Spring in London
Ilana Tan
“To the one who showed me
Moonlight...
thank you...”
Prolog
ADA sesuatu yang ingin kukatakan padamu sejak dulu. Sampai
sekarang aku
belum mengatakannya karena... yah, karena berbagai alasan. Dan
alasan utamanya
adalah karena aku takut.
Kalau aku mengatakannya, reaksi apa yang akan kauberikan?
Apakah kau akan menerima pengakuanku?
Apakah kau akan percaya padaku?
Apakah kau masih akan menatapku seperti ini?
Tersenyum padaku seperti ini?
Atau apakah justru kau akan menjauh dariku?
Meninggalkanku?
Tapi aku tahu aku harus mengatakannya padamu. Aku tidak mungkin
menyimpannya selamanya. Entah bagaimana reaksimu nanti setelah
mendengarnya, aku hanya berharap satu hal padamu.
Jangan pergi dariku.
Tetaplah di sisiku.
Bab Satu
Seoul, Korea Selatan
“AKHIRNYA kaujawab juga teleponmu. Aku sudah mencoba
menghubungimu
berkali-kali selama tiga hari terakhir.”
Kata-kata itu menerjang gendang telinga Danny Jo bahkan sebelum
ia sempat
berkata “Halo”. Ia bahkan juga belum sempat benar-benar
menempelkan ponselnya
ke telinga. Mengenali suara sahabatnya di ujung sana, Danny
tertawa dan berkata,
“Jung Tae-Woo, aku tahu kau rindu padaku, tapi tolong kecilkan
sedikit suaramu.
Aku tidak mau orang-orang yang ada di dekatmu berpikir kita
pacaran atau
semacamnya. Kau mungkin sudah terbiasa dengan gosip gay1,
tapi aku tidak.”
Jung Tae-Woo tertawa hambar. “Lucu sekali,” katanya datar.
Danny berdiri menghadap kaca jendela besar di kantor itu,
menatap jalanan
Apgujeong-dong di bawah sana. Jalanan cukup ramai, orang-orang
dalam balutan
jaket tebal beraneka warna berjalan di sepanjang trotoar dan
mobil-mobil
berseliweran di jalan raya. Pemandangan yang sangat biasa.
Pemandangan seharihari
yang sering kali diabaikan kebanyakan orang. Namun Danny
menyukainya. Ia
suka mengamati keadaan di sekitarnya, setiap pejalan kaki dan
setiap mobil yang
lewat.
“Sebenarnya aku tahu kau meneleponku,” kata danny ringan, “dan
aku minta
maaf karena tidak sempat membalas teleponmu. Kau sendiri
penyanyi terkenal, jadi
kau tentu tahu bagaimana rasanya saat jadwal kerjamu begitu
padat sampai kau
bahkan tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain. Aku harus
berangkat ke
London minggu depan, jadi semua pekerjaanku di sini harus
selesai sebelum itu.”
“Aku tahu kau mau pergi ke London,” sela Tae-Woo. “Karena
itulah aku
meneleponmu. Aku butuh bantuan.”
“Tentu,” sahut Danny tanpa ragu, “katakan saja.”
“Aku ingin kau tampil dalam video musikku.”
“Video musikmu?”
1
Baca Summer In Seoul
“Syutingnya akan dilakukan di London. Kau tahu siapa yang sudah
setuju
menjadi sutradaranya?” Tanpa menunggu jawaban, Tae-Woo
melanjutkan, “Bobby
Shin. Dan karena aku tahu kau akan pergi ke London untuk
bekerja dengannya,
kupikir kami tidak perlu mencari model pria lagi. Kau model
pria yang sempurna.
Bagaimana menurutmu?”
Danny mendesah, pura-pura pasrah. “Apakah aku punya pilihan
lain?”
“Tidak,” kata Tae-Woo sambil tertawa. “Oke. Berarti kita sudah
sepakat. Oh ya,
Danny, asal kau tahu, wajahmu tidak akan terlihat sepanjang
video musik itu.
Hanya model wanitanya yang akan disorot.”
Alis Danny terangkat. “Apa? Kenapa?”
“Secara pribadi, menurutku kau terlalu tampan untuk video
musikku,” gurau
Jung Tae-Woo. “Tapi tenanglah, walaupun hanya punggungmu atau
bagian
belakang kepalamu yang terlihat, seluruh Korea akan tahu bahwa
Danny Jo yang
membintangi video musik Jung Tae-Woo. Kalau kau keberatan,
silakan bicarakan
dengan Sutradara Shin. Dia yan gmembuat konsep video musiknya.”
Danny kembali mendesah berlebihan, namun mulutnya tersenyum.
“Jung Tae-
Woo, aku ini orang sibuk, baik di sini maupun di London nanti.
Jadi katakan
padaku, kenapa aku harus meluangkan waktuku yang berharga untuk
tampil dalam
video musikmu kalau wajahku tidak akan terlihat?”
Mengabaikan pertanyaan Danny, Jung Tae-Woo malah balas
bertanya, “Sibuk?
Maksudmu sibuk pacaran?” Lalu ia terkekeh. “Kapan kau akan
mengenalkan
pacarmu kepadaku?”
Alis Danny terangkat heran. “Apa maksudmu? Pacar apa?”
“Gadis yang kulihat keluar dari restoran di Gangnam bersamamu
kemarin
malam. Apakah gaids itu yang membuatmu sibuk akhir-akhir ini?”
Mata Danny menyipit begitu teringat kejadian kemarin malam. Dan
beberapa
kejadian sebelum kejadian kemarin malam. “Dia bukan pacarku.”
“Oh, yang benar saja.”
“Dia... bukan... pacarku,” ulang Danny, menekankan seitap kata.
“Lagi pula
apa-apaan ini? Kau sudah beralih profesi menjadi wartawan atau
apa?”
Jung Tae-Woo tertawa. “Hei, aku hanya bertanya.”
Saat itu pintu kantor terbuka dan Danny berbalik. Matanya
terarah pada wanita
bertubuh langsing dan berambut pendek yang berdiri di ambang
pintu dan yang
menatap Danny dengan alis terangkat. Danny yakin kakak
perempuannya heran ia
muncul di sini tanpa pemberitahuan. Ia mengangkat sebelah
tangan, tanpa suara
menyapa kakaknya, dan tersenyum singkat, senyum yang sudah
membuat banyak
gadis penggemarnya luluh lantak.
“Aku harus pergi sekarang. Nanti kita bicara lagi,” kata Danny
di ponsel. Tanpa
menunggu jawaban Tae-Woo ia menutup ponsel, menjejalkan benda
itu ke saku
celana jinsnya, lalu berpaling ke arah kakaknya. “Nuna2 harus
bicara dengan Ibu,”
katanya langsung tanpa basa-basi.
Anna Jo, yang sedang melepaskan topi, menghentikan gerakannya
dan menatap
adiknya dengan heran, lalu tersenyum. “Selamat pagi juga,
adikku sayang,” katanya
sambil menyisir rambutnya yang berpotongan modis dengan jari.
“Dan apa yang
harus kubicarakan dengan Ibu?”
Anna tiga tahun lebih tua daripada Danny. Wajah kedua kakak
beradik itu tidak
mirip, tetapi mereka sama-sama memiliki wajah menarik yang
disukai para
fotografer, sama-sama memiliki bentuk tubuh jangkung dan
ramping yang disukai
para perancang busana, sama-sama memiliki kepandaian berbicara
yang membuat
mereka disenangi orang-orang yang bekerja sama dengan mereka.
Semua itulah
yang menjadikan mereka model terkenal.
Dulu Anna Jo adalah model fashion yang
menghabiskan waktunya berjalan di
atas catwalk di seluruh penjuru dunia. Namun sejak lima
tahun lalu ia mulai dikenal
sebagai perancang busana dan butik-butiknya kini tersebar di
Seoul dan Tokyo.
Danny mengerang dan menjatuhkan dirinya di kursi berlengan di
depan meja
kerja kakaknya. “Nuna, aku benar-benar harus bicara dengan
Ibu,” katanya lagi, kali
ini dengan suara yang terdengar tertekan. “Ibu tidak bisa terus
berusaha
menjodohkan aku dengan anak perempuan sahabatnya, atau saudara
perempuan
kenalannya, atau—seperti yang terjadi kemarin malam—keponakan
perempuan
orang yang baru dikenalnya di salon! Ini sudah kelewatan.
Kenapa tiba-tiba saja Ibu
begitu bersemangat ingin menjodohkan aku? Dan asal Nuna tahu, akhir-akhir aku
sangat sibuk dan tidak punya waktu untuk main-main.”
Kalau kakaknya lebih dikenal sebagai model catwalk, maka Danny lebih dikenal
sebagai model iklan. Wajahnya sering terpampang di
majalah-majalah dan iklan
televisi. Menurut survei salah satu majalah remaja populer,
Danny Jo adalah salah
satu bintang iklan paling diminati di Korea Selatan, walaupun
akhir-akhir ini ia
mulai memfokuskan diri pada impiannya yang lain, yaitu menjadi
sutradara video
musik.
Anna tersenyum lebar dan memeriksa surat-surat yang diletakkan
sekretarisnya
dengan rapi di atas meja kerja. “Kurasa kencan buta yang diatur
Ibu untukmu
kemarin malam tidak berjalan mulus? Kau tidak suka gadis itu?”
Danny mencondongkan badan ke depan, wajahnya serius. “Apakah Nuna
percaya kalau kubilang gadis itu baru lulus SMA?”
Mata Anna melebar menatap adiknya, lalu tertawa terbahak-bahak.
“Astaga,
Ibu benar-benar sudah kelewatan kali ini.”
Danny mendesah berat dan bersandar ke kursinya kembali. “Apa
yang Ibu
rencanakan? Kenapa Ibu ingin aku segera menikah? Aku tidak
mengerti. Nuna harus
membantuku menyadarkan Ibu. Kalau tidak, aku bisa gila.”
“Kenapa bukan kau sendiri yang bicara dengan Ibu?”
“Aku sudah mencobanya, tapi Ibu tidak mau mendengarkanku,”
sahut Danny.
“Ibu beralasan bahwa dia hanya ingin membantu, karena aku
terlalu sibuk bekerja
sampai tidak sempat bersosialisasi. Katanya siapa tahu di
antara gadis-gadis yang
dikenalkannya kepadaku itu ada yang cocok untukku. Katanya dia
hanya
bermaksud baik dan aku seharusnya menghargai usahanya.” Danny
terdiam, lalu
menatap kakaknya dengan mata disipitkan. “Jangan-jangan Nuna dulu menikah
juga karena dijodohkan Ibu?”
“Jo In-Ho, jangan sampai kakak iparmu mendengar itu,” Anna Jo
memperingatkan sambil tertawa. “Dia sangat gencar mengejarku
dulu.”
Danny tersenyum masam. “Aku tahu.”
Anna Jo memandang adiknya yang sedang tertekan itu dengan
perasaan geli
bercampur kasihan. “Setelah tiga kali mencoba dan gagal, kurasa
Ibu akan
menyerah.”
Danny menggeleng cepat. “Oh, kurasa tidak. Kemarin Ibu bertanya
padaku
wanita seperti apa yang kusuka. Untuk memudahkannya mencari
wanita yang tepat
untukku, begitu katanya. Aku yakin dia masih belum menyerah.”
“Lalu apa yang kaukatakan padanya?”
Kali ini Danny tersenyum kecil. “Kukatakan padanya kami akan
melanjutkan
pembicaraan itu setelah aku kembali dari London.”
Anna mengangkat alis. “Oh, kau jadi pergi ke London?”
Danny memang pernah bercerita pada kakaknya bahwa ia akan pergi
ke
London untuk bekerja dengan Bobby Shin, salah seorang sutradara
video musik
terkenal di Korea. Walaupun Sutradara Shin sudah menetap di
London bersama
keluarganya, kadang-kadang ia masih aktif bekerja di Korea.
Danny sudah beberapa
kali bekerja sama dengan Sutradara Shin dalam pembuatan video
musik dan ia
snagat mengagumi pria yang lebih tua itu. Sekarang Danny
kembali ditawari oleh
Sutradara Shin sendiri untuk bekerja sama dengannya di London.
Bukan sebagai
model, tetapi sebagai asisten sutradara. Danny tidak mungkin
melepaskan
kesempatan sebesar itu.
“Aku akan berangkat minggu depan,” kata Danny.
“Ibu pasti uring-uringan,” kata Anna smabil tersenyum kecil dan
menyandarkan
tubuh ke sandaran kursi. “Dia tidak pernah merasa tenang kalau
kau pergi ke
luar negeri. Apalagi kali ini kau akan bekerja dengan Sutradara
Shin. Kau pasti akan
cukup lama tinggal di sana. Kau sudah memberitahu Ibu tentang
ini?”
Danny tersenyum lebar. “Oh, ya. Ibu mengeluh panjang-lebar dan
terdengar
sangat kecewa. Tapi tidak apa-apa. Yang penting aku bisa
melarikan diri darinya
untuk sementara.”
* * *
London, Inggris
Satu minggu kemudian
Naomi Ishida membuka matanya yang terasa berat, lalu ia
mengangkat tangan
menutupi mata dan mengerang pelan. Sinar matahari yang menembus
jendela
kamar tidur menyilaukan matanya. Ia menguap lebar sambil
merenggangkan
lengan dan kaki dengan posisi yang masih terbaring di tempat
tidur. Lalu ia
memaksa diri berguling turun dari tempat tidur, berjalan dengan
langkah diseretseret
ke meja tulis di depan jendela untuk mematikan lampu meja yang
masih
menyala dan memandang ke luar jendela.
Tidak biasanya langit kota London terlihat cerah. Sepertinya
musim semi yang
ditunggu-tunggu sudah tiba. Naomi membuka jendela dan menarik
napas dalamdalam,
mengisi paru-paru dan seluruh tubuhnya yang masih lemas dengan
semangat musim semi. Tetapi karena udara masih terasa dingin,
Naomi cepat-cepat
menutup jendela dan menggosok-gosok kedua tangannya. Tiba-tiba
matanya
terarah ke jam kecil di atas meja dan ia pun terkesiap. “Oh, dear,” erangnya.
Ia berlari ke pintu kamar tidur dan membukanya dengan satu
sentakan cepat,
mengagetkan kedua teman satu flatnya yang sedang duduk
mengobrol di dapur,
tepat di luar kamar tidurnya.
“Apa? Apa yang terjadi?” Gadis bertubuh jangkung, berkacamata,
dan
berambut merah panjang, yang sedang mengenggam cangkir kopi
dengan kedua
tangan, menatap Naomi dengan alis terangkat heran.
Walaupun penampilannya pagi ini lebih mirip penghuni panti
rehabilitasi—
piama bergaris-garis, jubah kebesaran, rambut acak-acakan, dan
wajah
mengantuk—Julie Humphrey yang lebih muda daripada Naomi
sebenarnya adalah
putri seorang pengusaha kaya yang lebih memilih mengejar
mimpinya menjadi
aktris panggung daripada masuk universitas. Dan selama beberapa
tahun ini ia
memang sering tampil di atas panggung pertunjukan di West End,
meskipun hanya
mendapat peran-peran kecil.
“Aku terlambat...,” kata Naomi panik sambil berlari ke kamar
mandi di samping
dapur. “Aku punya jadwal syuting video musik hari ini dan aku
terlambat.”
Julie mengibaskan sebelah tangannya dan berkata, “Kau terlalu
berlebihan,
Naomi. Kau tidak pernah terlambat. Paling-paling kau hanya
terlambat bangun
sepuluh menit. Dan aku tahu kau pulang ke rumah larut malam
kemarin. Kau
berhak bangun lebih siang.” Ia kembali menyesap kopinya dan
mendesah muram.
“Aku kasihan pada orang-orang seperti kita bertiga yang tetap
harus bekerja di hari
Sabtu yang indah ini.”
Naomi menyerukan sesuatu yang tidak bisa dipahami dari kamar
mandi karena
ia sedang sibuk menggosok gigi.
“Hei, Sayang, kau mau wafel ala Chris dengan selai apel buatan
sendiri?” tanya
laki-laki bertubuh tinggi, ramping, dan berambut hitam yang
duduk di hadapan
Julie. “Kau tahu benar selai apel buatanku bisa membuatmu
merasa seperti di
melayang di angkasa.”
Christopher Scott, yang aslinya berasal dari Edinburg,
Skotlandia, berprofesi
sebagai koki di salah satu restoran terkenal di Soho, walaupun
ketika pertama kali
bertemu dengannya, Naomi merasa Chris lebih mirip preman karena
tato naga dan
ular yang ada di sepanjang lengan kanannya. Meskipun begitu
Naomi harus
mengakui bahwa ia belum pernah bertemu preman yang memiliki
mata seperti
Chris. Mata biru yang benar-benar biru, mata yang bisa membuat
wanita mana pun
yang ditatapnya mendadak tidak bisa berpikir apa-apa. Tetapi
sayangnya, Chris
tidak tertarik pada wanita.
Naomi kembali menyerukan serentet kata-kata yang tidak jelas
artinya.
Chris menoleh ke arah Julie. “Apa katanya?”
Julie mengangkat bahu. “Mungkin dia tidak mau melayang di
angkasa?”
Tepat pada saat itu pintu kamar mandi terbuka dengan suara
keras dan Naomi
melesat kembali ke kamar tidurnya, disusul dengan suara pintu
lemari dibuka
dengan gaduh dan gantungan-gantungan baju berjatuhan ke lantai.
“Tolong jangan panik, Sayang,” seru Chris tempat duduknya di
dapur. “Kau
bisa melukai dirimu sendiri di dalam sana kalau kau
membabi-buta seperti itu.”
Kemudian terdengar bunyi gedebuk keras, disusul suara Naomi
yang berseru,
“Aku tidak jatuh! Tenang. Aku tidak jatuh. Aku baik-baik saja.”
Kedua temannya berpandangan dan mengangkat bahu.
Beberapa menit kemudian Naomi muncul kembali dari balik pintu
kamar
tidurnya. Ia sudah berpakaian lengkap sampai ke sepatu bot dan
topinya.
“Ngomong-ngomong,” kata Julie, “kau akan tampil di video musik
siapa?”
Naomi mengangkat bahu. “Penyanyi dari Korea. Aku tidak kenal,”
katanya
sambil mengibaskan tangan tidak peduli. “Yang membuatku
tertarik adalah konsep
video musiknya. Mereka membuatnya seperti film pendek.”
Julie menoleh menatap Naomi, mata hijaunya bersinar cerah.
“Apakah ceritanya
romantis?” tanyanya, lalu mendesah senang. “Aku suka cerita
romantis.”
Naomi mendesah tidak sabar. “Kurasa ceritanya tentang seorang
pria yang
diam-diam jatuh cinta pada seorang wanita. Selalu mengawasinya
dari jauh. Diamdiam
selalu membantu wanita itu tanpa pernah menunjukkan siapa
dirinya. Kirakira
seperti itu,” sahutnya.
“Hmm... Bukankah itu romantis sekali?” desah Julie dan menatap
Chris. Yang
ditatap mengangguk setuju.
“Kurasa agak menakutkan,” gerutu Naomi. “Coba pikir, diam-diam
mengawasi
si wanita dari jauh, diam-diam membantunya tanpa menunjukkan
wajah.
Memangnya itu tidak terdengar seperti orang sakit jiwa?”
“Astaga,” gumam Chris sambil menggeleng-geleng. “Kuharap
sutradara video
musik ini tidak menyesal sudah memilihmu. Seharusnya kau
menjadi bintang film
horor.”
Naomi tersenyum dan mendorong bahu Chris dengan main-main.
“Baiklah,
Teman-teman, aku pergi dulu.”
“Kau yakin kau tidak mau makan sepotong wafel ala Chris dengan
selai apel
ini?” tanya Chris sambil menyodorkan piring penuh wafel. “Kau
tahu sarapan
adalah makanan paling penting dalam sehari. Kau sudah cukup
kurus sekarang.
Jangan sampai kau berubah menjadi tulang berjalan seperti orang
yang duduk di
depanku ini.”
“Ya Tuhan, lihat siapa yang bicara,” kata Julie sambil memutar
bola matanya.
“Koki paling kerempeng sedunia.”
Chris tersenyum lebar. “Tubuhku memang tidak bisa gemuk
walaupun aku
makan banyak. Sedangkan kalian berdua kurus kering karena tidak
makan.”
“Model memang seharusnya kurus,” gumam Naomi sambil
merogoh-rogoh
tasnya yang besar, memastikan semua barang pentingnya sudah ada
di dalam.
Dompet. Kunci. Ponsel.
“Apa?” tanya Chris, tidak mendengar apa yang digumamkan Naomi
tadi.
“Tidak apa-apa.” Naomi menatap temannya dan tersenyum lebar. Ia
tidak
mungkin mengulangi ucapannya. Ia tidak berani. Chris pasti akan
mulai
menceramahinya dan ia tidak punya waktu mendengar omelan itu
saat ini.
“Aku ingin sekali mencoba wafelmu, tapi ini keadaan darurat,”
kata Naomi
cepat. “Aku benar-benar tidak sempat sarapan. Sekarang sudah
jam...,” ia melirik
jam tangannya dan terkesiap, “...oh, dear. Sepertinya aku harus berlari sepanjang
jalan sampai ke stasiun. Dah, Teman-teman!”
Tanpa menunggu balasan teman-temannya, Naomi berlari menuruni
tangga
dari flat mereka di lantai dua dan keluar ke jalan. Ia melirik
jam tangannya sekali
lagi. O-oh. Ya, ia sudah pasti harus berlari ke stasiun kereta.
Ia tidak mungkin
sempat mendongak menatap langit biru dan menikmati udara musim
semi. Semua
itu harus menunggu.
Sudah hampir tiga tahun berlalu sejak ia pertama kali tiba di
London dan sejak
ia pindah ke sini ia sudah tinggal bersama Julie dan Chris di
Hampstead yang
terletak di pinggiran kota London. Flat yang ditempatinya
bersama Jlie dan Chris
berada tepat di atas Robin‟s
Nest, sebuah pub tradisional Irlandia yang sudah berdiri
sejak zaman dulu. Walaupun kadang-kadang suara-suara dari pub bisa terdengar
sampai ke kamar tidur kalau jendelanya dibuka, Naomi tidak
keberatan. Berbeda
dengan kebanyakan orang, ia tidak terlalu nyaman dengan suasana
sepi.
Flat yang mereka tempati tidak terlalu besar, namun cukup untuk
mereka
bertiga. Tempat itu memiliki tiga kamar tidur—satu kamar tidur
utama yang
berukuran lebih besar dan dua kamar tidur yang lebih kecil—satu
kamar mandi,
dapur sempit dengan jendela yang menghadap ke perkarangan
samping gedung
sebelah, dan ruang duduk kecil dengan jendela menghadap ke
bagian depan
gedung. Julie menempati kamar tidur utama karena dialah yang
pertama kali
menempati flat ini sebelum ia mengajak Chris berbagi flat
dengannya. Lalu pada
musim panas lebih dua tahun lalu Naomi ikut bergabung.
Naomi tidak pernah suka tinggal sendiri. Sepanjang hidupnya ia
tidak pernah
sendiri. Saudara kembarnya, Keiko, selalu ada bersamanya sampai
ketika Naomi
memutuskan untuk pindah dari Tokyo. Kadang-kadang ia
mengkhawatirkan Keiko
karena saudara kembarnya itu juga tidak terbiasa sendirian.
Tetapi mengingat
mereka memiliki tetangga-tetangga yang sangat baik di Tokyo dan
setelah membaca
e-mail dari Keiko yang melibatkan seorang tetangga baru di
gedung apartemen
mereka3,
Naomi merasa ia tidak perlu mengkhawatirkan Keiko lagi.
Empat puluh lima menit kemudian, Naomi sudah tiba di lokasi
syuting untuk
hari itu dan sudah duduk di dalam tenda sementara yang
didirikan di salah satu
sudut Hyde Park, salah satu taman paling terkenal di London, di
dekat Serpentine
Lake. Naomi memandang berkeliling dan merasa seolah-olah dalam
semalam
bagian kecil taman itu sudah diserbu oleh sekumpulan orang
Korea. Di sekitarnya
terlihat para staf produksi yang sibuk dengan tugas mereka
masing-masing, berjalan
cepat dari satu tempat ke tempat lain, mengangkut sesuatu,
memasang sesuatu, dan
saling berseru dalam bahasa asing yang sama sekali tidak bisa
dipahami Naomi.
Naomi juga baru menyadari bahwa selain Bobby Shin, alias si
sutradara video
musik, yang sudah pernah ditemuinya pada saat wawancara awal
dan penata rias
yang bertanggung jawab atas penampilan Naomi dari ujung kepala
sampai ujung
kaki, tidak ada staf produksi lain di sana yang bisa berbahasa
Inggris. Tetapi
pekerjaan Naomi sering menuntutnya bepergian ke luar negeri dan
bekerja sama
dengan orang-orang asing yang tidak bisa berbahasa Inggris
dengan fasih, jadi ia
merasa ia bisa mengatasi sedikit hambatan komunikasi ini.
“Ini tehmu.”
Naomi menoleh dan melihat penata riasnya—yang memperkenalkan
diri
sebagai Yoon—mengulurkan secangkir teh harum yang mengepul.
Senyum Naomi
mengembang. Saat itu ia baru teringat ia belum sarapan dan
perutnya tiba-tiba
berbunyi pelan. Ia menerima teh itu, menyesapnya, lalu mendesah
senang ketika
kehangatan teh itu menjalari tenggorokan, dada, dan tangannya.
“Kau juga lapar?” tanya Yoon dengan bahasa Inggris yang masih
dihiasi logat
Korea. “Mau makan ini?”
Naomi menatap sekotak donat yang disodorkan ke depan wajahnya.
Gemuruh
di perutnya semakin keras. “Terima kasih banyak. Kau
benar-benar penyelamatku,”
katanya sambil mengambil sepotong donat berselimut cokelat.
Seorang model
memang seharusnya kurus, tetapi seorang model tidak seharusnya
mati kelaparan.
3
Baca Winter in Tokyo
Penata riasnya yang sangat ramah itu meletakkan kotak donat di
meja di depan
Naomi, membuat Naomi bertanya-tanya apakah ia boleh mengambil
sepotong lagi
kalau ternyata ia masih belum kenyang.
“Ngomong-ngomong, kau sudah pernah bertemu dengan lawan mainmu
di
video musik ini?” tanya Yoon ketika ia mulai menggulung rambut
Naomi dengan
rol-rol besar.
Naomi mengalihkan pandangan dari kotak donat dan menatap wajah
Yoon
yang bulat di cermin. “Belum. Aku belum pernah bertemu dengannya.
Aku bahkan
belum tahu namanya,” sahutnya dan kembali menyesap tehnya yang
enak sekali.
Mata Yoon yang sipit langsung berbinar-binar. “Jo In-Ho,”
katanya singkat.
Ketika melihat Naomi yang menatapnya dengan pandangan bertanya,
ia
melanjutkan, “Lawan mainmu. Namanya Jo In-Ho. Tapi dia lebih
dikenal dengan
nama Danny Jo.”
Naomi berhenti mengunyah donatnya.
Yoon memandang berkeliling. “Di mana dia ya? Tadi aku sempat
bertemu
dengannya.” Ia mendesah dan kebmali menggulung rambut Naomi.
“Mungkin kau
tidak tahu, tapi dia sangat terkenal di Korea. Sering
membintangi iklan dan video
musik.”
Karena Naomi tidak berkata apa-apa, Yoon menambahkan, “Tidak
perlu
khawatir. Dia sangat baik. Oh, dan dia juga tampan. Benar-benar
tampan. Kalau kau
melihatnya nanti, aku yakin kau akan jatuh pingsan.”
Naomi masih diam. Hanya menunduk menatap teh kental yang
mengepul di
dalam cangkir gelasnya. Mendadak saja kehangatan yang
dirasakannya tadi
menguap begitu saja.
Tiba-tiba Yoon menepuk-nepuk pundaknya. “Hei, lihat. Itu dia!”
bisik Yoon
dengan nada mendesak.
Kepala Naomi berputar pelan dan matanya langsung menangkap
sosok laki-laki
berjaket abu-abu dan bertopi putih yang berdiri di luar tenda.
Laki-laki itu
melepaskan topi dan menyapa orang-orang yang mengelilinginya
dengan senyum
lebar, berjabat tangan dan membungkuk kepada beberapa orang.
“Ups! Hati-hati. Tehmu bisa tumpah.”
Naomi mengerjap kaget dan menyadari bahwa cangkir kertas yang
dipegangnya sudah hampir terlepas dari pegangan. “Oh, dear. Maaf,” gumamnya
pelan.
“Nah, kubilang juga apa?” kata Yoon sambil menepuk pundak Naomi
lagi dan
tersenyum penuh kemenangan. “Kau memang terliaht hampir jatuh
pingsan.”
Naomi memalingkah wajah dan menatap cermin. Namun ia masih bisa
melihat
bayangan Danny Jo di sana. Tepat pada saat ia melihat Yoon
berbalik dan
mengangkat sebelah tangannya yang memegang sisir, lalu berseru,
“Hei, Danny!”
Naomi membeku. Oh,
tidak...
Danny menoleh ke arah mereka. Ke arah Naomi. Sedetik mata
mereka bertemu
di cermin. Mata laki-laki itu seolah-olah menatap lurus ke mata
Naomi. Hanya
sedetik, sebelum Naomi buru-buru mengalihkan pandangan, menatap
Yoon yang
tersenyum lebar padanya di cermin.
“Dia ke sini,” kata Yoon. “Akan kuperkenalkan kau padanya.”
Naomi tidak bisa bernapas. Ia mencengkeram lengan kursinya
erat-erat.
Ya Tuhan...
Bab Dua
DANNY melangkah keluar dari flatnya di Mayfair dan menarik
napas dalam-dalam.
Ia mengeluarkan iPod dan memasang earphone ke telinga, lalu berjalan ke stasiun
kereta bawah tanah.
Suasana hatinya saat itu sangat bertolak belakang dengan langit
yang cerah.
Wajar saja. Ia baru saja berbicara dengan ayahnya di telepon.
Setiap kali ia selesai
berbicara dengan ayahnya, dadanya selalu terasa berat.
Tadi ia menelepon orangtuanya hanya untuk mengabarkan bahwa ia
sudah tiba
di London dengan selamat. Orangtuanya selalu mencemaskannya,
selalu khawatir
apabila pekerjaan Danny menuntutnya pergi ke luar negeri.
Sering kali Danny
merasa tertekan dengan kekhawatiran yang berlebihan terhadap
dirinya itu. Karena
itulah ia juga harus terus-menerus mengingatkan diri sendiri
untuk memaklumi
perasaan orangtuanya.
“Kau tahu benar kenapa mereka mengkhawatirkanmu, In-Ho,” kata
Anna dulu
ketika Danny pertama kali mengungkapkan perasaan tertekannya
kepada kakak
perempuannya.
“Aku tahu, Nuna,” gerutu Danny, lalu mendesah. “Aku
tahu.”
Danny tahu benar bahwa semua kekhawatiran itu bermula dari
kecelakaan lalu
lintas yang menewaskan kakak lakii-laki mereka, putra sulung
keluarga Jo, ketika
sedang berada di luar negeri.
“Ayah dan Ibu sudah tua,” kata Anna sambil menatap Danny yang
saat itu
memandang kosong ke luar jendela. Ia mengerti apa yang
dirasakan Danny dan ia
juga bisa merasakan perasaan tertekan adiknya itu, tetapi
bagaimanapun juga
Danny sendiri harus mengerti perasaan orangtua mereka. “Karena Oppa1 sudah
tidak ada, yang tersisa hanya kau. Hanya kau anak laki-laki
yang bisa mereka
andalkan untuk menjaga keluarga.”
1
Panggilan wanita kepada pria yang lebih
tua / kakak
Saat itu Danny hanya diam, tidak tahu harus berkata apa, dan
kembali
memandang ke luar jendela.
Kereta berhenti di stasiun Hyde Park Corner, menyentakkan Danny
kembali ke
alam sadar. Ia menarik napas panjang. Waktunya meninggalkan
masalah pribadi
dan mulai bersikap profesional.
Ketika Danny tiba di lokasi syuting, ia melihat para staf
produksi sibuk bersiapsiap
memulai proses syuting. Ia enyapa beberapa staf yang dikenalnya
dan pergi
mencari Bobby Shin.
“Hyong2,”
panggilnya ketika ia melihat si sutradara sedang mengobrol dengan
salah seorang kamerawan.
Bobby Shin yang berusia empat puluhan terlihat seperti
penampilan sutradara
pada umumnya. Ia bertubuh kurus, agak bungkuk karena terbiasa
duduk
membungkuk menatap monitor, berkacamata, bertopi, dan tidak ada
ciri khusus di
wajahnya yang ramah. Mendengar panggilan Danny, ia menoleh dan
tersenyum
lebar. “Danny boy, senang bertemu denganmu lagi,” sahutnya
ramah dan
mengulurkan tangan. “Kau baru tiba kemarin, bukan? Kuharap kau
tidak jet-lag.
Kita hanya punya waktu tiga hari untuk syuting. Seharusnya itu
bukan masalah
besar, tapi jadwal kita akan sangat padat.”
Danny menjabat tangan Bobby Shin yang terulur. “Aku baik-baik
saja,” kata
Danny. “Hyong
tidak perlu khawatir.”
“Bagus.” Bobby Shin mengangguk-angguk. “Ngomong-ngomong, lawan
mainmu sudah datang. Kurasa dia sedang dirias. Kau bisa
memperkenalkan diri
nanti. Dia orang Jepang, jadi kau jangan berceloteh kepadanya
dalam bahasa
Korea,” katanya. “Sebaiknya kau juga bersiap-siap. Kita akan
mulai setengah jam
lagi.”
Danny pergi menyapa beberapa staf produksi yang sudah
dikenalnya. Tiba-tiba
ia mendengar seseorang berseru memanggilnya. Ia menoleh ke arah
salah satu tenda
dan melihat Yoon, penata rias selebriti yang sudah dikenalnya,
bersama seorang
gadis berambut hitam panjang yang belum pernah dilihatnya. Nah,
gadis itu pasti
lawan mainnya.
“Apa kabar, Nuna?” sapa Danny sambil menghampiri Yoon. Ia
berhenti di
depan Yoon dan menatap wanita bertubuh agak gempal itu dari
ujung kepala
sampai ke ujung kaki, lalu menyipitkan mata. “Ada sesuatu yang
berubah di sini.
Hmm... Nuna
lebih kurus ya?”
Yoon meringis, lalu tertawa. “Omong kosong. Aku tahu berat
badanku tidak
turun-turun walaupun aku sudah mencoga segala macam diet.”
“Tapi Nuna tetap cantik,” kata Danny dan
menyunggingkan senyumnya yang
terkenal. Kemudian ia mengalihkan perhatian kepada gadis yang
satu lagi, yang
2
Panggilan pria kepada pria yang lebih tua
/ kakak
duduk diam sambil menggenggam cangkir kertas dengan kedua
tangan. Danny
mengulurkan tangan dan berkata dalam bahasa Inggris, “Dan kau
pasti gadis yang
membuatku jatuh cinta.”
Gadis itu tersentak, mendongak dan menatap langsung ke arah
Danny. Hal
pertama yang terlintas dalam pikiran Danny ketika ia melihat
wajah gadis itu
dengan jelas adalah bahwa gadis itu mirip boneka. Bukankah
Sutradara Shin berkata
gadis ini orang Jepang? Tetapi gadis ini tidak benar-benar
mirip orang Jepang.
Mungkin matanya yang besar itulah yang membuatnya tidak mirip
orang Jepang.
Dan mata itu menatap Danny dengan kaget dan gugup. Dan...
takut?
* * *
Naomi mendongak dan menatap laki-laki berambut hitam dan
bertubuh jangkung
yang berdiri di dekatnya itu tanpa berkedip. Danny Jo memang
tepat seperti yang
digambarkan Yoon tadi. Dan Naomi memang merasa hampir pingsan,
walaupun
alasannya jauh berbeda dengan perkiraan Yoon.
Sebelum Naomi sempat membuka mulut, Danny Jo cepat-cepat
berkata, “Dalam
video musik ini, maksudku. Kau akan berperan menjadi gadis yang
membuatku
jatuh cinta dalam video musik ini.” Ia berhenti sejenak, lalu
bertanya ragu, “Kau
yang akan menjadi lawan mainku, bukan?”
Naomi mengerjap satu kali, seolah-olah baru tersadar dari
lamunan. Perlahanlahan
ia mengembuskan napas yang ternyata ditahannya sejak tadi dan
bergumam,
“Ya.”
Danny tersenyum. “Namaku Danny. Danny Jo,” katanya sambil
menggerakkan
tangannya yang masih terulur, mengundang Naomi menjabatnya.
Naomi menunduk menatap tanagn Danny, kemudian ia meletakkan
cangkir
kertasnya di atas meja dan berdiri dari kursi. Ia membungkuk
sedikit sebelum
menjabat tangan Danny—itu salah satu kebiasannya sebagai orang
Jepang yang
tidak bisa dihilangkannya—dan bergumam, “Naomi Ishida.”
“Naomi,” kata Danny, senyumnya melebar, “senang berkenalan
denganmu.”
Tepat pada saat itu terdengar seseorang berseru memanggil Danny
dan
mengatakan sesuatu dalam bahasa Korea. Danny menoleh ke
belakang dan balas
menyerukan sesuatu. Kemudian ia kembali menatap Naomi. Matanya
bersinar geli.
“Itu penata riasku,” jealsnya dalam bahasa Inggris karena tahu
Naomi tidak bisa
berbahasa Korea. “Dia menyuruhku segera bersiap-siap karena
kita akan segera
mulai syuting. Aku tidak mengerti kenapa aku harus dirias kalau
wajahku tidak
akan disorot sepanjang video musik ini.” Ia mengangkat bahu.
“Tapi sebaiknya aku
menurutinya. Percayalah padaku, kau tidak mau melihat penata
riasku mengamuk.
Aku pernah melihatnya dan itu bukan pemandangan yang bagus.”
Setelah melambai singkat kepada Naomi, Danny membalikkan tubuh
dan
bergegas menghampiri penata rias yang sudah menunggunya.
“Dia baik sekali, bukan?” kata Yoon ketika Naomi kembali duduk
dan menatap
cermin.
Naomi menarik napas dalam-dalam dan memaksa dirinya tersenyum
kepada
bayangan Yoon di cermin. “Ya,” gumamnya, menunduk menatap
jari-jari tangannya
yang saling meremas.
Entah berapa lama Naomi duduk di sana dan tenggelam dalam
pikirannya
sendiri. Ia baru tersadar dari lamunannya ketika seseorang
berseu menyuruh para
model berkumpul karena syuting akan segera dimulai. Naomi
mendongak dan
menarik napas.
Saatnya meninggalkan masalah pribadi dan mulai bersikap
profesional, pikir
Naomi dalam hati. Ini adalah pekerjaannya dan ia tahu ia bisa
melakukannya.
Lakukan dan selesaikan. Hanya tiga hari. Ia hanya perlu
bertahan tiga hari. Lalu
semua ini akan segera berakhir.
Bab Tiga
HARI pertama syuting sangat melelahkan karena seharian itu
Sutradara Shin
memutuskan untuk mengambil adegan di luar ruangan. Lokasi
syuting hari itu
berkisar di Hyde Park dan West End, terutama di Piccadilly
Circus. Tentu saja
syuting di tempat umum bukan hal yang gampang karena sisa-sisa
musim dingin
masih terasa dan banyak orang berlalu-lalang. Namun Sutradara
shin adalah
sutradara yang perfeksionis. Ia sangat memperhatikan
gerak-gerik Naomi di depan
kamera, dari ekspresi wajah, posisi tubuh, langkah kaki,
gerakan tangan, bahkan
sampai tatapan mata.
“Cut!” seru Sutradara Shin untuk yang kesekian
kalinya.
Naomi menegakkan tubuh dan menoleh ke arah si sutradara. Langit
sudah
berubah gelap sejak berjam-jam yang lalu. Mereka pun sudah
mengulangi adegan di
depna toko barang antik bercat merah cerah ini sedikitnya enam
kali dan tidak ada
satu adegan pun yang memuaskan bagi Sutradara Shin.
“Kali ini coba kau menyeberang jalan dari sana ke sini,” kata
Sutradara Shin
ketika ia sudah berada di samping Naomi, “lalu berhenti
sebentar di depan toko ini,
melongok ke dalam, seolah-olah kau ragu, lalu kau masuk. Oke?
Kita coba yang
ini.”
Naomi tersenyum dan mengangguk walaupun rasa lelah mulai
menjalari
tulangnya dan tubuhnya menggigil. Ditambah lagi kakinya terasa
sakit dalam
sepatu bot yang kekecilan. Tentu saja ini bukan pertama kalinya
ia merasakan
semua itu. Sebagai model pekerjaannya sangat menuntut waktu dan
tenaganya. Ia
pernah pulang ke rumah pada pukul dua pagi setelah tampil di
London Fashion
Week sepanjang hari dan harus keluar lagi dari rumah pada pukul
empat pagi
untuk acara pemotretan di Cornwall. Jadi rasa lelah sama sekali
tak asing baginya,
malah kadang-kadang ia merasa ia membutuhkan perasaan lelah
itu.
Sutradara Shin mengangguk. “Kita akan mulai lima menit lagi,”
katanya, lalu
berjalan ke salah seorang kamerawan di sana.
Yoon bergegas membawakan jaket untuk Naomi. “Terima kasih,”
gumam
Naomi sambil mengenakan jaketnya dan menjejalkan tangan ke
saku.
“Duduk di sini,” kata Yoon sambil mendorong Naomi ke salah satu
bangku di
dekat cahaya lampu dan mulai memperbaiki riasannya.
Ketika Yoon pergi mengambil peralatannya yang lain, Naomi
memejamkan
mata sejenak. Waktu istirahat yang didapatkannya hanyalah
sedikit waktu di selasela
pekerjaan seperti ini. Naomi tidak tahu apakah ada orang yang
pernah menghargai
lima menit waktu luang seperti dirinya. Tiba-tiba ia mencium
aroma yang
enak. Matanya terbuka dan langsung dihadapkan pada secangkir
teh yang
mengepul.
“Capek?”
Mendengar suara rendah dan asing itu, Naomi mengangkat wajah
dan langsung
bertatapan dengan mata gelap Danny Jo yang ramah. Sejak
pertemuan pertama
mereka pagi tadi, sepanjang hari itu mereka sama sekali belum
sempat saling bicara.
Mereka sama sekali belum melakukan adegan bersama dan adegan
mereka masingmasing
diambil secara terpisah. Dan setiap kali tidak berada di depan
kamera,
Danny langsung kembali pada perannya sebagai asisten Sutradara
Shin, sibuk di
belakang kamera. Naomi tahu dari Yoon bahwa tujuan utama Danny
datang ke
London sebenarnya memang untuk bekerja dengan Bobby Shin dan
laki-laki itu
hanya setuju menjadi model di video musik ini tanpa dibayar
adalah karena si
penyanyi adalah teman baiknya.
Karena Naomi tetap bergeming, Danny meraih tangan Naomi, ingin
membuatnya
menerima cangkir kertas yang disodorkan. Tetapi Naomi langsung
tersentak
dan secepat kilat menarik kembali tangannya. Danny mengerjap
dan menatap
Naomi dengan alis terangkat heran. Walaupun udara terasa
dingin, Naomi merasa
pipinya memanas. Selama beberapa detik tidak ada yang bergerak.
Lalu Danny
menghela napas dan menempelkan cangkir kertas yang hangat itu
ke tangan Naomi.
“Ini. Minumlah. Kau akan merasa lebih baik,” katanya ringan.
Naomi menggenggam cangkir kertas yang disodorkan itu dengan
kedua
tangan. Ia mendesah pelan ketika merasakan kehangatan menjalari
ujung jari dan
tangannya. Sedikit ketegangan pun menguap dari pundaknya.
“Sutradara Shin memang agak keras, tapi dia selalu berhasil mendapat
gambar
yang bagus,” kata Danny sambil memasukkan kedua tangan ke saku
celana. “Kau
akan lihat nanti.”
Naomi menatapnya sejenak, lalu mengangguk singkat.
Tepat pada saat itu terdengar suara Sutradara Shin yang
menyatakan syuting
akan dimulai lagi.
Danny menoleh ke arah si sutradara, lalu kembali menatap Naomi.
“Bertahanlah sebentar lagi,” katanya sambil tersenyum menghibur
sebelum berbalik
dan meninggalkan Naomi.
Naomi menatap punggung Danny yang menjauh sejenak, lalu
menunduk
menatap cangkir teh yang masih penuh dan bergetar dalam
genggamannya. Ia
menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya, dan meletakkan
cangkir itu ke
tanah.
* * *
Akhirnya syuting hari itu selesai juga.
Naomi mengusap-usap bagian belakang lehernya sambil
mengumpulkan
barang-barangnya. Ia menatap jam yang tertera di layar ponsel.
Kalau ia bergegas, ia
bisa naik kereta bawah tanah yang terakhir. Besok ia harus
bangun pagi-pagi karena
ia diminta tiba di lokasi syuting jam delapan pagi. Sekarang
ini ia hanya ingin tidur.
“Naomi.”
Naomi berbalik ketika mendengar Sutradara Shin memanggilnya.
“Ya?”
“Kau akan pulang sendirian?” tanya Sutradara Shin.
“Ya,” sahut Naomi dan tersenyum. “Tidak apa-apa. Aku sudah
terbiasa. Aku
masih sempat naik kereta terakhir.”
Sutradara Shin mengerutkan kening sejenak. “Sekarang sudah
terlalu larut.
Tidak baik membiarkan seorang gadis berjalan sendirian,”
katanya. Kemudian ia
memandang berkeliling, ke arah para staf produksi yang sedang
sibuk
mengumpulkan dan merapikan perlengkapan. Matanya berhenti pada
Danny Jo
yang sedang membantu mengangkat perlengkapan ke mobil van. “Oi,
Danny,” seru
Sutradara Shin.
Danny Jo menoleh. “Ya?”
“Kau bisa mengantar Naomi pulang?” tanya Sutradara Shin dalam
bahasa
Inggris kepada Danny. “Aku tidak mau dia pulang sendirian
malam-malam begini.”
Mata Naomi melebar. “Tidak,” katanya cepat. Terlalu cepat dan
terlalu keras
sampai kedua pria itu menoleh memandangnya. Naomi
menggoyang-goyangkan
tangan dan tersenyum gugup. “Tidak perlu repot-repot,” katanya
dengan suara
yang diusahakan tidak terdengar panik. “Aku bisa sendiri.
Sungguh.”
Danny berjalan menghampiri mereka. “Aku tidak keberatan,”
katanya. “Lagi
pula, aku setuju dengan Hyong. Sekarang sudah malam dan sebaiknya ada
yang
mengantarmu pulang. Kau tinggal di mana?”
Naomi menggoyangkan tangannya lagi. Kali ini lebih cepat.
“Sungguh, aku
tidak perlu diantar. Aku bisa pulang sendiri. Aku sudah
terbiasa pulang sendiri,”
katanya sambil meraih tas dan topinya. Ketika ia melihat Danny
membuka mulut
seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, Naomi cepat-cepat
membungkuk. “Selamat
malam,” katanya cepat, lalu berbalik tanpa menunggu jawaban dan
berjalan pergi.
Mengamati punggung Naomi yang menjauh, Bobby Shin bergumam,
“Rasanya
tidak benar membiarkannya pulang sendirian malam-malam begini.”
Danny menoleh. “Tapi dia sendiri tidak mau ditemani,” balasnya.
Lalu ia
mengangkat bahu. “Hyong
tidak perlu cemas. Tidak akan terjadi
apa-apa.”
Bobby Shin mendecakkan lidah dengan pelan. “Tapi tetap
saja...,” gumamnya
enggan. Ia menghela napas dan berbalik. “Ya sudahlah. Ayo,
Danny. Kita bereskan
tempat ini dan pulang.”
“Ya. Tentu saja,” gumam Danny. Namun ia tidak beranjak dari
tempatnya
berdiri sampai sosok Naomi menghilang di belokan di seberang
jalan sepi itu.
* * *
Sementara itu Naomi meragukan keputusannya sendiri. Jalanan
sudah sepi. Stasiun
kereta bawah tanah juga tiba-tiba terlihat remang-remang dan
menakutkan. Hanya
ada segelintir orang yang berdiri menunggu kereta. Naomi tidak
suka tempat sepi.
Kepanikan mulai meresapi otaknya dan membuat tubuhnya
menggigil.
Apakah tadi sebaiknya ia menerima tawaran Danny Jo untuk
mengantarnya
pulang? Tapi ditemani laki-laki yang baru ditemuinya hari ini
juga sama sekali
bukan pilihan yang pantas dipertimbangkan.
Sepanjang perjalanan pulang Naomi menyibukkan pikirannya dengan
mengingat jadwal kerjanya selama sebulan ke depan, berusaha
mengabaikan
keadaan kereta yang hampir kosong dan dua pria berpenampilan
kusam yang
berdiri di dekat pintu sambil mengobrol dan menenggak bir.
Ketika ia akhirnya tiba
di Hampstead, Naomi baru bernapas sedikit lebih lega. Hanya
sedikit. Karena
sekarang ia harus berjalan kaki ke flatnya. Memang tidak jauh
dari stasiun, tapi ia
tetap merasa paranoid kalau harus berjalan sendirian
malam-malam.
Sambil terus menyibukkan pikirannya sehingga tidak berpikiran
macammacam,
Naomi berjalan cepat menyusuri jalan dari bebatuan yang
mengarah ke
flatnya. Ia baru bisa benar-benar bernapas lega ketika sudah
mendekati gedung flat.
Robin‟s Nest di lantai satu gedung itu masih
buka dan masih ramai. Cahaya lampu
yang terang, suara orang tertawa, bercakap-cakap dan bunyi
denting gelas membuat
Naomi merasa santai.
Baru saja ia merasa lega, tiba-tiba bunyi keras di belakangnya
membuatnya
terperanjat, disusul disusul suara yang mengumpat. Naomi
terkesiap, berputar
cepat, dan membelalak.
“Oh, sialan,” gerutu sesosok bayangan gelap di bawah salah satu
pohon yang
berjejer di tepi jalan. Bayangan itu sepertinya sedang
membungkuk dan mengangkat
sesuatu dari tanah.
Naomi seakan terpaku di tempat. Tidak bisa bergerak, tidak bisa
bersuara, tidak
bisa bernapas. Dengan mata terbelalak ia menatap bayangan itu
membetulkan
letak... tong sampah?
“Jangan panik. Ini aku. Aku menabrak tong sampah. Tapi tidak
perlu khawatir.
Tong sampahnya baik-baik saja.”
Naomi mengerjap mengenali suara itu sementara bayangan gelap
tadi
melangkah ke bawah sinar lampu jalan sambil mengangkat kedua
tangan. Mata
Naomi melebar setelah wajah laki-laki itu terlihat jelas.
“Kau...?”
Danny Jo menurunkan tangan dan tersenyum lebar.
“Sedang apa kau di sini?” tanya Naomi heran bercampur curiga.
Ia memandang
berkeliling, lalu kembali menatap Danny. Matanya disipitkan.
“Kau mengikutiku?”
Danny tidak langsung menjawab. Ia terlihat sedang memikirkan
sesuatu. Lalu ia
berkata dengan nada merenung, “Kau tahu, ini pertama kalinya
kau mengucapkan
lebih dari dua kata padaku. Dan aku baru tahu kau punya logat
London yang jelas.
Sebenarnya sudah berapa lama kau tinggal di sini?”
Naomi terdiam sejenak dan tetap menatap laki-laki di
hadapannya. Lalu, tanpa
menjawab pertanyaan Danny, ia bertanya sekali lagi, “Sedang apa
kau di sini?”
Danny Jo menjejalkan kedua tangan ke saku jaket abu-abunya dan
mengangkat
bahu. “Karena kau tidak mau diantar pulang, aku memutuskan
untuk
mengikutimu.”
Kening Naomi berkerut tidak mengerti. “Kenapa?”
“Hanya untuk memastikan kau baik-baik saja. Memastikan kau tiba
di rumah
dengan selamat,” sahut Danny ringan. “Hyong—maksudku sutradara kita itu—takut
sesuatu terjadi padamu.”
Naomi mengerjap bingung. “Oh.”
“Jadi,” kata Danny sambil mendongak memandang gedung di
depannya, “kau
tinggal di sini?”
Naomi menoleh, mengikuti arah pandang Danny, lalu kembali
menatap lakilaki
itu. “Ya.”
Mendengar nada suara Naomi, mata Danny beralih kembali kepada
Naomi dan
ia tertawa pendek. “Tidak perlu curiga begitu. Aku tidak minta
diajak masuk,”
katanya. Ia menatap Naomi dari kepala sampai ke kaki, lalu
kembali ke wajahnya
dan berkata, “Lagi pula kau bukan tipeku.”
Naomi mengerjap kaget, membuka mulut, lalu menutupnya lagi.
Otaknya
berkutat mencari balasan yang cocok, tetapi tidak ada satu pun
yang terpikirkan
olehnya. Otaknya mendadak kosong. Ia hanya bisa menatap
laki-laki yang
tersenyum lebar itu dengan sebal.
“Baiklah. Karena kau sudah sampai di rumah dengan selamat, aku
pergi dulu,”
kata Danny sambil mengangkat sebelah tangan. “Sampai jumpa
besok.”
Ketika laki-laki itu berbalik dan mulai melangkah pergi, Naomi
baru berhasil
memikirkan selusin cara membalas kata-kata Danny tadi. Tapi
tentu saja sudah
terlambat. Dengan jengkel Naomi membalikkan tubuh sambil
menggali tasnya,
mencari kunci pintu tangga depan.
“Siapa laki-laki itu?”
Jantung Naomi hampir jatuh ke tanah ketika Julie tiba-tiba
sudah ada tepat di
depan wajahnya. “Ya Tuhan, Julie!” Naomi menempelkan tangan ke
dada. “Sedang
apa kau di sini?”
Julie memberi isyarat dengan ibu jarinya ke arah Robin‟s Nest yang ramai. “Aku
sedang bersama teman-temanku,” katanya. “Kebetulan aku
melihatmu dengan lakilaki
itu. Siapa dia?”
“Rekan kerja,” sahut Naomi, masih merasa sebal pada diri
sendiri karena
membiarkan dirinya terlihat seperti orang bodoh di depan Danny
Jo.
Alis Julie terangkat. “Dan dia mengantarmu pulang? Naomi, aku
tidak pernah
meliahtmu diantar pulang oleh laki-laki.”
“Tidak, dia tidak mengantarku,” sela Naomi cepat, “dia
mengikutiku.”
Kali ini alis Julie berkerut. “Dia mengikutimu sampai ke sini?
Untuk apa?”
Naomi tidak langsung menjawab. Ia menoleh ke belakang. Danny Jo
sudah
tidak terlihat. Ia menggeleng dan mendesah. “Entahlah. Aku
lelah sekali dan aku
mau tidur,” katanya sambil mengeluarkan kunci dari tas dan
berjalan melewati
Julie. “Sana, kembalilah kepada teman-temanmu.”
“Oh ya, Naomi,” panggil Julie. “Miho menelepon mencarimu
berkali-kali hari
ini. Katanya ponselmu tidak bisa dihubungi.”
Naomi baru teringat ia mematikan ponselnya selama proses
syuting agar tidak
mengganggu. Ia mendesah berat. “Miho. Oh, dear, aku hampir lupa. Aku berjanji
akan menyerahkan artikelnya besok.” Ia mengembuskan napas
panjang. Bahunya
melesak. “Kurasa aku harus membatalkan rencanaku untuk tidur.”
Selain bekerja sebagai model, Naomi juga bekerja sebagai editor
freelance di
salah satu majalah fashion
populer di Inggris. Ia sangat suka dan
tahu banyak soal
dunia fashion, jadi ketika Nakajima Miho, mantan teman
seprofesi dan putri pemilik
majalah itu, meminta bantuannya menulis artikel fashion untuk majalahnya, Naomi
dengan senang hati menerima pekerjaan itu. Namun sekarang ia
mulai
mempertanyakan keputusannya sendiri untuk membantu Miho karena
sepertinya ia
sekarang hanya bukan hanya bertugas menulis artikel fashion, tetapi juga sering
diminta mengerjakan tugas yang seharusnya dikerjakan Miho
sendiri sebagai editorin-
chief karena temannya itu bukan tipe orang yang
bisa mengambil keputusan
sendiri.
Julie menatapnya dengan tatapan prihatin. “Kurasa sudah
waktunya kau
memilih salah satu, Naomi. Model atau editor majalah. Kau tidak
bisa melakukan
dua-duanya dengan jadwalnya yang sekarang. Memangnya kau tidak
capek?”
Naomi memutar kunci dan membuka pintu, lalu ia berbalik menatap
temannya.
“Jangan khawatir. Aku bisa mengatasinya,” katanya sambil
tersenyum.
Ia tidak pernah memberitahu siapa-siapa, tetapi kesibukan
adalah perlindungannya.
Kesibukan bisa mengalihkan perhatiannya. Kesibukan bisa
membuatnya
tidak memikirkan hal-hal yang tidak ingin dipikirkannya.
Misalnya hal-hal yang berhubungan dengan Danny Jo.
Bab Empat
NAOMI tiba-tiba menyadari dirinya sangat lelah dan lapar ketika
ia berjalan
melewati pintu restoran kecil berdesain modern itu keesokan
harinya. Aroma steik
yang enak menerjang hidungnya, membuat kepalanya pusing
sejenak. Ia praktis
tidak tidur semalaman karena harus menyelesaikan artikel yang
dijanjikannya
kepada Miho. Ketika akhirnya ia berhasil menyelesaikan artikel
itu dan
mengirimnya lewat e-mail
kepada Miho, ia hanya punya sisa waktu
satu jam
sebelum bersia-siap berangkat ke lokasi syuting lagi.
Dihadapkan pada pilihan
apakah ia harus tidur atau sarapan, Naomi memilih tidur,
walaupun tentu saja satu
jam itu sama sekali tidak cukup.
Dan tadi pagi ketika Naomi hendak keluar dari flat, Miho
meneleponnya dan
meminta bertemu di saat makan siang. Ketika Naomi berkata bahwa
ia sudah
mengirimkan artikelnya lewat e-mail,
temannya itu tetap ingin bertemu. Katanya ada
yang ingin dibicarakannya dengan Naomi. Sesuatu yang berhubungan
dengan
perancang busana baru yang akan ditampilkan di edisi mendatang.
Karena Miho
tidak suka ditolak, dan karena Naomi juga tidak tega menolak,
akhirnya ia
menyerah.
Naomi melirik jam tangan dan mengerang dalam hati. Perutnya
yang
menyedihkan terpaksa harus bertahan tanpa makanan siang ini. Ia
harus cepat-cepat
kembali ke lokasi syuting. Tadi Naomi hanya sempat memberitahu
Yoon bahwa ia
akan pergi sebentar sementara para kru makan siang. Ia tidak
memberitahu
Sutradara Shin karena tadi pria itu terlihat sedang sibuk
bicara dengan asisten
sutradara.
Si asisten sutradara...
Naomi menarik napas dan mengusap pelipisnya sejenak. Ia tidak
tahu apa yang
harus dipikirkannya tentang Danny Jo. Mereka belum sempat
berbicara hari itu
karena keadaan di lokasi syuting sangat sibuk dan karena hari
ini tidak ada adegan
yang melibatkan dirinya, Danny Jo selalu berada di belakang
kamera bersama
Sutradara Shin.
Tapi besok adalah hari terakhir syuting. Setelah itu Naomi
tidak akan melihat
Danny Jo lagi. Lalu semuanya akan kembali seperti semula.
Semuanya akan baikbaik
saja. Harus baik-baik saja.
Lamunannya buyar ketika mendengar seseorang memanggil namanya.
Naomi
menoleh dan menatap salah satu meja kecil di tengah ruangan.
Miho Nakajima
melambai ke arahnya sambil tersenyum lebar.
Selain nama dan wajahnya, tidak ada kesan Asia lain dalam diri
Miho. Karena
dilahirkan dan dibesarkan di London, cara berpikir, cara
bicara, dan gayanya sangat
mirip orang Eropa. Walaupun masih keturunan Jepang, ia praktis
tidak bisa
berbahasa Jepang. Kemampuan berbahasa Jepang-nya benar-benar
payah sampai
Naomi selalu berbicara dengannya dalam bahasa Inggris.
“Maaf, aku agak terlambat. Sudah lama menunggu?” tanya Naomi
begitu ia
duuk dan melirik piring salad
yang sudah hampir habis di depan Miho. Perutnya
kembali berbunyi.
Miho mengibaskan rambut panjangnya yang dicat pirang ke
belakang. “Aku
bersedia menunggu lama asal kau datang ke sini. Aku benar-benar
butuh
bantuanmu,” katanya sambil tersenyum lebar. Walaupun ia kini
adalah editor-inchief—
jabatan yang dulunya dipegang oleh ibunya sebagai pemilik
perusahaan—ia
masih sering bergantung pada pendapat Naomi tentang berbagai
hal.
“Baiklah. Apa yang bisa kubantu?” tanya Naomi langsung.
Miho tersenyum dan mengeluarkan sebuah folder dari tasnya yang besar. “Ini
adalah perancang-perancang baru dan berbakat yang menurutku
cocok
diperkenalkan di edisi mendatang. Tentu saja kita tidak bisa
menampilkan
semuanya, jadi aku ingin mendengar pendapatmu. Menurutmu siapa
yang paling
oke?” Ia membuka folder
itu dan mendorongnya ke arah Naomi. “Kita
harus
memutuskannya sekarang juga karena aku harus pergi selama
seminggu atau
bahkan lebih.”
“Memangnya kau mau pergi ke mana?” tanya Naomi sambil terus
membaca
data yang disodorkan Miho.
Miho tersenyum masam. “Aku harus terbang ke Korea malam ini
untuk
menghadiri perayaan ulang tahun kakekku yang kedelapan puluh.
Semua keluarga
besar berkumpul untuk acara itu.” Ia mendesah panjang. “Asal
kau tahu, aku tidak
pernah suka acara keluarga seperti itu. Aku tidak dekat dengan
kerabat-kerabatku,
baik yang di Korea maupun yang di Jepang. Sama sekali tidak
dekat. Bagaimana
bisa dekat kalau akut idak mengerti apa yang mereka katakan dan
mereka sama
sekali tidak mengerti bahasa Inggris? Membosankan. Tapi, tentu
saja orangtuaku
memaksaku hadir. Mereka tidak mau aku dianggap kurang ajar.”
Kali ini Naomi menatap Miho dengan alis terangkat heran. “Kau
punya
keluarga di Korea?” Kenapa akhir-akhir ini ia merasa
seolah-olah melihat orang
Korea di mana-mana?
“Tentu saja,” sahut Miho sambil mendorong piring salad-nya yang isinya masih
bersisa. “Ibuku keturunan Korea. Kau tidak tahu?”
Naomi menggeleng. “Ternyata ibumu orang Korea?”
Sepertinya Miho tidak mendengar. Keningnya berkerut samar,
memikirkan
waktu-waktu panjang dan membosankan yang akan dihabiskannya di
Korea. Ia
sudah mengajukan seribu satu alasan kepada ibunya untuk tidak
ikut, tetapi ibunya
bersikeras dan Miho tidak punya pilihan lain yang tersisa
selain menurut. Ia
mendesah panjang dan menatap ke sekeliling restoran, lalu
berkata, “Sepertinya aku
butuh sedikit puding cokelat untuk mempersiapkan diriku
menghadapi hari-hari
suram yang menantiku. Kau mau memesan sesuatu?”
Naomi melirik jam tangan dan mengembuskan napas panjang. “Aku
kelaparan
setengah mati, tapi tidak ada waktu untuk makan.” Naomi
menunjuk salah satu
kertas di hadapannya. “Menurutku yang ini saja. Desain
pakaiannya sangat unik,
bukan? Aku suka warna-warna yang dipakainya. Bagaimana
menurutmu?”
“Aku setuju saja denganmu,” sahut Miho dan mengangguk-angguk.
“Kau
memang punya selera yang bagus, Naomi. Apa jadinya aku tanpa
dirimu?”
Naomi tertawa singkat. “Aku yakin kau akan baik-baik saja,”
katanya, lalu
melirik jam tangan. “Kalau tidak ada lagi yang lain, aku harus
pergi sekarang.”
Miho menggeleng. “Tapi setelah aku kembali ke sini nanti aku
ingin kau
menemaniku pergi menemui perancang ini.”
“Baiklah,” kata Naomi cepat sambil bangkit dari kursi dan
meraih tasnya.
“Selamat bersenang-senang di Korea. Telepon aku kalau kau sudah
kembali. Aku
ingin tahu bagaimana kau berhasil melewati hari-hari suram yang
kausebut-sebut
itu.”
Miho tersenyum masam. “Itu juga kalau aku belum mati kebosanan
di sana,”
gerutunya. “Atau mati kesal karena harus menghadapi
kerabat-kerabatku yang suka
ikut campur dalam kehidupan pribadiku. Kau tahu, kudengar dari
ibuku mereka
sekarang berniat menjodohkan aku, seolah-olah aku sudah
melakukan dosa besar
karena masih melajang di usiaku yang sekarang.”
Naomi kembali melirik jam tangan. Ia harus segera kembali ke
lokasi syuting.
“Itu tandanya mereka peduli padamu,” katanya cepat, lalu
tertawa ketika melihat
raut wajah Miho. “Jangan muram begitu. Maksudku, siapa tahu kau
suka calon
yang mereka ajukan?”
Bab Lima
DANNY memandang ke sekeliling studio yang menjadi lokasi
syuting hari itu,
tetapi gadis aneh itu tidak terlihat. Sutradara Shin meminta
para model bersiap-siap
karena syuting akan segera dilanjutkan, tetapi model utamanya
tidak terlihat di
mana-mana. Mungkin ia pergi makan siang di luar dan belum
kembali. Danny
mengembuskan napas dan mengingatkan diri sendiri untuk meminta
nomor ponsel
gadis itu supaya ia bisa menghubunginya kalau ada kejadian
seperti ini lagi.
“Nuna,” panggil Danny sambil berjalan
menghampiri Yoon yang sedang
merapikan kostum di rak gantung. “Nuna tahu di mana dia?”
“Dia siapa?” Yoon balas bertanya tanpa menoleh.
“Siapa lagi? Gadis aneh itu. Naomi Ishida. Di mana dia?”
Sebelum Yoon sempat menjawab, terdengar suara dari balik
punggung Danny
yang berkata pelan, “Aku di sini.”
Danny berputar cepat dan langsung berhadapan dengan sepasang
mata hitam
besar yang balas menatapnya dengan resah. Danny bertanya-tanya
apakah Naomi
Ishida mendengar kata-kata “gadis aneh itu” tadi, namun
langsung menyadari
bahwa gadis itu tidak mengerti bahasa Korea. Ia hanya mendengar
Danny
menyebut namanya dan menyadari bahwa dirinya sedang
dicari-cari.
“Baguslah karena kau sudah di sini,” kata Danny cepat-cepat.
“Kau harus
bersiap-siap sekarang.”
Naomi menggigit bibir dan mengangguk singkat. “Oh, oke. Aku
akan...” Katakatanya
terhenti ketika ia tiba-tiba merasa dunia bergoyang. Seperti
gempa bumi
ringan yang sering dialaminya di Tokyo. Tetapi ini London.
Tidak mungkin gempa
bumi, bukan?
Ketika ia mendapatkan keseimbangan tubuhnya kembali, Naomi
menyadari
Danny Jo sedang memegangi sikunya dan laki-laki itu menatapnya
dengan alis
berkerut samar. “Ada apa denganmu?” tanyanya.
Naomi menggeleng bingung. “Aku tidak apa-apa,” sahutnya sambil
menarik
lengannya dari pegangan Danny dan mundur selangkah. “Aku akan
bersiap-siap
sekarang.”
“Kau sudah makan?” tanya Danny Jo lagi.
Naomi tidak langsung menjawab. Setelah ragu sejenak, ia
berkata, “Sudah.”
Danny tidak berkata apa-apa. Hanya terlihat berpikir-pikir,
lalu ia mengangguk
dan tersenyum kecil. “Baiklah. Aku akan memanggilmu kalau
semuanya sudah
siap.”
Naomi memandangi punggung Danny yang menjauh sambil merenung,
lalu ia
berputar menghadap Yoon dan tersenyum. “Kostum mana yang harus
kupakai?”
Beberapa menit kemudian, setelah berganti pakaian dan berjalan
kembali ke
meja riasnya, Naomi melihat melihat dua bungkus sandwich dan sekotak susu
tergeletak di meja rias. Ia mengamati kedua sandwich yang terlihat lezat itu. Sandwich
kalkun dan sandwich
mentimun. Secarik kertas kuning terselip
di bawahnya.
Aku tidak tahu kau vegetarian atau bukan dan aku tidak tahu kau
suka kalkun
atau tidak, tapi tolong makan saja daripada kau jatuh pingsan di
tengah-tengah
syuting. Kita tidak mau hal itu terjadi, bukan?
D.
Naomi memandang berkeliling sampai ia melihat Danny Jo di
seberang
ruangan. Laki-laki itu sedang menunduk menatap sesuatu yang
ditunjukkan salah
seorang kru dan mendengarkan dengan saksama. Lalu tiba-tiba ia
mengangkat
wajah dan bertemu pandang dengan Naomi. Sebelum Naomi sempat
berpikir apa
yang harus dilakukannya, Danny tersenyum sekilas kepadanya dan
kembali
memusatkan perhatian pada apa yang dikatakan kru di sampingnya.
Menatap dua potong sandwich
di tangan, Naomi hanya ragu sejenak, lalu
membuka bungkusan sandwich
kalkun dan menggigitnya. Ia memejamkan
mata
sejenak. Pada kenyataannya sandwich itu
memang bukan sandwich paling enak di
dunia, tetapi saat itu, bagi perutnya yang keroncongan, sandwich itu adalah salah
satu makanan paling enak yang pernah dicicipi Naomi.
* * *
Danny mendapati dirinya tersenyum melihat gadis aneh itu
menggigit sandwich
dengan tekun, seolah-olah sandwich itu
akan menguap kalau tidak segera
dimasukkan ke mulut. Pikiran pertama yang muncul di benaknya
adalah Naomi
Ishida bukan vegetarian. Lalu pikiran kedua adalah dugaannya
memang benar.
Gadis itu nyaris pingsan karena kelaparan tadi. Danny jadi
ingin tahu apa yang
dilakukannya selama waktu makan siang tadi, kalau gadis itu
memang tidak pergi
makan.
Ia membiarkan dirinya menatap ke arah Naomi Ishida sejenak,
lalu berdoa
dalam hati supaya gadis itu tidak jatuh pingsan di
tengah-tengah syuting. Jadwal
syuting sudah cukup gila tanpa perlu ditambah dengan pingsannya
model utama.
Tetapi pada kenyataannya ia tidak perlu khawatir sama sekali.
Proses syuting
sepanjang sisa hari itu berjalan sangat lancar. Entah karena
perut Naomi Ishida yang
sudah terisi penuh sehingga ia bisa bekerja lebih baik atau
karena suasana hati
Sutradara Shin memang sedang baik, semua adegan yang
direncanakan untuk hari
itu diselesaikan dengan cepat dan memuaskan. Kemudian segalanya
bertambah
menyenangkan ketika Sutradara Shin menghentikan proses syuting
lebih awal
daripada kemarin dan mengajak semua kru makan malam di restoran
Korea yang
berjarak satu blok dari studio.
Restoran itu terletak di lantai dua, tepat di atas toko
suvenir, di ujung jalan yang
tidak terlalu ramai. Restoran kecil yang tadinya sepi itu
berubah ramai karena
kedatangan mereka dan mereka menempati hampir semua tempat
kosong yang
tersedia.
“Aku belum pernah mencoba makanan Korea.”
Danny menoleh ke arah suara itu dan melihat Naomi sedang
berbicara kepada
Yoon.
“Sama sekali belum pernah?” tanya Yoon, lalu menerjemahkan
kata-kata Naomi
ke dalam bahasa Korea sehingga penata rias lain yang duduk
semeja dengan mereka
mengerti.
Naomi tersenyum dan mendengarkan sementara para penata rias itu
mulai
berlomba-lomba menjelaskan makanan kecil yang mulai disajikan
di meja
kepadanya dalam bahasa Inggris yang sepatah-sepatah dan
kadang-kadang tanpa
sadar dicampur bahasa Korea.
Selama dua hari ini jadwal syuting sangat padat dan gadis itu
bahkan belum
sempat banyak bicara dengan para kru. Ini akan menjadi kesempatan
yang baik bagi
mereka untuk lebih mengenal. Dan kelihatannya gadis itu tidak
mendapat kesulitan.
Sekarang saja beberapa orang kru di meja lain mulai
mendekatinya dan
mengajaknya mengobrol dengan bantuan Yoon sebagai penerjemah.
Tidak lama
kemudian mereka mulai tertawa-tawa dan membicarakan hal-hal
yang tidak bisa
ditangkap danny dari tempat duduknya.
Sutradara Shin mengatakan sesuatu kepadanya dan Danny pun
mengalihkan
tatapan dari gadis itu.
* * *
Naomi merasa senang malam itu. Lelah setengah mati, tentu saja,
tapi juga senang.
Awalnya ia ingin menolak ketika diajak ikut makan malam karena
dua alasan.
Pertama, ia merasa ia mungkinakan disisihkan karena ia adalah
satu-satunya orang
yang tidak bisa berbahasa Korea di sana. Tetapi ternyata ia
salah. Para kru memang
tidak banyak bicara dan bersikap profesional ketika sedang
bekerja, tetapi sekarang
sikap mereka sangat berbeda. Mereka selalu mengajak Naomi
bicara dan bercanda
walaupun mereka tidak bisa berbahasa Inggris dan harus
mencampur-campurkan
bahasa Inggris mereka yang sepatah-sepatah dengan bahasa Korea
dan isyarat
tangan.
Kedua, ia sangat lelah. Ia hanya ingin pulang dan tidur. Ketika
syuting hari itu
berakhir, ia baru benar-benar menyadari betapa lelah dirinya.
Sebenarnya ajaib
sekali ia masih bisa berdiri saat ini kalau mengingat jadwal
kerjanya yang padat
selama dua bulan terakhir, walaupun tentu saja sekarang ia
merasa kakinya hampir
tidak kuat lagi menopang tubuhnya.
Tetapi ia tidak bisa menolak ajakan Sutradara Shin untuk makan
malam
bersama. Ia tidak tahu apakah ia akan dianggap tidak sopan
kalau menolak.
Ditambah lagi Yoon juga mendesaknya ikut. Karena tidak punya
tenaga untuk
berdebat. Naomi pun mengiyakan.
Dengan adanya Yoon yang bertindak sebagai penerjemah, Naomi
harus
mengakui bahwa ia tidak menyesal telah ikut makan malam
bersama. Makanannya
enak dan orang-orangnya menyenangkan. Dan Naomi menyadari ia
banyak tertawa
selama makan malam karena lelucon yang dilontarkan para kru.
Sudah lama sekali
ia tidak tertawa-tertawa seperti itu.
Walaupun ia bersenang-senang, rasa kantuk tetap menyerangnya.
Tentu saja itu
tidak aneh mengingat sudah beberapa minggu terakhir ini ia
kurang tidur. Ia tidak
tahu sudah berapa kali ia menguap diam-diam selama makan malam.
Dan sekarang ia menguap lagi.
“Ngomong-ngomong, apa pendapatmu tentang Danny?”
Naomi buru-buru mengatupkan mulut dan menoleh menatap Yoon.
“Hm?”
“Bagaimana pendapatmu tentang Danny? Dia baik, bukan?” tanya
Yoon sekali
lagi.
Naomi menoleh ke arah meja yang tadi ditempati Danny, tetapi
tidak melihat
laki-laki itu di sana. Naomi menggigit bibir. Sebenarnyaia sama
sekali tidak
memikirkan Danny Jo selama dua jam terakhir ini, dan menurutnya
itu sesuatu
yang bagus. Lalu kenapa Yoon tiba-tiba harus membicarakan
laki-laki itu? Kalau
obleh memilih, Naomi benar-benar tidak ingin berbicara tentang
Danny Jo. Bahkan
tidak ingin berpikir tentang laki-laki itu. Tetapi salah satu
hal yang diketahui pasti
oleh Naomi tentang Yoon adalah bahwa kalau wanita itu ingin
membicarakan
sesuatu, tidak ada yang bisa menghentikannya.
Sadar bahwa Yoon masih menatapnya dan jelas-jelas berharap ia
mengatakan
sesuatu, Naomi memaksakan senyum kecil dan bergumam,
“Sepertinya kau
mengenalnya dengan baik.”
Senyum Yoon melebar bangga. “Tentu saja. Aku bahkan mengenal
kakak
perempuannya yang dulu juga adalah model terkenal. Sedangkan
kakak lakilakinya...
yah, aku hanya sempat bertemu dengannya satu kali—sebelum dia
meninggal dunia, tentu saja.”
Naomi menyesap minumannya dengan pelan.
Yoon mencondongkan tubuhnya ke arah Naomi dan bergumam pelan,
“Kecelakaan lalu lintas. Tiga tahun lalu. Mengemudi sambil
mabuk.”
“Oh ya?”
“Oh, ya.” Yoon mengangguk muram. “Tulang pinggulnya patah dan
dia sempat
koma selama dua bulan sebelum akhirnya meninggal. Kasihan
sekali, bukan?”
Naomi menghela napas pelan. Kasihan?
Sebenarnya tidak. Ia tidak kasihan pada orang-orang seperti
itu. Hidup ini
penuh dengan pilihan. Dan kalau orang itu memilih bersikap
tidak bertanggung
jawab dengan mengemudi dalam keadaan mabuk, makaia sendiri yang
harus
menerima akibatnya.
Tetapi Naomi tidak berkata apa-apa pada Yoon, hanya kembali
menyesap
minumannya dengan muram. Kepalanya mulai terasa pusing. Ia
merasa seolah-olah
sedang bermimpi. Ia butuh udara segar. Tidak, tidak... Ia harus
pulang. Ia tidak
ingin jatuh pingsan karena kelelahan di tengah jalan.
Setelah pamit dengan Sutradara Shin, Yoon dan para staf
lain—yang terbukti
agak sulit karena mereka semua mendesaknya tetap tinggal—Naomi
pun
mengumpulkan barang-barangnya dan berjalan ke arah tangga. Oh,
ia sangat lelah.
Saking lelahnya, ia merasa ia bisa tidur sambil berdiri. Naomi
menepuk-nepuk
pipinya sendiri untuk sedikit menyadarkan diri. Udara dingin
pasti bisa
menyegarkannya. Sekarang yang harus dilakukannya adalah
menuruni tangga kayu
sempit di restoran itu. Menuruni tangga sempit dalam sepatu bot
bertumit tinggi
dan dalam keadaan setengah sadar sama sekali bukan pekerjaan
yang mudah.
Naomi harus mengerahkan segenap konsentrasin yang tersisa. Ia
tidak mau
sampai...
“Mau pergi ke mana?”
Suara itu membuat Naomi tersentak kaget dan kehilangan
keseimbangan.
Sebelum ia bahkan menyadari apa yang sedang terjadi, kaki
kanannya tergelincir
dari pijakan dan tubuhnya terhuyung ke depan. Naomi memejamkan
mata, bersiapsiap
menerima yang terburuk. Ia merasa dirinya menubruk sesuatu, tetapi
ia tidak
jatuh berguling-guling di tangga, tidak terjerembap di lantai
keras, tidak merasa
kesakitan.
Naomi membuka mata dan mendongak. Matnaya melebar kaget ketika
ia
menyadari bahwa ia telah mendarat dalam pelukan Danny Jo.
Oh dear...
* * *
Mata hitam yang mirip mata boneka itu terbelalak lebar
menatapnya. Sejenak Danny
melupakan kaki kirinya yang berdenyut-denyut kesakitan. Oh ya,
ia bisa melihat
berbagai macam ekspresi yang melintas di mata itu. Kaget,
bingung, dan... takut?
Danny berdeham dan bergumam, “Kau tidak apa-apa?” Ia tidak
melepaskan
Naomi. Gadis itu pasti akan langsung tersungkur kalau Danny
melepaskannya,
mengingat posisinya saat itu yang seluruhnya bersandar pada
Danny.
Naomi Ishida tidak menjawab. Tidak bergerak sedikit pun.
Tubuhnya begitu
kaku dalam pelukan Danny sampai Danny hampir mengira gadis itu
sudah berubah
menjadi boneka kayu.
“Kalau kau baik-baik saja,” Danny melanjutkan dengan nada
ringan, “mungkin
kau bisa mengangkat kaki kananmu sedikit.”
Mata Naomi mengerjap satu kali, lalu ia menunduk menatap kaki
kanannya.
Danny mengikuti arah pandangannya dan mereka berdua menatap hak
tinggi
sepatu bot Naomi yang menancap di kaki kiri Danny. Naomi
terkesiap dan buruburu
melepaskan diri dari Danny. Tetapi karena terlalu terburu-buru,
ia malah
terhuyung ke belakang.
Danny dengan cepat mengulurkan tangan dan menahan siku gadis
itu. Ia
mengembuskan napas panjang dan berkata, “Pelan-pelan saja,”
kata Danny. Seperti
yang sudah diduganya, Naomi secepat kilat menarik lengannya
dari pegangan
Danny.
Sejenak Naomi hanya menatapnya tanpa berkedip. “Aku... Maaf,”
gumamnya
pada akhirnya. Jeda sejenak, lalu, “Kakimu...”
Danny tersenyum dan menggerak-gerakkan kaki kirinya. “Aku tidak
akan
pincang,” katanya ringan.
Naomi mengangguk, namun tidak berkata apa-apa.
Danny mengamati Naomi Ishida yang berdiri di hadapannya. Apakah
hanya
perasaannya atau apakah gadis itu memang terlihat resah?
“Jadi kau mau ke mana?” tanya Danny lagi.
Naomi berdeham pelan. “Aku pulang dulu.” Ia tersenyum singkat.
Benar-benar
singkat, sampai Danny tidak yakin apakah Naomi benar-benar
tersenyum tadi.
“Sampai jumpa besok.”
Tanpa menunggu jawaban, gadis itu dengan cepat menuruni tangga
melewati
Danny dengan kepala tertunduk. Kening Danny berkerut samar,
lalu sedetik
kemudian ia berputar dan berkata, “Biar kutemani sampai ke
stasiun.”
Naomi Ishida berhenti di dasar tangga, berbalik pelan dan
mendongak menatap
Danny. “Apa?”
“Akan kutemani kau sampai ke stasiun,” Danny mengulangi
kata-katanya
sambil menuruni tangga.
“Aku tidak butuh ditemani.”
Danny mendesah dalam hati. Astaga, gadis ini benar-benar
menyulitkan. Ia
berdiri di hadapan Naomi dan tersenyum ringan. “Baiklah. Aku
yang butuh teman,”
katanya. “Aku sedang bosan. Aku butuh teman bicara. Dan kurasa
jalan-jalan
sebentar tidak ada salahnya. Bukankah begitu?”
Setelah berkata begitu, Danny berjalan melewati Naomi yang
masih
menatapnya dengan alis berkerut bingung.
Setelah berjalan beberapa langkah, Danny berbalik dan melihat
gadis itu masih
berdiri di tempat. “Aku tidak bermaksud merayumu, kau tahu?
Maksudku, kalau
itu yang kautakutkan,” katanya sambil tersenyum. “Sudah
kubilang kau sama sekali
bukan tipeku. Tapi itu tidak berarti kita tidak bisa berteman,
bukan?”
Alis gadis itu masih berkerut dan ia masih menatap Danny dengan
ragu.
Danny memiringkan kepala sedikit. “Apakah kau takut padaku?”
Naomi tidak menjawab, dan hal itu membuat Danny heran. Ia hanya
bercanda
dan mengira Naomi akan membantah dengan tegas. Tetapi gadis itu
hanya berdiri
diam di sana. Apakah gadis itu benar-benar takut padanya?
Kenapa? Sebelum
Danny sempat berpikir lebih jauh, ia melihat Naomi memejamkan
mata, lalu
menghela napas seolah-olah menyerah, dan mulai berjalan
menyusul Danny.
Senyum Danny mengembang. Itu sama sekali bukan kemenangan
besar, tetapi
tetap adalah kemajuan. “Jadi, Naomi,” kata Danny memulai
percakapan sementara
mereka berjalan menyusuri trotoar, “kau sudah merasa lebih
baik?”
Naomi meliriknya sekilas. “Apa maksudmu?”
Danny mengangkat bahu. “Tadi siang kau hampir pingsan di
depanku karena
kelaparan. Sekarang kau hampir pingsan di tangga karena... yah,
aku tidak tahu
kenapa, tapi yang pasti bukan karena lapar. Kulihat porsi
makanmu cukup sehat
tadi.”
Langkah kaki Naomi terhenti. Ia berputar menghadap Danny dan
membuka
mulut hendak membalas, lalu menutupnya lagi. Setelah berpikir
sejenak, ia
membuka mulut dan berkata, “Pertama, tadi siang aku tidak pingsan. Walaupun
aku... walaupun aku memang tidak sempat makan. Tapi itu tidak
ada hubungannya!
Kepalaku hanya agak pusing dan...”
Danny mengangkat alis, terkejut mendengar aliran kata-kata yang
cepat dari
mulut Naomi Ishida. Tetapi sepertinya salah mengartikan
ekspresi Danny karena
gadis itu melotot ke arahnya.
“Dan itu jarang sekali terjadi,” lanjut Naomi
galak. “Kedua, tadi aku hanya
tergelincir di tangga—sekali lagi, bukan pingsan!—karena kau tiba-tiba muncul entah
dari mana dan membuatku kaget setengah mati. Ketiga, apa
maksudmu dengan
porsi makanku besar? Apa salahnya kalau aku makan banyak? Aku
kan tidak
sempat makan siang tadi. Seorang model memang seharusnya kurus,
tapi seorang
model tidak seharusnya mati kelaparan. Katakan padaku, apakah
aku salah?”
Naomi menarik napas panjang di akhir penjelasannya dan Danny
tersenyum
melihatnya. Lalu ia berkata, “Giliranku?” Karena gadis itu
hanya diam dan
menatapnya dengan mata disipitkan, Danny melanjutkan, “Oke,
pertama, tadi siang
kau memang hampir pingsan—tunggu, jangan menyela dulu—dan kalau
aku tidak
menahanmu, kau pasti sudah jatuh ke lantai seperti pohon
tumbang. Kedua, aku
tidak tiba-tiba muncul entah dari mana. Aku tadi sedang
melihat-lihat tok osuvenir
yang ada di bawah restoran. Ketiga, tadi kubilang porsi makanmu
sehat, bukan
banyak. Sehat. Dan tidak, tidak ada salahnya kalau kau
makan banyak.”
Naomi menatapnya sejenak dengan alis berkerut kesal. “Well, terima kasih,”
katanya datar, berbalik meneruskan langkah.
“Sekarang,” kata Danny ringan sambil mengikuti langkah gadis
itu, “Ceritakan
tentang dirimu.”
Naomi meliriknya sekilas—lagi-lagi tatapan curiga itu—dan
bertanya singkat,
“Kenapa?” Ah, lagi-lagi nada curiga itu.
“Karena itu yang dilakukan teman, bukan?” Danny balas bertanya
dengan nada
polos. “Saling mengenal, maksudku.”
Naomi tidak menjawab. Danny juga menyadari gadis itu tidak
membantah kata
“teman”. Jadi sepertinya itu sesuatu yang bagus.
“Sudah berapa lama kau tinggal di London?” tanya Danny ketika
sepertinya
Naomi tidak berniat mengatakan apa-apa.
Naomi tidak langsung menjawab. Lalu, “Hampir tiga tahun.”
Danny tersenyum kecil. “Kau suka tinggal di sini?”
Naomi hanya mengangkat bahu sedikit.
“Ini ketiga kalinya aku datang ke London,” kata Danny. “Aku
suka kota ini,
walaupun pada dua kunjungan awalku aku tidak punya waktu untuk
berkeliling
dan melihat-lihat karena jadwal kerjaku terlalu padat. Tapi
karena sekarang aku
akan tinggal agak lama di sini, kurasa aku bisa mencari waktu
luang untuk
berkeliling kota.”
Naomi tetap menunduk menatap jalan, tidak berkomentar.
“Bagaimana kalau kau menemaniku?”
Kali ini kepala Naomi berputar ke arahnya. Mata bulat dan resah
itu menatap
mata Danny sedetik, lalu mengerjap. “Apa?”
Danny mengangkat bahu dengan ringan. “Kukira mungkin kau bisa
menemaniu berkeliling kota setelah syuting berakhir. Aku tidak
punya teman lain di
sini, kecuali sutradara kita, tentu saja, tapi menurutku dia
mungkin lebih suka
menghabiskan waktu bersama istri dan anaknya daripada
bersamaku.”
“Oh, kurasa tidak,” gumam Naomi cepat—mungkin terlalu
cepat—sambil
menurunit angga ke stasiun kereta bawah tanah.
Danny bergegas menyusulnya. “Kenapa tidak?”
“Karena aku tidak punya waktu.”
Kedengarannya tidak meyakinkan. Danny semakin penasaran.
Sepertinya
Naomi Ishida tidak menyukainya. Tapi kenapa? Danny tidak pernah
menganggap
dirinya sebagai orang yang menjengkelkan. Ia ramah pada siapa
saja. Dan ia jelas
selalu bersikap ramah pada Naomi. Lalu kenapa ia merasa
seolah-olah Naomi tidak
menyukainya? Apakah ia telah melakukan sesuatu yang menyinggung
perasaan
gadis itu? Sepertinya tidak.
“Keretaku akan datang sebentar lagi,” kata Naomi sambil
mendongak menatap
papan penanda kedatangan kereta, “jadi kalau kau mau pergi
sekarang...”
“Kenapa kau membenciku?”
* * *
Naomi menahan napas sejenak. Lalu perlahan-lahan ia
mengembuskan napas dan
menoleh ke arah Danny Jo. Ia bisa melihat kebingungan di wajah
laki-laki itu.
“Kenapa kau membenciku?” tanya Danny sekali lagi.
Naomi menarik napas lagi, lalu berkata pelan, “Aku tidak
membencimu.”
Itu memang benar. Ia tidak membenci Danny Jo. Naomi memang baru
bertemu
dengan Danny Jo dua hari yang lalu dan mungkin Naomi belum
benar-benar
mengenal laki-laki itu, tapi ia tahu Danny Jo bukan orang yang
gampang dibenci.
Malah—kalau Naomi mau jujur pada diri sendiri—ia merasa mudah
sekali bagi
seseorang untuk menyukai Danny Jo.
“Kalau begitu kau hanya tidak menyukaiku?” tanya Danny lagi.
Naomi menggigit bibir, berpikir. “Kurasa aku belum cukup lama
mengenalmu
untuk bisa memberikan penilaian apa pun,” katanya pada
akhirnya.
Alis Danny terangkat dan ia tersenyum tipis. “Kau tidak
membenciku, tapi juga
tidak suka padaku.” Ia menghela napas sejenak, lalu bertanya,
“Apakah kau takut
padaku?”
Itu kedua kalinya Danny Jo bertanya seperti itu. Ya, Naomi
tidak menjawabnya
ketika Danny pertama kali bertany apadanya. Saat itu ia tidak
tahu bagaimana
menjawabnya. Sekarang juga tidak.
“Naomi?”
Naomi mengangkat wajah dan menatap Danny Jo, lalu balas bertanya,
“Apakah
aku punya alasan untuk takut padamu?”
Danny terdiam sejenak. Kepalanya dimiringkan ke satu sisi.
Senyum kecil itu
masih tersungging di bibirnya. Naomi merasa seolah-olah
laki-laki itu tahu apa yang
sedang dipikirkannya. Dan hal itu membuatnya gugup.
“Tidak, kau sama sekali tidak punya alasan untuk takut padaku,”
gumam
Danny Jo.
Satu kalimat itu langsung membuat dada Naomi terasa lebih
ringan. Entah
kenapa. Mungkin tanpa sadar Naomi memang mengharapkan penegasan
ini.
Kemudian sebelum salah satu dari mereka mengatakan sesuatu,
bunyi melengking
panjang tanda kereta akan segera tiba terdengar, disusul bunyi
gemuruh kereta di
terowongan.
“Keretamu,” kata Danny pendek.
Sementara kereta berhenti di depan mereka dan sementara
menunggu para
penumpang turun dari kereta, Naomi berpikir sejenak sambil
menggigit bibir.
Akhirnya ia menoleh ke arah Danny dan berkata, “Terima kasih.”
Danny balas menatapnya dengan alis terangkat. “Hm?”
“Terima kasih. Untuk semuanya, kurasa.” Naomi mengangkat bahu
dengan
canggung. “Karena membelikan sandwich untukku
siang tadi. Karena menolongku
di tangga tadi. Karena mengantarku ke sini.”
“Hei, itu gunanya teman, bukan?” balas Danny ringan.
Naomi tersenyum ragu, lalu melangkah ke dalam kereta.
Dari balik jendela kaca kereta, ia melihat Danny Jo melambaikan
sebelah tangan
ke arahnya. Dan laki-laki itu tidak beranjak sampai kereta itu
sudah melaju
meninggalkan stasiun.
Naomi duduk bersandar dan menghela napas dalam-dalam. Kata-kata
Danny Jo
tadi terngiang-ngiang di telinganya.
Hei, itu gunanya teman, bukan?
Apakah ia bisa berteman dengan laki-laki itu? Naoi mengusap
pelipisnya, lalu
bertopang dagu, menatap ke luar jendela kereta, menatap dinding
terowongan yang
gelap gulita.
Laki-laki selalu membuat Naomi merasa resah dan gugup. Ia tidak
pernah
merasa nyaman berada di dekat laki-laki. Tidak pernah. Yah,
sebenarnya bukan
“tidak pernah”. Tentu saja ia tidak terlahir takut pada
laki-laki. Hanya saja beberapa
tahun terakhir ini, sejak kejadian... kejadian itu, ia tidak
pernah bisa memandang
laki-laki dengan cara yang sama lagi. Hanya Chris satu-satunya
laki-laki yang
dianggapnya teman dan satu-satunya laki-laki yang tidak
membuatnya merasa
resah.
Dan sekarang ada Danny Jo. Selama dua hari terakhir ini Naomi
sudah
berusaha menjaga jarak darinya, sama sekali tidak ingin
berurusan dengannya.
Namun malam ini Danny Jo menunjukkan bahwa ia berbeda dengan
perkiraan awal
Naomi. Laki-laki itu sepertinya... baik.
Mungkin Danny Jo memang berbeda.
Tetapi apakan kau benar-benar bisa berteman dengan orang yang
bisa
membangkitkan mimpi-mimpi terburukmu?
0 komentar:
Posting Komentar