari-hari suram yang kausebut-sebut
itu.”
Miho tersenyum masam. “Itu juga kalau aku belum mati kebosanan di sana,”
gerutunya. “Atau mati kesal karena harus menghadapi kerabat-kerabatku yang suka
ikut campur dalam kehidupan pribadiku. Kau tahu, kudengar dari ibuku mereka
sekarang berniat menjodohkan aku, seolah-olah aku sudah melakukan dosa besar
karena masih melajang di usiaku yang sekarang.”
Naomi kembali melirik jam tangan. Ia harus segera kembali ke lokasi syuting.
“Itu tandanya mereka peduli padamu,” katanya cepat, lalu tertawa ketika melihat
raut wajah Miho. “Jangan muram begitu. Maksudku, siapa tahu kau suka calon
yang mereka ajukan?”
Bab Lima
DANNY memandang ke sekeliling studio yang menjadi lokasi syuting hari itu,
tetapi gadis aneh itu tidak terlihat. Sutradara Shin meminta para model bersiap-siap
karena syuting akan segera dilanjutkan, tetapi model utamanya tidak terlihat di
mana-mana. Mungkin ia pergi makan siang di luar dan belum kembali. Danny
mengembuskan napas dan mengingatkan diri sendiri untuk meminta nomor ponsel
gadis itu supaya ia bisa menghubunginya kalau ada kejadian seperti ini lagi.
Nuna,” panggil Danny sambil berjalan menghampiri Yoon yang sedang
merapikan kostum di rak gantung. “Nuna tahu di mana dia?”
“Dia siapa?” Yoon balas bertanya tanpa menoleh.
“Siapa lagi? Gadis aneh itu. Naomi Ishida. Di mana dia?”
Sebelum Yoon sempat menjawab, terdengar suara dari balik punggung Danny
yang berkata pelan, “Aku di sini.”
Danny berputar cepat dan langsung berhadapan dengan sepasang mata hitam
besar yang balas menatapnya dengan resah. Danny bertanya-tanya apakah Naomi
Ishida mendengar kata-kata “gadis aneh itu” tadi, namun langsung menyadari
bahwa gadis itu tidak mengerti bahasa Korea. Ia hanya mendengar Danny
menyebut namanya dan menyadari bahwa dirinya sedang dicari-cari.
“Baguslah karena kau sudah di sini,” kata Danny cepat-cepat. “Kau harus
bersiap-siap sekarang.”
Naomi menggigit bibir dan mengangguk singkat. “Oh, oke. Aku akan...” Katakatanya
terhenti ketika ia tiba-tiba merasa dunia bergoyang. Seperti gempa bumi
ringan yang sering dialaminya di Tokyo. Tetapi ini London. Tidak mungkin gempa
bumi, bukan?
Ketika ia mendapatkan keseimbangan tubuhnya kembali, Naomi menyadari
Danny Jo sedang memegangi sikunya dan laki-laki itu menatapnya dengan alis
berkerut samar. “Ada apa denganmu?” tanyanya.
Naomi menggeleng bingung. “Aku tidak apa-apa,” sahutnya sambil menarik
lengannya dari pegangan Danny dan mundur selangkah. “Aku akan bersiap-siap
sekarang.”
“Kau sudah makan?” tanya Danny Jo lagi.
Naomi tidak langsung menjawab. Setelah ragu sejenak, ia berkata, “Sudah.”
Danny tidak berkata apa-apa. Hanya terlihat berpikir-pikir, lalu ia mengangguk
dan tersenyum kecil. “Baiklah. Aku akan memanggilmu kalau semuanya sudah
siap.”
Naomi memandangi punggung Danny yang menjauh sambil merenung, lalu ia
berputar menghadap Yoon dan tersenyum. “Kostum mana yang harus kupakai?”
Beberapa menit kemudian, setelah berganti pakaian dan berjalan kembali ke
meja riasnya, Naomi melihat melihat dua bungkus sandwich dan sekotak susu
tergeletak di meja rias. Ia mengamati kedua sandwich yang terlihat lezat itu. Sandwich
kalkun dan sandwich mentimun. Secarik kertas kuning terselip di bawahnya.
Aku tidak tahu kau vegetarian atau bukan dan aku tidak tahu kau suka kalkun
atau tidak, tapi tolong makan saja daripada kau jatuh pingsan di tengah-tengah
syuting. Kita tidak mau hal itu terjadi, bukan?
D.
Naomi memandang berkeliling sampai ia melihat Danny Jo di seberang
ruangan. Laki-laki itu sedang menunduk menatap sesuatu yang ditunjukkan salah
seorang kru dan mendengarkan dengan saksama. Lalu tiba-tiba ia mengangkat
wajah dan bertemu pandang dengan Naomi. Sebelum Naomi sempat berpikir apa
yang harus dilakukannya, Danny tersenyum sekilas kepadanya dan kembali
memusatkan perhatian pada apa yang dikatakan kru di sampingnya.
Menatap dua potong sandwich di tangan, Naomi hanya ragu sejenak, lalu
membuka bungkusan sandwich kalkun dan menggigitnya. Ia memejamkan mata
sejenak. Pada kenyataannya sandwich itu memang bukan sandwich paling enak di
dunia, tetapi saat itu, bagi perutnya yang keroncongan, sandwich itu adalah salah
satu makanan paling enak yang pernah dicicipi Naomi.
* * *
Danny mendapati dirinya tersenyum melihat gadis aneh itu menggigit sandwich
dengan tekun, seolah-olah sandwich itu akan menguap kalau tidak segera
dimasukkan ke mulut. Pikiran pertama yang muncul di benaknya adalah Naomi
Ishida bukan vegetarian. Lalu pikiran kedua adalah dugaannya memang benar.
Gadis itu nyaris pingsan karena kelaparan tadi. Danny jadi ingin tahu apa yang
dilakukannya selama waktu makan siang tadi, kalau gadis itu memang tidak pergi
makan.
Ia membiarkan dirinya menatap ke arah Naomi Ishida sejenak, lalu berdoa
dalam hati supaya gadis itu tidak jatuh pingsan di tengah-tengah syuting. Jadwal
syuting sudah cukup gila tanpa perlu ditambah dengan pingsannya model utama.
Tetapi pada kenyataannya ia tidak perlu khawatir sama sekali. Proses syuting
sepanjang sisa hari itu berjalan sangat lancar. Entah karena perut Naomi Ishida yang
sudah terisi penuh sehingga ia bisa bekerja lebih baik atau karena suasana hati
Sutradara Shin memang sedang baik, semua adegan yang direncanakan untuk hari
itu diselesaikan dengan cepat dan memuaskan. Kemudian segalanya bertambah
menyenangkan ketika Sutradara Shin menghentikan proses syuting lebih awal
daripada kemarin dan mengajak semua kru makan malam di restoran Korea yang
berjarak satu blok dari studio.
Restoran itu terletak di lantai dua, tepat di atas toko suvenir, di ujung jalan yang
tidak terlalu ramai. Restoran kecil yang tadinya sepi itu berubah ramai karena
kedatangan mereka dan mereka menempati hampir semua tempat kosong yang
tersedia.
“Aku belum pernah mencoba makanan Korea.”
Danny menoleh ke arah suara itu dan melihat Naomi sedang berbicara kepada
Yoon.
“Sama sekali belum pernah?” tanya Yoon, lalu menerjemahkan kata-kata Naomi
ke dalam bahasa Korea sehingga penata rias lain yang duduk semeja dengan mereka
mengerti.
Naomi tersenyum dan mendengarkan sementara para penata rias itu mulai
berlomba-lomba menjelaskan makanan kecil yang mulai disajikan di meja
kepadanya dalam bahasa Inggris yang sepatah-sepatah dan kadang-kadang tanpa
sadar dicampur bahasa Korea.
Selama dua hari ini jadwal syuting sangat padat dan gadis itu bahkan belum
sempat banyak bicara dengan para kru. Ini akan menjadi kesempatan yang baik bagi
mereka untuk lebih mengenal. Dan kelihatannya gadis itu tidak mendapat kesulitan.
Sekarang saja beberapa orang kru di meja lain mulai mendekatinya dan
mengajaknya mengobrol dengan bantuan Yoon sebagai penerjemah. Tidak lama
kemudian mereka mulai tertawa-tawa dan membicarakan hal-hal yang tidak bisa
ditangkap danny dari tempat duduknya.
Sutradara Shin mengatakan sesuatu kepadanya dan Danny pun mengalihkan
tatapan dari gadis itu.
* * *
Naomi merasa senang malam itu. Lelah setengah mati, tentu saja, tapi juga senang.
Awalnya ia ingin menolak ketika diajak ikut makan malam karena dua alasan.
Pertama, ia merasa ia mungkinakan disisihkan karena ia adalah satu-satunya orang
yang tidak bisa berbahasa Korea di sana. Tetapi ternyata ia salah. Para kru memang
tidak banyak bicara dan bersikap profesional ketika sedang bekerja, tetapi sekarang
sikap mereka sangat berbeda. Mereka selalu mengajak Naomi bicara dan bercanda
walaupun mereka tidak bisa berbahasa Inggris dan harus mencampur-campurkan
bahasa Inggris mereka yang sepatah-sepatah dengan bahasa Korea dan isyarat
tangan.
Kedua, ia sangat lelah. Ia hanya ingin pulang dan tidur. Ketika syuting hari itu
berakhir, ia baru benar-benar menyadari betapa lelah dirinya. Sebenarnya ajaib
sekali ia masih bisa berdiri saat ini kalau mengingat jadwal kerjanya yang padat
selama dua bulan terakhir, walaupun tentu saja sekarang ia merasa kakinya hampir
tidak kuat lagi menopang tubuhnya.
Tetapi ia tidak bisa menolak ajakan Sutradara Shin untuk makan malam
bersama. Ia tidak tahu apakah ia akan dianggap tidak sopan kalau menolak.
Ditambah lagi Yoon juga mendesaknya ikut. Karena tidak punya tenaga untuk
berdebat. Naomi pun mengiyakan.
Dengan adanya Yoon yang bertindak sebagai penerjemah, Naomi harus
mengakui bahwa ia tidak menyesal telah ikut makan malam bersama. Makanannya
enak dan orang-orangnya menyenangkan. Dan Naomi menyadari ia banyak tertawa
selama makan malam karena lelucon yang dilontarkan para kru. Sudah lama sekali
ia tidak tertawa-tertawa seperti itu.
Walaupun ia bersenang-senang, rasa kantuk tetap menyerangnya. Tentu saja itu
tidak aneh mengingat sudah beberapa minggu terakhir ini ia kurang tidur. Ia tidak
tahu sudah berapa kali ia menguap diam-diam selama makan malam.
Dan sekarang ia menguap lagi.
“Ngomong-ngomong, apa pendapatmu tentang Danny?”
Naomi buru-buru mengatupkan mulut dan menoleh menatap Yoon. “Hm?”
“Bagaimana pendapatmu tentang Danny? Dia baik, bukan?” tanya Yoon sekali
lagi.
Naomi menoleh ke arah meja yang tadi ditempati Danny, tetapi tidak melihat
laki-laki itu di sana. Naomi menggigit bibir. Sebenarnyaia sama sekali tidak
memikirkan Danny Jo selama dua jam terakhir ini, dan menurutnya itu sesuatu
yang bagus. Lalu kenapa Yoon tiba-tiba harus membicarakan laki-laki itu? Kalau
obleh memilih, Naomi benar-benar tidak ingin berbicara tentang Danny Jo. Bahkan
tidak ingin berpikir tentang laki-laki itu. Tetapi salah satu hal yang diketahui pasti
oleh Naomi tentang Yoon adalah bahwa kalau wanita itu ingin membicarakan
sesuatu, tidak ada yang bisa menghentikannya.
Sadar bahwa Yoon masih menatapnya dan jelas-jelas berharap ia mengatakan
sesuatu, Naomi memaksakan senyum kecil dan bergumam, “Sepertinya kau
mengenalnya dengan baik.”
Senyum Yoon melebar bangga. “Tentu saja. Aku bahkan mengenal kakak
perempuannya yang dulu juga adalah model terkenal. Sedangkan kakak lakilakinya...
yah, aku hanya sempat bertemu dengannya satu kali—sebelum dia
meninggal dunia, tentu saja.”
Naomi menyesap minumannya dengan pelan.
Yoon mencondongkan tubuhnya ke arah Naomi dan bergumam pelan,
“Kecelakaan lalu lintas. Tiga tahun lalu. Mengemudi sambil mabuk.”
“Oh ya?”
“Oh, ya.” Yoon mengangguk muram. “Tulang pinggulnya patah dan dia sempat
koma selama dua bulan sebelum akhirnya meninggal. Kasihan sekali, bukan?”
Naomi menghela napas pelan. Kasihan?
Sebenarnya tidak. Ia tidak kasihan pada orang-orang seperti itu. Hidup ini
penuh dengan pilihan. Dan kalau orang itu memilih bersikap tidak bertanggung
jawab dengan mengemudi dalam keadaan mabuk, makaia sendiri yang harus
menerima akibatnya.
Tetapi Naomi tidak berkata apa-apa pada Yoon, hanya kembali menyesap
minumannya dengan muram. Kepalanya mulai terasa pusing. Ia merasa seolah-olah
sedang bermimpi. Ia butuh udara segar. Tidak, tidak... Ia harus pulang. Ia tidak
ingin jatuh pingsan karena kelelahan di tengah jalan.
Setelah pamit dengan Sutradara Shin, Yoon dan para staf lain—yang terbukti
agak sulit karena mereka semua mendesaknya tetap tinggal—Naomi pun
mengumpulkan barang-barangnya dan berjalan ke arah tangga. Oh, ia sangat lelah.
Saking lelahnya, ia merasa ia bisa tidur sambil berdiri. Naomi menepuk-nepuk
pipinya sendiri untuk sedikit menyadarkan diri. Udara dingin pasti bisa
menyegarkannya. Sekarang yang harus dilakukannya adalah menuruni tangga kayu
sempit di restoran itu. Menuruni tangga sempit dalam sepatu bot bertumit tinggi
dan dalam keadaan setengah sadar sama sekali bukan pekerjaan yang mudah.
Naomi harus mengerahkan segenap konsentrasin yang tersisa. Ia tidak mau
sampai...
“Mau pergi ke mana?”
Suara itu membuat Naomi tersentak kaget dan kehilangan keseimbangan.
Sebelum ia bahkan menyadari apa yang sedang terjadi, kaki kanannya tergelincir
dari pijakan dan tubuhnya terhuyung ke depan. Naomi memejamkan mata, bersiapsiap
menerima yang terburuk. Ia merasa dirinya menubruk sesuatu, tetapi ia tidak
jatuh berguling-guling di tangga, tidak terjerembap di lantai keras, tidak merasa
kesakitan.
Naomi membuka mata dan mendongak. Matnaya melebar kaget ketika ia
menyadari bahwa ia telah mendarat dalam pelukan Danny Jo.
Oh dear...
* * *
Mata hitam yang mirip mata boneka itu terbelalak lebar menatapnya. Sejenak Danny
melupakan kaki kirinya yang berdenyut-denyut kesakitan. Oh ya, ia bisa melihat
berbagai macam ekspresi yang melintas di mata itu. Kaget, bingung, dan... takut?
Danny berdeham dan bergumam, “Kau tidak apa-apa?” Ia tidak melepaskan
Naomi. Gadis itu pasti akan langsung tersungkur kalau Danny melepaskannya,
mengingat posisinya saat itu yang seluruhnya bersandar pada Danny.
Naomi Ishida tidak menjawab. Tidak bergerak sedikit pun. Tubuhnya begitu
kaku dalam pelukan Danny sampai Danny hampir mengira gadis itu sudah berubah
menjadi boneka kayu.
“Kalau kau baik-baik saja,” Danny melanjutkan dengan nada ringan, “mungkin
kau bisa mengangkat kaki kananmu sedikit.”
Mata Naomi mengerjap satu kali, lalu ia menunduk menatap kaki kanannya.
Danny mengikuti arah pandangannya dan mereka berdua menatap hak tinggi
sepatu bot Naomi yang menancap di kaki kiri Danny. Naomi terkesiap dan buruburu
melepaskan diri dari Danny. Tetapi karena terlalu terburu-buru, ia malah
terhuyung ke belakang.
Danny dengan cepat mengulurkan tangan dan menahan siku gadis itu. Ia
mengembuskan napas panjang dan berkata, “Pelan-pelan saja,” kata Danny. Seperti
yang sudah diduganya, Naomi secepat kilat menarik lengannya dari pegangan
Danny.
Sejenak Naomi hanya menatapnya tanpa berkedip. “Aku... Maaf,” gumamnya
pada akhirnya. Jeda sejenak, lalu, “Kakimu...”
Danny tersenyum dan menggerak-gerakkan kaki kirinya. “Aku tidak akan
pincang,” katanya ringan.
Naomi mengangguk, namun tidak berkata apa-apa.
Danny mengamati Naomi Ishida yang berdiri di hadapannya. Apakah hanya
perasaannya atau apakah gadis itu memang terlihat resah?
“Jadi kau mau ke mana?” tanya Danny lagi.
Naomi berdeham pelan. “Aku pulang dulu.” Ia tersenyum singkat. Benar-benar
singkat, sampai Danny tidak yakin apakah Naomi benar-benar tersenyum tadi.
“Sampai jumpa besok.”
Tanpa menunggu jawaban, gadis itu dengan cepat menuruni tangga melewati
Danny dengan kepala tertunduk. Kening Danny berkerut samar, lalu sedetik
kemudian ia berputar dan berkata, “Biar kutemani sampai ke stasiun.”
Naomi Ishida berhenti di dasar tangga, berbalik pelan dan mendongak menatap
Danny. “Apa?”
“Akan kutemani kau sampai ke stasiun,” Danny mengulangi kata-katanya
sambil menuruni tangga.
“Aku tidak butuh ditemani.”
Danny mendesah dalam hati. Astaga, gadis ini benar-benar menyulitkan. Ia
berdiri di hadapan Naomi dan tersenyum ringan. “Baiklah. Aku yang butuh teman,”
katanya. “Aku sedang bosan. Aku butuh teman bicara. Dan kurasa jalan-jalan
sebentar tidak ada salahnya. Bukankah begitu?”
Setelah berkata begitu, Danny berjalan melewati Naomi yang masih
menatapnya dengan alis berkerut bingung.
Setelah berjalan beberapa langkah, Danny berbalik dan melihat gadis itu masih
berdiri di tempat. “Aku tidak bermaksud merayumu, kau tahu? Maksudku, kalau
itu yang kautakutkan,” katanya sambil tersenyum. “Sudah kubilang kau sama sekali
bukan tipeku. Tapi itu tidak berarti kita tidak bisa berteman, bukan?”
Alis gadis itu masih berkerut dan ia masih menatap Danny dengan ragu.
Danny memiringkan kepala sedikit. “Apakah kau takut padaku?”
Naomi tidak menjawab, dan hal itu membuat Danny heran. Ia hanya bercanda
dan mengira Naomi akan membantah dengan tegas. Tetapi gadis itu hanya berdiri
diam di sana. Apakah gadis itu benar-benar takut padanya? Kenapa? Sebelum
Danny sempat berpikir lebih jauh, ia melihat Naomi memejamkan mata, lalu
menghela napas seolah-olah menyerah, dan mulai berjalan menyusul Danny.
Senyum Danny mengembang. Itu sama sekali bukan kemenangan besar, tetapi
tetap adalah kemajuan. “Jadi, Naomi,” kata Danny memulai percakapan sementara
mereka berjalan menyusuri trotoar, “kau sudah merasa lebih baik?”
Naomi meliriknya sekilas. “Apa maksudmu?”
Danny mengangkat bahu. “Tadi siang kau hampir pingsan di depanku karena
kelaparan. Sekarang kau hampir pingsan di tangga karena... yah, aku tidak tahu
kenapa, tapi yang pasti bukan karena lapar. Kulihat porsi makanmu cukup sehat
tadi.”
Langkah kaki Naomi terhenti. Ia berputar menghadap Danny dan membuka
mulut hendak membalas, lalu menutupnya lagi. Setelah berpikir sejenak, ia
membuka mulut dan berkata, “Pertama, tadi siang aku tidak pingsan. Walaupun
aku... walaupun aku memang tidak sempat makan. Tapi itu tidak ada hubungannya!
Kepalaku hanya agak pusing dan...”
Danny mengangkat alis, terkejut mendengar aliran kata-kata yang cepat dari
mulut Naomi Ishida. Tetapi sepertinya salah mengartikan ekspresi Danny karena
gadis itu melotot ke arahnya.
Dan itu jarang sekali terjadi,” lanjut Naomi galak. “Kedua, tadi aku hanya
tergelincir di tangga—sekali lagi, bukan pingsan!—karena kau tiba-tiba muncul entah
dari mana dan membuatku kaget setengah mati. Ketiga, apa maksudmu dengan
porsi makanku besar? Apa salahnya kalau aku makan banyak? Aku kan tidak
sempat makan siang tadi. Seorang model memang seharusnya kurus, tapi seorang
model tidak seharusnya mati kelaparan. Katakan padaku, apakah aku salah?”
Naomi menarik napas panjang di akhir penjelasannya dan Danny tersenyum
melihatnya. Lalu ia berkata, “Giliranku?” Karena gadis itu hanya diam dan
menatapnya dengan mata disipitkan, Danny melanjutkan, “Oke, pertama, tadi siang
kau memang hampir pingsan—tunggu, jangan menyela dulu—dan kalau aku tidak
menahanmu, kau pasti sudah jatuh ke lantai seperti pohon tumbang. Kedua, aku
tidak tiba-tiba muncul entah dari mana. Aku tadi sedang melihat-lihat tok osuvenir
yang ada di bawah restoran. Ketiga, tadi kubilang porsi makanmu sehat, bukan
banyak. Sehat. Dan tidak, tidak ada salahnya kalau kau makan banyak.”
Naomi menatapnya sejenak dengan alis berkerut kesal. “Well, terima kasih,”
katanya datar, berbalik meneruskan langkah.
“Sekarang,” kata Danny ringan sambil mengikuti langkah gadis itu, “Ceritakan
tentang dirimu.”
Naomi meliriknya sekilas—lagi-lagi tatapan curiga itu—dan bertanya singkat,
“Kenapa?” Ah, lagi-lagi nada curiga itu.
“Karena itu yang dilakukan teman, bukan?” Danny balas bertanya dengan nada
polos. “Saling mengenal, maksudku.”
Naomi tidak menjawab. Danny juga menyadari gadis itu tidak membantah kata
“teman”. Jadi sepertinya itu sesuatu yang bagus.
“Sudah berapa lama kau tinggal di London?” tanya Danny ketika sepertinya
Naomi tidak berniat mengatakan apa-apa.
Naomi tidak langsung menjawab. Lalu, “Hampir tiga tahun.”
Danny tersenyum kecil. “Kau suka tinggal di sini?”
Naomi hanya mengangkat bahu sedikit.
“Ini ketiga kalinya aku datang ke London,” kata Danny. “Aku suka kota ini,
walaupun pada dua kunjungan awalku aku tidak punya waktu untuk berkeliling
dan melihat-lihat karena jadwal kerjaku terlalu padat. Tapi karena sekarang aku
akan tinggal agak lama di sini, kurasa aku bisa mencari waktu luang untuk
berkeliling kota.”
Naomi tetap menunduk menatap jalan, tidak berkomentar.
“Bagaimana kalau kau menemaniku?”
Kali ini kepala Naomi berputar ke arahnya. Mata bulat dan resah itu menatap
mata Danny sedetik, lalu mengerjap. “Apa?”
Danny mengangkat bahu dengan ringan. “Kukira mungkin kau bisa
menemaniu berkeliling kota setelah syuting berakhir. Aku tidak punya teman lain di
sini, kecuali sutradara kita, tentu saja, tapi menurutku dia mungkin lebih suka
menghabiskan waktu bersama istri dan anaknya daripada bersamaku.”
“Oh, kurasa tidak,” gumam Naomi cepat—mungkin terlalu cepat—sambil
menurunit angga ke stasiun kereta bawah tanah.
Danny bergegas menyusulnya. “Kenapa tidak?”
“Karena aku tidak punya waktu.”
Kedengarannya tidak meyakinkan. Danny semakin penasaran. Sepertinya
Naomi Ishida tidak menyukainya. Tapi kenapa? Danny tidak pernah menganggap
dirinya sebagai orang yang menjengkelkan. Ia ramah pada siapa saja. Dan ia jelas
selalu bersikap ramah pada Naomi. Lalu kenapa ia merasa seolah-olah Naomi tidak
menyukainya? Apakah ia telah melakukan sesuatu yang menyinggung perasaan
gadis itu? Sepertinya tidak.
“Keretaku akan datang sebentar lagi,” kata Naomi sambil mendongak menatap
papan penanda kedatangan kereta, “jadi kalau kau mau pergi sekarang...”
“Kenapa kau membenciku?”
* * *
Naomi menahan napas sejenak. Lalu perlahan-lahan ia mengembuskan napas dan
menoleh ke arah Danny Jo. Ia bisa melihat kebingungan di wajah laki-laki itu.
“Kenapa kau membenciku?” tanya Danny sekali lagi.
Naomi menarik napas lagi, lalu berkata pelan, “Aku tidak membencimu.”
Itu memang benar. Ia tidak membenci Danny Jo. Naomi memang baru bertemu
dengan Danny Jo dua hari yang lalu dan mungkin Naomi belum benar-benar
mengenal laki-laki itu, tapi ia tahu Danny Jo bukan orang yang gampang dibenci.
Malah—kalau Naomi mau jujur pada diri sendiri—ia merasa mudah sekali bagi
seseorang untuk menyukai Danny Jo.
“Kalau begitu kau hanya tidak menyukaiku?” tanya Danny lagi.
Naomi menggigit bibir, berpikir. “Kurasa aku belum cukup lama mengenalmu
untuk bisa memberikan penilaian apa pun,” katanya pada akhirnya.
Alis Danny terangkat dan ia tersenyum tipis. “Kau tidak membenciku, tapi juga
tidak suka padaku.” Ia menghela napas sejenak, lalu bertanya, “Apakah kau takut
padaku?”
Itu kedua kalinya Danny Jo bertanya seperti itu. Ya, Naomi tidak menjawabnya
ketika Danny pertama kali bertany apadanya. Saat itu ia tidak tahu bagaimana
menjawabnya. Sekarang juga tidak.
“Naomi?”
Naomi mengangkat wajah dan menatap Danny Jo, lalu balas bertanya, “Apakah
aku punya alasan untuk takut padamu?”
Danny terdiam sejenak. Kepalanya dimiringkan ke satu sisi. Senyum kecil itu
masih tersungging di bibirnya. Naomi merasa seolah-olah laki-laki itu tahu apa yang
sedang dipikirkannya. Dan hal itu membuatnya gugup.
“Tidak, kau sama sekali tidak punya alasan untuk takut padaku,” gumam
Danny Jo.
Satu kalimat itu langsung membuat dada Naomi terasa lebih ringan. Entah
kenapa. Mungkin tanpa sadar Naomi memang mengharapkan penegasan ini.
Kemudian sebelum salah satu dari mereka mengatakan sesuatu, bunyi melengking
panjang tanda kereta akan segera tiba terdengar, disusul bunyi gemuruh kereta di
terowongan.
“Keretamu,” kata Danny pendek.
Sementara kereta berhenti di depan mereka dan sementara menunggu para
penumpang turun dari kereta, Naomi berpikir sejenak sambil menggigit bibir.
Akhirnya ia menoleh ke arah Danny dan berkata, “Terima kasih.”
Danny balas menatapnya dengan alis terangkat. “Hm?”
“Terima kasih. Untuk semuanya, kurasa.” Naomi mengangkat bahu dengan
canggung. “Karena membelikan sandwich untukku siang tadi. Karena menolongku
di tangga tadi. Karena mengantarku ke sini.”
“Hei, itu gunanya teman, bukan?” balas Danny ringan.
Naomi tersenyum ragu, lalu melangkah ke dalam kereta.
Dari balik jendela kaca kereta, ia melihat Danny Jo melambaikan sebelah tangan
ke arahnya. Dan laki-laki itu tidak beranjak sampai kereta itu sudah melaju
meninggalkan stasiun.
Naomi duduk bersandar dan menghela napas dalam-dalam. Kata-kata Danny Jo
tadi terngiang-ngiang di telinganya.
Hei, itu gunanya teman, bukan?
Apakah ia bisa berteman dengan laki-laki itu? Naoi mengusap pelipisnya, lalu
bertopang dagu, menatap ke luar jendela kereta, menatap dinding terowongan yang
gelap gulita.
Laki-laki selalu membuat Naomi merasa resah dan gugup. Ia tidak pernah
merasa nyaman berada di dekat laki-laki. Tidak pernah. Yah, sebenarnya bukan
“tidak pernah”. Tentu saja ia tidak terlahir takut pada laki-laki. Hanya saja beberapa
tahun terakhir ini, sejak kejadian... kejadian itu, ia tidak pernah bisa memandang
laki-laki dengan cara yang sama lagi. Hanya Chris satu-satunya laki-laki yang
dianggapnya teman dan satu-satunya laki-laki yang tidak membuatnya merasa
resah.
Dan sekarang ada Danny Jo. Selama dua hari terakhir ini Naomi sudah
berusaha menjaga jarak darinya, sama sekali tidak ingin berurusan dengannya.
Namun malam ini Danny Jo menunjukkan bahwa ia berbeda dengan perkiraan awal
Naomi. Laki-laki itu sepertinya... baik.
Mungkin Danny Jo memang berbeda.
Tetapi apakan kau benar-benar bisa berteman dengan orang yang bisa
membangkitkan mimpi-mimpi terburukmu?

0 komentar:

Posting Komentar